[80 tahun lalu] Kerajaan Ardana
Peperangan besar antara dua kerajaan, yakni Kerajaan Ardana dan Kerajaan Orion akhirnya pecah. Benteng yang dikenal kokoh akhirnya tertembus. Banyak pula rumah yang hancur dan menjadikan kerajaan jadi porak poranda. Tak bisa dihitung banyaknya korban jiwa yang berjatuhan pada kala itu. Namun ironisnya, Balin pada waktu itu, masih berada di pihak musuh.
Pertempuran tersebut berlangsung sengit selama 10 hari. Namun di hari ke-2 peperangan, Balin menyerbu ke benteng musuh sendirian, lalu dengan sengaja tertangkap di sana. Usai diborgol dan dirantai dengan erat, Balin pun kemudian digiring oleh para prajurit untuk menghadap langsung Raja dan Ratu Kerajaan Ardana.
“Balin. Tinju maut saking kidul ingkang kinajrihan, sakmenika … nyelaki pejahipun (tinju maut dari selatan yang ditakuti, kini … mendekati akhir hidupnya).” Ucap seorang pria bermahkotakan perak yang berwibawa, lengkap dengan armor perak dan jubah merah. Dialah Raja Rakara, sosok penguasa tertinggi di Kerajaan Ardana, sedang mengacungkan pedang ke arah Balin seraya menatapnya dengan agak sinis.
“Kirangan kapitadosan salira utawi kebodonan, ingkang nyurung sampeyan katur nempuh teng benteng musuh piyambak (entah itu kepercayaan diri atau kebodohan, yang mendorongmu untuk menerjang ke benteng musuh seorang diri).” Sindir Raja Rakara yang kini mulai merasa ada yang janggal dengan perilaku Balin yang terkenal cukup bijak dan waspada dalam mengambil keputusan.
“Senaosa musuh, nanging sampeyan setiyang ingkang prayogi kula bektosi. Wontenkah tembung-tembung akir ingkang ajenge sampeyan tedahaken (meskipun menjadi musuh, tapi kau adalah seseorang yang layak aku hormati. Adakah kata-kata terakhir yang ingin kau sampaikan)?” tanya Raja Rakara memastikan.
“Sampeyan saged penggal sirahku, sampeyan saged pendhet nyawaku, nanging tulung … aksameni lareku. Piyambakipun mboten sumerep menapaa. Rahayukaken piyambakipun (kau bisa penggal kepalaku, kau bisa ambil nyawaku, tapi tolong … ampuni anakku. Dia tidak tahu apa pun. Selamatkan dia).” Pinta Balin dengan penuh harap dan sedikit putus asa.
“LANCANG!! Iku ta sing arepe kowe omongke sakwise mbantai wong-wong kami (itukah yang ingin kau katakan setelah membantai orang-orang kami)?!” bentak sosok seorang wanita dengan rambut bersanggul dan bermahkotakan emas, sementara bajunya berwarna serba hijau dengan sedikit aksen emas dan bawahan batik, sedang meluapkan emosinya pada Balin. Dialah Ratu Zafia, sosok yang nantinya akan menjadi penguasa agung dari Kerajaan Ardana.
Pada percakapan ini, Ratu Zafia secara mengejutkan menggunakan Bahasa Jawa Ngoko seperti halnya Ratu Lusila, yang mana bahasa ini memiliki kasta terendah dalam hal kesopanan. Biasanya digunakan untuk percakapan antar teman atau orang sebaya. Tentu hal ini sangat berkebalikan jauh dengan sosok Ratu Zafia di masa sekarang, yang mana sikap dan tutur katanya sangatlah bijak dan lemah lembut.
“Kula mboten gadhah pilehan, apunten (aku tidak punya pilihan, maaf)!” sesal Balin yang coba meminta pengampunan dengan tulus, namun sayangnya tidak diterima dengan baik oleh Ratu Zafia.
“BEDEBAHH!!!” maki Ratu Zafia yang kini makin naik pitam.
“Kuwawi nepsumu, wahai istriku! Mangga kita sedayamirengaken criyosipun tirah riyen. Malih ugi, sakmenika boten wonten setunggal tiyang pun ingkang tewas utawi tatu parah (tahan amarahmu, wahai istriku! Mari kita dengarkan ceritanya terlebih dahulu. Lagi pula, kali ini tak ada seorang pun dari orang kita yang tewas atau terluka parah).” Tegur Raja Rakara bermaksud menenangkan.
“Suamiku, mboten wonten ingkang patut kamireng, amargi dekne setunggal andhapan Ratu Jahanam niku (tidak ada yang patut didengar darinya, karena dia adalah salah satu bawahan Ratu Jahanam itu)!” bantah Ratu Zafia dengan emosi yang masih meledak-ledak, namun masih menghormati suaminya dengan beralih menggunakan Bahasa Jawa Krama, yang memiliki kasta kesopanan tertinggi dalam percakapan.
“Istriku, kadang kala, napa ingkang dipunningal dening mripat, boten salajeng leres lebet manah. Mekaten kebencian, niku penyakit ingkang saged nebihaken kita saking sumerep keleresan (terkadang, apa yang dilihat oleh mata, tidak menunjukkan apa yang tersirat dalam hati. Begitu pula kebencian, itu adalah penyakit yang bisa membutakan kita dari melihat kebenaran).” Sanggah Raja Rakara dengan bijak.
“Suamiku, ampun sampeyan bekta keleresan lebet masalah niki, amargi mboten sedaya tiyang ngajengaken (jangan kau bawa-bawa kebenaran dalam masalah ini, karena tidak semua orang menginginkannya)!” ucap Ratu Zafia memperingatkan seraya menunjuk-nunjuk suaminya.
“Kendhalikaken saliramu, utawi sampeyan badhe sami kados tiyang ingkang sampeyan benci sanget (kendalikan dirimu, atau kau akan bernasib sama seperti orang yang sangat kau benci)!” tegur kembali Raja Rakara dengan tenang dan mencoba sebisa mungkin agar tidak terprovokasi oleh sikap istrinya yang emosional.
“Suamiku, kendhelipun sampeyan (beraninya kau)-” geram Ratu Zafia yang kini juga mulai emosi terhadap Raja Rakara karena hendak mengasihani musuh. Namun sebelum Ratu Zafia meluapkan kekesalannya, tiba-tiba ada suara seperti anak kecil yang seketika membuyarkan fokusnya.
“Paklik, napa sampeyan taksih sakit? Rupi sampeyan boten karuan (Paman, apa kau sedang sakit? Wajahmu tampak berantakan),” tanya seorang anak laki-laki yang tiba-tiba sudah berdiri di depan Balin dengan santai.
“Anakku, nebiha! Piyambakipun tiyang ingkang bahaya (menjauh darinya! Dia orang yang berbahaya)!” seru Ratu Zafia dengan nada panik tatkala mengetahui bahwa anak lelaki yang berdiri di depan Balin, ternyata adalah sosok Candra Kumara, atau Sang Pangeran Kerajaan.
“Mbujuki (pembohong).” Ucap Pangeran Candra dengan wajah datar.
“Napa (apa)?” respons Ratu Zafia yang tampak kaget dengan perkataan anaknya.
“Rama lan Bunda salajeng mucalaken Candra katur damel sae, nanging punapa samangke siro malah awon (Ayah dan Bunda selalu mengajarkan Candra untuk selalu berbuat baik, tapi kenapa sekarang kalian malah bersikap jahat)?” tanya Candra dengan nada kesal, lantaran melihat sikap kedua orang tuanya yang seolah sedang merundung seorang pria dewasa yang tidak berdaya.
“Sakedhap (sebentar), Anakku! Botenkah wau Rama saweg (bukankah tadi Ayah sedang)-” sanggah Raja Rakara bermaksud membela diri, namun tiba-tiba Ratu Zafia langsung menyela pembicaraan.
“Anakku … niki benten saking biyasanipun. Tiyang niku boten prayogi katur dikasihani (ini berbeda dari yang biasanya! Orang itu tidak pantas untuk dikasihani).” Celetuk Ratu Zafia yang tampak jelas tidak bisa menerima kehadiran Balin yang pada saat itu masih berstatus sebagai bawahan Ratu Lusila.
“Menawi Candra damel lepat, napa siro badhe hukum Candra kados siro hukum Paklik niki (jika Candra berbuat salah, apa kalian akan menghukum Candra seperti kalian menghukum Paman ini)?” tanya Pangeran Candra menegaskan.