Firman melihat nama pada buku itu lagi. Benarkah yang dibacanya itu? Kenapa Setiyadi bisa memiliki atau mendapatkan buku milik orang itu.
Semua orang menunggu Firman yang sedang meneliti buku itu. Firman mendongak dan memandang tamunya.
"Ustadz sampun mirsani lebete buku niki, Ust? (Ustadz sudsh melihat bagian dalam buku ini, Ust?)" tanya Firman.
Bambang menggeleng. Oh, Firman lupa. Bambang adalah orang yang sangat amanah, dia tidak akan membuka atau bahkan menyentuh sesuatu yang bukan miliknya. Firman mengangguk dia beristighfar.
"Maafkan saya. Saya malah sudah membuka buku ini dan saya membaca siapa pemiliknya. Pemilik buku ilmu wafaq ini adalah Pamungkas Baihaqi. Ustadz Bai."
Semua terdiam. Hafidz jelas terkejut. Bambang hanya mengerjapkan matanya beberapa kali, dia nampak tak menyangka masalah ini akan sampai ke Bai, sementara Ilyas --yang sebenarnya sangat jarang meruqyah-- masih bingung hendak bagaimana. Dia hampir tidak mengenal Bai dan dunia ruqyah secara umum, dia hanya bisa meruqyah, tetapi tidak pernah meruqyah. Dia menuruni sifat kepemimpinan Hasan, sebentar lagi dia akan menggantikan Haikal menjadi pemimpin di rumah tahfidz.
"Menarik sekali. Ustadz Bai pasti tidak akan menyangka kalau bukunya bisa ada pada Ustadz Setiyadi ...." Firman berhenti berbicara dan tertawa geli, dia memandang ke arah tamunya lagi, "akankah ustadz sekalian memberitahu orang-orang Karang Pandan? Biasanya mereka suka dengan hal-hal misterius seperti ini," lanjut Firman lagi. Ah, dia sudah terlalu sering terlibat masalah dengan orang-orang Karang Pandan yang berdarah panas itu, mulai dari Sapto sampai Fadli, dan konon anak dan menantu Fadli pun mewarisi darah panas bapak mereka. Menarik sekali. Menarik sekali. Ah, kalau dia jadi Bambang, dia akan langsung menghubungi Fadli dan biasanya suatu kasus akan berkembang sangat cepat dan sangat pesat kalau sudah ketemu dengan orang Karang Pandan. Mereka seperti magnet suatu masalah. Tidak beda jauh dengan Bai.
Ah, Firman tak bisa menahan geli, dia juga menyadari bahwa dia juga berdarah panas seperti halnya orang-orang Karang Pandan itu. Ah, lucu juga.
Hafidz tertawa terbahak. Dia sepemikiran dengan Firman. Ah, pasti menarik sekali, tetapi dia juga memiliki pemikiran lain.
"Saya punya ide, Ustadz," kata Hafidz. Semua mata memandang ke arahnya.
"Apa itu, Mas Hafidz?" tanya Firman. Dia memandang ke arah Hafidz dan ribuan kenangan mengalir di hatinya.
Ah, Hafidz. Dulu Arin sangat ingin memiliki anak seperti Hafidz. Hampir setiap hari Arin berkunjung ke rumah tahfidz untuk bermain dengan Hafidz dan selalu pulang dengan air mata. Ah, waktu itu Firman tidak punya hati untuk memarahi Arin yang seakan patah hati. Ah, dan sekarang Hafidz sudah begitu dewasa. Firman bertanya-tanya apakah Hafidz akan menggantikan bapaknya menjadi peruqyah yang andal, karena setahu Firman, Hafidz hanya berminta pada ekspedisi saja.
"Ustadz Nurul Islam dan Ustadz Fiki masih di sini, Ust. Kita beritahukan saja perihal buku ini kepada mereka berdua. Pastilah setelah itu orang Karang Pandan akan segera tahu. Ustadz Fiki pasti akan meminta bantuan tim ekspedisi dari Karang Pandan," jawab Hafidz.
Firman terkesima mendengar jawaban Hafidz. Benar juga. Masuk akal sekali, karena Fiki adalah menantu Fadli ... dan bahkan dulu Bai sempat meminang Fiki untuk menjadi asistennya karena kecerdasan dan kesholihan Fiki, tetapi sepertinya tawaran itu ditolak Fiki.
Firman mengangguk.
"Njih, Ust. Ide itu bagus sekali," kata Firman, wajahnya jelas menunjukkan kegelian. Ilyas juga paham sekali apa maksud Hafidz, dia tersenyum geli. Hanya Bambang yang nampak kurang sreg dengan Hafidz. Wajahnya agak cemberut.
"Jadi besok mungkin saya akan ke rumah Ustadz Bambang saja, njih? Ustadz Nurul Islam menginap di rumah Ustadz Bambang, kan, Ust?" tanya Firman.
Entah kenapa Bambang tertawa geli dan kemudian dia mengangguk. Hafidz tak habis pikir kenapa abinya malah tertawa, tetapi Hafidz cukup lega, karena kalau Bambang sudah tertawa berarti kemungkinan besar dia tidak akan dimarahi oleh abinya tentang orang Karang Pandan itu.
HP Hafidz bergetar. Dia mendapat pesan WA dari seseorang, dan Hafidz beristighfar, kenapa bisa pas begini?
Hafidz mendongak dan tersenyum geli.
"Sepertinya orang Karang Pandan memang memiliki radar yang kuat terkait adanya suatu masalah. Kita tidak perlu susah-susah memberitahu mereka, Ustadz. Mereka akan datang sendiri ke sini," kata Hafidz, dia tidak bisa menyembunyikan kegeliannya.
Bambang memandang Hafidz tidak setuju. Wajahnya merengut marah. Hafidz langsung tahu diri.
"Maaf ... maafkan saya. Baru saja Faza mengirim saya pesan WA, dia mengatakan bahwa besok dia akan bertakziah ke sini," kata Faza, dia buru-buru menunduk, takut akan dimarahi abinya.
Semua diam dan Firman yang pertama tertawa, disusul Ilyas dan bahkan Bambang pun tertawa.
"Astaghfirullah! Astaghfirullah! Aku memang marah, Fidz, tetapi aku setuju dengan kata-katamu tadi. Mereka memang sangat peka dengan adanya suatu masalah, jadi percuma saja menyembunyikan rahasia dari mereka. Ah, mereka memang sebuah fenomena," kata Bambang dengan tertawa geli. Hafidz sangat bersyukur abinya tidak memarahinya.
"Oh, ya. Kalau begitu lengkap sudah semua, njih. Tintrim, Karang Pandan, Karang Nangka dan Karang Legi. Ah, menarik sekali," kata Firman sambil tersenyum tipis.
****
Ketika memasuki Tintrim, Rosalina merasa dia memasuki dunia yang lain. Udaranya panas sekali. Sangat berbeda dengan Karang Pandan, yang memang panas, tetapi tidak sepanas ini. Faza menoleh ke arahnya dan tertawa.
"Panas, ya?" tanya Faza. Rosalina mengangguk malu.
"Katanya mau refreshing, masak sepanas ini?" tanya Rosalina cemberut. Faza tertawa.
"Siapa bilang mau refreshing? Aku kan bilang kita mau takziah," jawab Faza geli.
Rosalina masih cemberut, dia sebenarnya memang tidak mendengarkan ketika kemarin Faza mengajaknya ke Tintrim. Faza masih tertawa melihat Rosalina yang mencebik.
"Nanti lah, pulangnya kita mampir ke suatu tempat makan, ya?" bujuk Faza. Rosalina tidak menjawab, dia bahkan memalingkan muka dari Faza.
Faza tidak terlaku khawatir. Dia sudah belajar banyak dari bapaknya yang sering menghadapi ibunya yang merajuk.
"Yang penting jangan terlalu jual murah, Za. Kalau merajuk jangan langsung dirayu, tunggu dulu sebentar, baru ditanya dan dirayu ... ah, kamu tahu kelanjutannya, yang pasti wanita akan luluh kalau kita pura-pura mendiamkan mereka. Mereka pasti akan bingung dan mencari kita," kata Fadli waktu itu. Faza hanya mengangguk, dia hanya bertanya dalam hati, apa semua wanita itu sama?
Faza memarkir mobilnya di depan rumah Setiyadi. Hafidz keluar menyambut Faza, mereka berpelukan. Hafidz sangat terkejut melihat Rosalina. Dia tersenyum pada Rosalina dan kemudian memersilakan mereka masuk.
"Ibuk baru ke makam. Nunggu bentar nggak papa, ya, Za?" tanya Hafidz.
"Njih, Mas, nggak papa, Insya Allah," jawab Faza. Mereka berbicara sendiri, sementara Arina berbicara dengan Rosalina.
"Sudah sehatkah, Mbak? Kata Mas Hafidz baru keguguran?" tanya Arina.
Rosalina mengangguk.
"Alhamdulillah sudah sehat, kegugurannya sudah hampir sebulan yang lalu, kok," jawab Rosalina agak malu.
"Oh, Ya Allah. Kata dokter kenapa kok bisa keguguran, Mbak?" tanya Arina lagi. Rosalina semakin merona malu.
"Saya tidak tahu kalau sudah hamil dan waktu itu saya masih melatih karate," jawab Rosalina malu. Arina membulatkan matanya tak percaya.
"Benarkah? Oh! Karate?"
Rosalina tertawa dan mengangguk.
"Wah, luar biasa sekali," kata Arina, dia terpesona pada wanita mungil di depannya ini. Cantik, kecil, mungil, seperti masih usia SMA dan nampak begitu ceria. Mereka berbincang banyak hal, terutama Rosalina menanyakan tentang Tintrim.
Sementara itu Hafidz sudah menceritakan tentang buku ilmu wafaq yang ada di meja Setiyadi, yang ternyata milik Ustadz Bai, atau paling tidak, dulu pernah dimiliki oleh Bai. Faza mengerutkan keningnya, dia hanya heran kenapa bapaknya atau saudaranya tidak ada yang menceritakan kasus sehebat ini padanya setelah mereka takziah.
"Aneh, ya, Mas. Kenapa bapak malah kundur (pulang) dan tidak tertarik dengan kasus ... eh, maksud Faza, masalah ini," kata Faza polos. Hafidz sampai harus memahami kalimat Faza beberapa kali dulu sebelum menyadari apa maksud Faza. Dia tak bisa menahan tawanya lagi, Faza semakin heran dan memandang Hafidz dengan tidak terima.
"Astaghfirullah! Maaf, ya, Za. Maaf," kata Hafidz terbata, dia berusaha menahan dirinya dari tawa, "jelas Pakdhe dan kakak-kakakmu sudah pulang semua. Ibuk memberitahu abi setelah bapak meninggal. Jauh setelah semua tamu pulang, Za," lanjut Hafidz lagi.
"Oalah. Makanya kupikir apa bapak tidak tertarik dengan hal seunik ini," jawab Faza agak tersipu.
Mereka melanjutkan berbicara lagi sampai Dahlia datang. Setelah dirasa cukup, Faza pun berpamitan ke rumah Annisa.
"Ah, ya, benar sekali. Setelah ini aku juga akan pulang. Kamu ikut pertemuan ini, ya?" tanya Hafidz.