Hitam Putih Wanasaba

Wulansaf
Chapter #1

Antara Hitam dan Putih

Sekitar waktu dini hari, jam setengah satu malam, aku terpaksa membuka mata karena kudengar ada suara orang-orang dari luar, kuraba samping kanan dan kiriku yang sudah kosong, rupanya dua sigung menyebalkan itu sudah hilang dari kamar yang masih gelap ini. Aku bangun menghidupkan lampu, mengerjap beberapa kali dan mengintip lewat jendela, dari sana aku melihat banyak orang-orang lewat sambil membawa obor, aku langsung berlari keluar, memeriksa kamar di sebelahku yang juga sudah kosong. Ke mana mereka semua?

Aku langsung keluar dari pondok pesantren itu dan bertanya pada orang yang lewat. “Ada apa, Pak? Apa ada sesuatu?”

  “Katanya ada anak dari pondok ini yang diculik sama makhluk halus” Aku yang mendengarnya terdiam beberapa saat, berusaha mencerna siapa anak yang dimaksud itu. Apakah salah satu teman-temanku? Aku melihat ke belakang, bangunan berbentuk U itu kini sepi dan sama sekali tidak ada orang. Aku sejenak berpikir, ditengah kejadian ini, mengapa aku tidak bangun dari tidur dan mengapa juga dua sigung nakal itu tidak membangunkanku ketika ada kejadian seperti ini. Benar-benar membuat orang kesal. “Masnya mau ikut? Ayo ikut kami.”

  “Tempatnya di mana, Pak? Apa jauh?”

  “Jalan lima belas menit sampai.” Akhirnya aku ikut mengekor di belakang Bapak-bapak yang memegang obor itu. Sepanjang perjalanan aku mendengar keduanya bercakap-cakap tantang hal-hal mistis yang sering terjadi di pondok pesantren itu.

  “Emang Masnya nggak takut tinggal di pondok pesantren itu?”

  “Emang ada apa Pak di sana? Apa ada sesuatu yang menakutkan?” aku sengaja bertanya seperti itu untuk memancing. Bagaimana pandangan warga sekitar tentang pondok pesantren yang menyeramkan itu.

  “Oh itu mah bukan serem lagi, Mas. Itu udah membahayakan orang. Dari jaman dulu, orang-orang dari pondok pesantren yang ada di kota yang mengabdi di pondok pesantren di sini pasti selalu di ganggu. Entah itu diganggu sama makhlus halus atau adanya kiriman-kiriman dari ilmu hitam.” Tiba-tiba aku yang mendengarnya merinding. Satu karena cerita si Bapak, dua karena jalanan yang kulewati begitu gelap dan menakutkan. Pohon-pohon tinggi menjulang dan jalanan yang rusak mengingatkanku pada acara penelusuran malam yang biasa ada di televisi.

Setelah bercakap-cakap itu akhirnya kami sampai di lokasi. Tempatnya cukup seram untuk dilewati dan gelap, beruntung ada obor yang dibawa bapak-bapak ini sehingga menerangi jalannya.

Dari jauh aku melihat sebuah batu besar, mungkin itu goa, sudah banyak orang-orang yang memadati sambil membawa obor. Entah penglihatanku salah atau bagaimana, tapi dua sigung menyebalkan yang tadi menghilang kini melambaikan tangan padaku dan wajahnya terlihat antusias sekali, mereka tidak takut dan menganggap ini suatu pertunjukkan. Syukurlah bukan dua sigung itu yang diculik dan juga bukan salah satu dari teman-temanku. Lalu siapa yang diculik?

Aku menghampiri Akbar dan Bilal, menyibak kerumunan. “Lu kok nggak bangunin gua sih? Rumah tuh udah kosong nggak ada siapa-siapa. Kalo ada maling gimana?” Aku berkata sewot. Sebenarnya bukan karena maling, tapi karena aku takut ditinggal sendiri, apalagi tempat itu dalam keadaan gelap dan kosong.

Lihat selengkapnya