Hitam Putih Wanasaba

Wulansaf
Chapter #2

Gangguan dan Pergibahan

Subuh ini para santri sudah berada di masjid untuk shalat subuh, mereka sekarang tengah mendengarkan kajian Ustadz Hanif. Sambil terkantuk-kantuk dan menguap, mereka semua masih bisa mencerna apa yang Ustadz Hanif sampaikan meski rasa kantuk itu begitu hebat. Semalam lepas pulang ke rumah, percayalah, mereka semua hampir tak tidur karena membahas kejadian yang baru saja mereka lihat dan alami, tentang penculikan orang oleh makhluk gaib. Selain itu juga karena mereka ketakutan karena takut jadi korban penculikan selanjutnya.

Mereka semua takzim mendengarkan ceramah, sampai kantuk mereka seakan hilang karena merasa ada sesuatu yang berjatuhan di atas peci mereka. Dua orang merasa ada yang aneh, lalu tersadar kalau itu adalah belatung yang berjatuhan dari atap flafon masjid. Salah satu orang berteriak. “Belatung Ustadz! Ada belatung!” teriakan itu begitu menggema di masjid sampai-sampai mereka yang mengantuk langsung melotot berdiri, menjauh dari tempat itu dan refleks membersihkan peci masing-masing meski geli.

  “Astaghfirullahalazim. Cepat, salah satu ambil sapu.” Suasana seketika jadi gaduh dan riuh. Alam sigap mengambil sapu dan menyapu semua belatung yang berjatuhan itu ke luar. Ustadz Hanif tidak begitu memperhatikan sebab dia bolak-balik menghadap papan tulis sambil menjelaskan, barulah ketika salah satu berteriak Ustadz Hanif tersadar bahwa peristiwa yang pasti terjadi setiap tahun itu baru akan dimulai sekarang.

Semua anak laki-laki bergidik geli, lantas mereka langsung meninggalkan masjid dengan begitu banyak pertanyaan.

  “Masalah orang diculik belum selesai, ini ada masalah baru.” Bilal jengkel, ia melepas baju kokonya karena belatung itu masuk ke dalamnya.

  “Biarlah Lal, semua masalah kita serahkan kepada Allah.” Akbar yang menanggapi dan langsung mendapat tatapan sinis dari temannya.

Setelah mengaji subuh yang mendadak bubar itu, mereka berkeliling pondok Al-Qalam sambil menunggu sarapan. Seharusnya kunjungan itu dilakukan ketika kemarin baru sampai, tapi apalah daya, mereka semua pucat dan hampir pingsan karena melalui perjalanan yang melelahkan.

Ketika baru sampai di Wanasaba kemarin, badan mereka semua mendadak berat, seperti ditindih orang berbadan besar, mata mereka pandangannya gelap, dan wajah yang juga pucat. Setelah mereka bertanya apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa semua orang mengalami hal yang sama, maka Ustadz Ismail menjawab. “Orang-orang hitam tidak akan menyukai kedatangan kalian dan kalian akan terus diganggu.”  Mereka semua tidak mengerti apa itu orang-orang hitam, mungkin sebagiannya sudah sedikit paham ketika kemarin melihat peristiwa dukun yang melawan Ustadz.

Bangunan pesantren Al Qalam berbentuk U dengan musholla di sebelah kanannya. Aula itu terletak di lantai bawah, biasa digunakan untuk kegiatan masyarakat mengaji dan belajar. Sisanya hanya ruangan yang dibangun untuk para Ustadz yang ada di sini dan juga anak-anak yang mengabdi. Di pondok ini, tidak ada santri yang menginap, mereka belajar pulang pergi dari rumah ke pondok. Biasanya kegiatan belajar hanya di jam pagi dan sore hari. Anak-anak belajar mengaji di sore hari dan pagi harinya ada ibu-ibu dan bapak-bapak yang bergantian mengikuti kajian.

Lantai dua itu kini kosong, hanya menyisakan baju-baju koko yang dijemur di luar setiap ruangan. Setelah mengelilingi bangunan itu, mereka dipanggil untuk sarapan karena masakannya sudah matang. Maka mereka pergi menuju dapur yang ada di bawah dan bergantian mengambil.

Seorang perempuan sedang mengelap piring yang basah dan beberapa pasang mata turut memperhatikannya. Ketika ia memberikan piring pada Alam, dibelakangnya ada Kamil dan Bilal yang menanggapi piring itu. Satu piring yang direbut oleh tiga orang. Mereka saling pandang, dan Alam langsung merebut piring itu dengan paksa. “Antri!!!”

Lihat selengkapnya