Heni termasuk orang yang memiliki kenangan tersendiri dengan Tintrim. Dulu waktu pertama ke Tintrim, dia baru saja benar-benar menjadi istri Hasan dan dia harus malu dan sangat malu karena terus digoda oleh Fadli. Selain itu Tintrim juga menjadi tempat Heni pertama kali bertemu dengan Bai. Seorang ustadz fenomenal yang meruqyah dengan cara yang berbeda.
Ah, sampai sekarang Heni sangat ingin memiliki suami atau anak seperti Bai. Heni mencebik, selama ini Hasan hanya sama galaknya saja dengan Bai, selebihnya tidak ada yang sama. Heni tertawa sendiri. Dia malah jadi berpikir yang tidak-tidak.
Hasan melirik kepada Heni dengan galak dan kemudian masuk ke dalam rumah Setiyadi dengan Azzam. Heni semakin geli, benar, kan? Hasan itu galak sekali, tidak jauh beda dengan Hasna. Mereka berdua galak sekali, kalau sudah bertengkar mirip benar dengan Faiz dan Faizah.
"Budhe!" teriak seseorang, Heni menoleh dan melihat Faizah yang berlari ke arahnya. Heni senang sekali bertemu dengan keponakannya itu.
"Faizah," sapa Heni. Mereka berpelukan.
"Mana yang lain?" tanya Faizah.
Heni tahu maksud Faizah, dia mencari Faiz. Heni menggelengkan kepalanya.
"Entah. Tadi yang ikhwan langsung masuk ke dalam. Budhe di luar saja, panas, Zah," jawab Heni, "ummimu juga masuk sepertinya."
Mereka berdua menahan tawa. Mereka tahu seperti apa Hasna. Kadang Hasna galak tak terkira, kadang Hasna merajuk dan manja pada Hasan. Ah, Heni tak tega. Dia kasihan melihat Hasna tinggal sendirian di pesantren ruqyah. Dia tidak mau diajak tinggal di rumah Faiz. Alasan Hasna pun sangat mengena.
"Aku ingin meninggal di pesantren," jawab Hasna ringan.
Hasan mendelik kepadanya.
"Bilang seperti itu lagi dan kutampar kamu!" teriak Hasan. Hasna diam saja dan malah menangis.
"Aku ingin meninggal di sini seperti ummi," kata Hasna lagi. Hasan terdiam, dia tidak bisa berkata-kata lagi kalau Hasna sudah berbicara tentang Saras --ummi mereka-- dan Galang. Kadang Heni merasa begitu iba kepada mereka berdua. Mereka seperti dua orang anak yang saling memiliki, tidak punya siapa-siapa lagi. Hasan pernah kehilangan Ami dan Hasna kehilangan Galang. Membayangkannya saja membuat Heni meneteskan air mata. Dia sangat iba pada mereka berdua.
Prosesi pemakaman akan segera dimulai. Azzam yang semula ikut Hasan, segera dikembalikan kepada Heni, karena Hasan akan ikut ke makam. Azzam pun mulai menangis karena ingin ikut abinya, Heni yang mulai merasa gerah dan kepananasa pun mulai ikut murka, untung ada Aini, istri Ilyasa, yang mengajak Azzam bermain ke rumahnya. Azzam langsung mau karena Aini menjanjikan ada adik kecil dan juga kolam ikan di rumahnya.
Heni tidak sempat berpesan apa-apa, karena dia melihat seorang wanita yang dikelilingi anak-anaknya sedang melepas kepergian imam keluarga mereka. Ah, Heni ikut menangis melihat kesedihan di wajah wanita itu. Rasanya nelangsa sekali. Wanita itu cantik molek, dengan pipi yang agak tembam sedikit dan kulit yang kuning langsat, mungkin wanita itu sudah tua, tetapi kecantikannya yang klasik tetap melekat di wajahnya. Tetapi sekarang kecantikan itu ternoda oleh kesedihan mendalam pada wajah wanita itu. Sepertinya wanita itu sangat ingin menjerit.
Heni melihat Arini, istri Ilyas, di dekat wanita cantik itu. Ah, dia juga menangis. Kasihan sekali. Dan Heni melihat perut Arini. Oh, hamil lagi nampaknya. Mau tak mau Heni tersenyum juga, dia akan mendapat cucu lagi, seperti Yasna. Ah, dia ingin seperti Yasna, punya banyak cucu.
Prosesi pemakaman itu berjalan lancar. Heni sangat terharu melihat wanita itu menangis tersedu melihat keranda suaminya diberangkatkan ke makam. Heni sangat terharu ketika melihat begitu banyak orang yang mengantarkan Setiyadi ke peristirahatannya yang terakhir. Heni tahu, seseorang itu dicintai atau tidak dilihat dari banyak atau sedikitnya orang yang mengantarkannya ke peristirahatannya yang terakhir. Dan sekarang Heni tahu, Setiyadi dicintai begitu banyak orang.
Heni melihat banyak orang. Bahkan Heni melihat Bai. Oh, Bai berjalan bersama dengan seorang pria sepuh yang menangis tersedu ketika ikut mengantarkan jenazah itu. Bai menghibur orang itu.
Ah, Heni ikut menangis melihat betapa banyak ustadz-ustadz terkenal yang ikut mengantarkan Setiyadi ke makamnya. Sedihnya. Rasanya Heni --yang bahkan sama sekali belum mengenal Setiyadi-- merasa tidak ikhlash dengan kepergian ustadz itu. Rasanya kasihan sekali.
Heni melihat Bambang juga menangis, wajahnya basah oleh air mata. Tak heran, Setiyadi, kan asisten Bambang dalam waktu yang cukup lama, mereka pasti sudah saling mengenal satu sama lain dengan sangat dekat.
Sedihnya ....
"Ustadzah Heni?"
Heni mendongak dan melihat Annisa dan Yasna mendekatinya. Mereka berdua nampak habis menangis.
"Mampir ke rumah saya saja, njih, Ust. Sepertinya Mbak Arini dan keluarga belum dapat dikunjungi," kata Annisa. Heni mengangguk dan menyanggupi ajakan Annisa.
"Eh, tapi, tadi Azzam main dengan Aini," kata Heni khawatir.
Annisa tertawa.
"Oalah Ustadz Ilyasa? Rumahnya satu RT dengan saya. Dekat, Ustadzah, jangan khawatir. Monggo ke rumah saya saja sekalian ambil Azzam. Eh, la, tadi Asma mana, to? Katanya mau bareng?" Annisa malah kemudian pergi mencari Asma.
Yasna duduk di samping Heni.
"Panas banget, ya, Hen? Aku paling nggak suka di Tintrim karena panasnya itu, lo!" keluh Yasna. Heni tertawa. Ternyata untuk masalah tidak suka dengan panas, dia tidak sendirian.
"Salma ikut, Mbak?"
Yasna menggeleng.
"Tadi sepertinya di suruh ke pesantren saja sama Ustadz Fiki. Kita tadi sudah berangkat waktu mereka baru sampai," jawab Yasna, tetapi dia keliru, ternyata Salma malah mendekati mereka dan menyalami Yasna dan Heni.
"Astaghfirullah! La kok ikut ke sini?" tanya Yasna keheranan, sekaligus agak panik. Salma tertawa.
"Ada teman Ustadz Fiki yang dari sini, kami diminta menempati rumahnya. Kita ke sana saja, yuk, Buk. Di sini panas sekali," kata Salma.
Heni tertawa, semua mengeluhkan tentang panas, tetapi entah kenapa, sepertinya hari ini memang lebih panas dibandingkan biasanya. Panas sekali.
****
Nurul Ikhlash mendesah. Setiyadi. Nama yang sangat dikenalinya beberapa tahun yang lalu, saat dia dan Karima sedang membina beberapa rumah tahfidz di Ketanggungan dan Gang Manggis.
Nama Setiyadi adalah jaminan kesabaran, kebijakan, keteduhan dan ketenangan. Ah, sayang sekali, ustadz sepuh itu harus dipanggil Allah. Nurul Ikhlash berusaha tidak menangis, mengingat dulu dia selalu berkonsultasi pada Setiyadi tentang masyarakat Ketanggungan, tentang berbagai macam masalah dan halangan dan rintangan yang mereka hadapi. Nurul Ikhlash memejamkan matanya. Sedihnya mengingat itu semua.
Nurul Ikhlash mengingat sambutan hangat Setiyadi. Senyum dan keramahan Setiyadi yang tiada duanya, bahkan menurut Nurul Ikhlash sepertinya Setiyadi termasuk ustadz paling ramah dan paling sabar di Tintrim.
Beberapa orang menyapa dan menyalami Nurul Ikhlash, tetapi tentu saja yang paling ditunggu Nurul Ikhlash adalah bertemu dengan biang ngeyel bermata aneh itu. Ah, rupanya 'trouble maker' itu sudah melihat Nurul Ikhlash terlebih dahulu. Nurul Ikhlash berusaha bersikap tenang dan mendelik ke arah Fiki yang sepertinya akan tertawa kepadanya. Fiki sepertinya paham, dan berpura-pura menyalami dan mencium tangan Nurul Ikhlash dengan takzim.
"Assalamualaikum, sehat, Ustadz?" tanya Fiki menggoda. Nurul Ikhlash diam saja, dia tambah mendelik pada Fiki. Fiki mendongak dan menahan tawanya.
"Wau dipadosi Ustadz Nurul Islam, Ust, (Tadi dicari Ustadz Nurul Islam, Ust,)" lanjut Fiki. Nurul Ikhlash diam saja, dia menjawab dengan dengusan.
"Jangan becanda, Fik!" seru Nurul Ikhlash dalam desisan. Fiki menahan tawanya dan mengangguk. Mereka berpelukan.
"Mana anakmu?"
"Ada di rumah temanku. Aku punya teman akrab dari Tintrim dan aku diminta menempati rumahnya selama kami di sini," jawab Fiki.
"Bohong!"
"Astaghfirullah, Ustadz. Janggan suudzon dulu!" seru Fiki menggoda lagi. Nurul Ikhlash nyaris murka dan hampir saja dia mencubit Fiki agar diam, tetapi wajahnya sudah menggambarkan kegelian. Dia mencondongkan tubuhnya pada Fiki.
"Jangan sampai aku marah, Fik!" desis Nurul Ikhlash.