"Jangan pulang, ya, sudah sore. Sebentar lagi kabut akan turun."
"Hahahaha, mana ada kabut di sini, Tante."
Embusan napas panjang.
"Percayalah pada tante, Win. Menginaplah di sini saja malam ini, ya?"
Edwin menggelengkan kepalanya.
"Maaf, Tante, Edwin nggak takut, Insya Allah Edwin akan pulang sekarang saja."
"Edwin ...."
"Ah, Tante ini ada-ada saja. Edwin sudah besar tante. Insya Allah tidak apa-apa. Nanti Edwi telepon kalau sudah sampai kosan, ya?"
Embusan napas kecewa dari wanita setengah baya itu. Wanita itu takut keponakannya, Edwin, tidak akan pernah sampai di kosannya malam ini.
****
Edwin menaiki motornya dengan kecepatan tinggi, karena dia takut kemalaman di jalan. Tadi ketika dia meninggalkan rumah tantenya sudah pukul dua. Tadi, sih, masih terang dan cerah, tetapi saat Edwin mulai menuruni jalan kecil di bukit itu, lama-lama kabut mulai turun perlahan, dan udara yang dingin mulai menyesakkan dada.
Edwin mulai menurunkan kecepatan motornya. Dia mulai bergidik dengan kabut yang sangat tebal di sekelilingnya. Lampu depan motornya sudah dihidupkan, tetapi jarak pandang Edwin paling hanya seratus atau lima puluh meter ke depan, agak sedikit mengkhawatirkan, apalagi kalau mengingat agak banyak kendaraan wisata yang melalui jalan ini. Edwin takut akan diseruduk dari belakang oleh bis atau mobil wisata.
Edwin semakin khawatir. Kabut semakin tebal dan udara terasa semakin sesak. Edwin memutuskan untuk menghentikan motornya sebentar, sekedar untuk mengambil napas saja, Edwin hampir tidak bisa menahan sesak di dadanya.
Edwin mengembuskan napas panjang dan minum sejenak. Kabut itu begitu pekat, seakan bisa mencekiknya. Edwin merasa semakin panik, istirahat pun tidak bisa membuatnya lega, dia merasa semakin tercekam ketakutan, karena kabut itu semakin gelap, seakan melilit tubuhnya.
Tiba-tiba ada sorot lampu yang menembus kabut pekat itu. Edwin hendak berteriak minta tolong, tetapi dia tidak perlu melakukannya, karena ternyata mobil itu berhenti di dekat motor Edwin.
Edwin sangat lega ketika seorang pria keluar dari mobil itu. Pria itu langsung berlari ke arah Edwin.
"Edwin Wijanarka?" tanya pria setengah baya itu dengan napas terengah.
Edwin mengangguk pasrah.
"Ya Allah, Alhamdulillah! Akhirnya ketemu juga. Mas Edwin sudah hilang selama tiga hari, kami semua sudah mencari ke mana-mana. Ayo, kita turun! Motornya ditinggal di sini saja, ya? Ada tim susulan yang akan mengambil motor Mas Edwin," kata pria itu dengan bersemangat.
Edwin mengangguk lega. Dia segera mengikuti pria itu masuk ke dalam mobil yang ada di depan mereka. Pria itu langsung memakaikan masker oksigen kepada Edwin, dan Edwin pun bernapas dengan lega. Dia berbaring dengan penuh kelegaan di bed yang ada di dalam mobil itu.
"Kita akan segera turun!"
"Pegangan, ya?"
"Siap!"
Edwin belum bisa mencerna apa yang dimaksud dengan percakapan itu, sampai kemudian dia merasakan mobil yang ditumpanginya melorot ke bawah, terus ... terus ... dan terus ....
Edwin tidak paham dengan apa yang terjadi, karena dia tidak bisa melihat apa-apa, dia hanya melihat hitam kegelapan dan kabut yang sangat tebal.
****
"Ini foto terakhir Mia dan Rizal. Foto ini diambil sebelum mereka hilang, Ust."
Faiz ikut melihat foto itu.
"Bukankah berkabut? Apa diperbolehkan mendaki?" tanya Faiz.
Prasetya menggelengkan kepalanya.
"Kami tidak memedulikan larangan itu, Ust. Dan akhirnya Mia dan Rizal diculik nenek bungkuk itu .... " Prasetya terdiam dan menunduk.
Faiz miris. Betapa banyak orang-orang yang tidak memedulikan peraturan yang disampaikan para penjaga di setiap pos pendakian. Faiz merasa gemas pada pria di depannya itu.
"Termasuk panjenengan juga ikut mendaki?" tanya Faiz gemas.
Bambang tersenyum.
"Sabar, Mas Faiz. Biar ustadz saja yang tanya," kata Bambang.
Tiba-tiba Prasetya memeluk kaki Bambang, dia menangis tersedu.
"Kami hanya bermain-main, Ust! Kami hanya bermain-main!" seru Prasetya dalam tangisnya.
****
Malam itu rinai gerimis turun di Tintrim. Tintrim yang biasanya panas dan gerah sekarang begitu sejuk.