HITAM

Endah Wahyuningtyas
Chapter #4

Bagian 4 : Indigo

Semua memandang ke arah Bambang sekarang. Hafidz yang menyetir pun ikut keheranan, tetapi dia segera berkonsentrasi kembali ke jalan di depannya. Mereka semua diam, tetapi diam yang aneh. Firman nyaris hendak tertawa, tetapi dia menjaga kredibilitas Bambang.

"Itu Azkiya, kan, Ustadz?" tanya Firman. Bambang mengangguk, mereka berpandangan dan tertawa terbahak-bahak. Ya Allah, sepintas tadi Firman merasa mereka masih sama-sama muda dan tertawa terbahak-bahak pada satu atau dua hal. Ah, rasa rindu membanjiri hati Firman, serasa dia tidak ingin meninggalkan Tintrim. Rasa itu erat ketat meliputi hatinya. Ah, sedih sekali, atau karena salah satu sahabatnya telah meninggal, ya?

"Astaghfirullah! Entah apa yang dipikirkan anak zaman sekarang, ya, Ust. Astaghfirullah! Tadi waktu pinjam HP, saya pikir Azkiya mau melihat YouTube seperti biasa, tak tahunya malah mengirim WA ke nomor Ustadz Bai. Meniko, Ust. Azkiya malah ngirim fotone Mbak Rosalina tinggen nomore Ustadz Bai, (Ini, Ust. Azkiya malah mengirim fotonya Mbak Rosalina ke nomornya Ustadz Bai,)" kata Bambang sambil memerlihatkan pesan WA Azkiya kepada Aida.

Mereka berdua berpandangan dan tertawa lagi sambil beristighfar.

"Wah, sepertinya Ustadz Faza banyak penggemarnya," kata Firman, masih sambil menahan tawa.

Bambang beristighfar dalam hati. Dia sebenarnya ingin marah, tetapi sekaligus merasa geli juga dengan kelakuan anaknya, itu. Jelasnya dia memiliki banyak hal untuk diberitahukan kepada Azkiya setelah ini.

****

Azkiya pulang dari masjid dengan sangat kecewa. Ternyata semua orang sudah pergi dari rumahnya. Dia terlalu lama bermain dengan temannya, sehingga semua ustadz itu telah pergi.

Azkiya nyaris menangis ketika tahu abinya membawa HP yang tadi dipinjam Azkiya. Azkiya mencebik ketika masuk ke dalam rumahnya.

"Maem sik, Ndhuk! (Makan dulu, Ndhuk!)" kata seorang wanita sepuh kepada Azkiya. Azkiya memandang siapa wanita itu. Oh, itu, kan budhenya! Ibunya Faza!

Seketika amarah Azkiya meleleh dan amarahnya perlahan menghilang, dia mendekati Yasna.

"Mbah sami ting pundi ustadze? (Mbah, pada kemana ustadznya?)" tanya Azkiya dengan manis. Yasna tertawa gemas.

"Hih! Gemes aku, lo, sama kamu! Ini tahi lalatnya kok bisa di sini, itu yang naruh siapa, coba?" goda Yasna, sambil menowel pipi Azkiya. Azkiya tertawa geli.

Dia memeluk budhenya yang penuh kasih sayang itu.

"Mbah ustadzah, ustadznya pada ke mana?" tanya Azkiya lagi.

Yasna tertawa.

"Kamu cari siapa? Ustadz Fiki? Yang matanya beda itu?" tanya Yasna geli. Azkiya memandang Yasna keheranan dan teringat Fiki dengan mata yang aneh dan rambut yang menantang langit. Ah, dia juga ganteng dan Aida belum pernah melihat Ustadz Fiki, ah, Azkiya merasa perlu menghubungi Aida lagi ... tetapi ... tetapi dia tidak berani pinjam HP umminya. Dan kemudian umminya datang begitu saja, membuat Azkiya merengut lagi.

"Maem njuk ngaji, nggih? (Makan terus mengaji, ya?)" kata Annisa.

Azkiya tiba-tiba ingin menangis, dia tidak ingin berpisah dengan tamu-tamu abinya yang baik hati ini. Dia memeluk Annisa. Wajahnya memelas dan hampir menangis.

"Aku pengen ikut abi," bujuk Azkiya. Annisa nyaris tertawa melihat kelakuan anak bungsunya itu.

"Nggih, boleh, kok. Abi baru nelpon, nyuruh nganter barang ke sana," kata Annisa sambil mengelus rambut anaknya, "syaratnya nanti di rumah Ustadz Fiki nggak boleh berenang, ya?"

Azkiya mengangguk, yang penting dia bisa pinjam HP abinya untuk memberitahu Aida tentang Ustadz Fiki.

****

Fiki baru pertama kali melihat istri Malik. Ternyata dia memiliki nenek di Tintrim. Istri Malik juga seorang peruqyah. Ah, menyenangkan juga punya istri yang profesinya sama dengan dirinya, ya? Atau tidak.

Mobil Hafidz masuk ke halaman rumah Fiki yang akan dijadikan rumah tahfidz itu. Ketika Fiki hendak menyambut Bambang dan Firman, Malik mendekatinya. Aneh! Tidak ada senyum di wajah Malik, dia terlihat cemberut.

"Mata Berlian! Akhirnya aku bertemu denganmu!"

****

Firman melihat rumah mewah, megah dan besar itu. Mereka masuk ke dalamnya. Mereka disambut Fiki, yang nampak tersenyum lebar. Ah, pria itu sebenarnya sangat ramah, cerdas dan sholih, tetapi sayang, Fiki kadang tidak memiliki tata kerama, seperti Sapto. Firman tertawa. Sampai sekarang pun dia masih merasa marah kalau ingat dengan Sapto yang sangat berkuasa itu.

Firman melihat Malik keluar dari rumah Fiki. Wajah Malik nampak marah. Dia mendekati Fiki dan berbicara dengan cara yang bukan seperti cara Malik berbicara. Oh, apakah anak itu bereaksi lagi?

Firman dan seisi mobil itu langsung paham dengan apa yang terjadi. Mereka keluar dari mobil secara hampir bersamaan. Faza sudah mendahului mereka mendekati Malik dan Malik langsung memukul Faza hingga Faza jatuh ke lantai paving yang keras.

Firman beristighfar, dia segera mendekati Malik yang sekarang menyeringai padanya.

"Jangan mendekat! Aku hanya ingin pulang ke Tintrim! Tidakkah kamu paham! Aku ingin pulang ke Tintrim!" teriak Malik.

Dan ... dan Arin keluar dari dalam rumah Fiki. Arin dan Natria, istri Malik. Mereka berwajah takut dan tak percaya. Apalagi Arin. Firman nyaris tak tega melihat air mata Arin mengalir dalam keheningan. Oh, kentara sekali sedihnya.

Dua orang wanita muda yang agak mirip wajahnya membujuk Arin dan Natria untuk masuk ke dalam rumah. Awalnya mereka menolak, tetapi akhirnya Natria masuk terlebih dahulu dan Arin mengikuti.

Firman memejamkan mata dengan berat. Anak bungsunya adalah anak kembar. Maulana dan Malik. Maulana menjadi peruqyah di Karang Nangka, dia tidak ragu sama sekali dengan keputusannya, tetapi adik kembarnya Malik, cukup berbeda. Dia masih belum menentukan di mana dia akan menetap sebagai peruqyah. Belum lagi banyaknya laporan yang disampaikan kepada Firman terkait sering bereaksinya Malik ketika melakukan ekspedisi.

Firman beristighfar dan bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang terjadi pada anaknya ini.

"Ustadz mlebet mawon nopo, Ust? (Ustadz masuk saja, ya, Ust?)" tanya Bambang dengan penuh kelembutan.

Firman menoleh ke arah Bambang. Air mata Firman tak tertahan lagi. Dia menggeleng pada Bambang.

"Saya bisa membantu dengan tilawah di sini," jawab Firman pelan.

Percakapan mereka, membuat mereka melewatkan ketika Malik berseru marah kepada Fiki yang hendak pergi. Malik mencengkeram tangan Fiki.

"Jangan pergi! Jangan pergi! Aku mau membawa kamu dan anak ini ke rumahku!" teriak Malik.

Fiki megibaskan tangan Malik dengan keras sehingga berhasil terlepas. Fiki sekarang memandang ke arah Malik dengan pandangan marah. Beberapa orang langsung mendekati Fiki, mengantisipasi hal terburuk yang akan terjadi.

"Kita setiap hari bertemu di Karang Legi, kenapa baru sekarang kamu muncul? Kenapa tidak sejak dulu?" teriak Fiki dengan kemarahan yang begitu murni.

Malik nampak kebingungan. Dia memandang Fiki dengan pandangan yang liar, namun bingung. Fiki berdecak.

"Rumahmu di Tintrim, kan? Kamu baru saja masuk ke dalam tubuh Malik, kan?" teriak Fiki, dia hendak maju, tetapi Nurul Islam menghalanginya. Nurul Islam memandang Fiki dengan penuh rasa, dia melarang Fiki melakukan apapun pada Malik.

"Ada Bu Arin," bisik Nurul Islam. Fiki mengerjapkan mata beberapa kali untuk memahami maksud perkataan Nurul Islam. Fiki memejamkan matanya.

"Lalu kita harus bagaimana?" bisik Fiki, dia memandang Nurul Islam dengan intense, minta pendapatnya.

"Kita ruqyah dari jauh ...."

"Mana buku itu! Mana buku itu? Aku akan mengembalikan pada pemiliknya!" teriak Malik, dia nampak kebingungan karena dikelilingi begitu banyak peruqyah dan menjadikannya tidak leluasa bergerak.

Firman mengembuskan napas panjang, dia melangkah maju ke arah anaknya. Bambang segera menghalangi langkah Firman.

"Istighfar dulu, Ustadz," bisik Firman. Firman mengeluh, tetapi dia tetap mematuhi Bambang dan beristighfar.

"Jangan buru-buru. Ada Ustadzah Arin di dalam, kan?" bisik Bambang lagi.

Firman seperti baru tersadar dan teringat Arin baru saja menangis dan bertanya ada apa dengan pandangan matanya. Oh, kalau teringat dulu Arin juga indigo dan mungkin dulu Firman belum tuntas meruqyahnya, sehingga jin itu malah menurun pada anaknya.

"Betul! Betul sekali Ustadz Firman! Betul sekali. Jin itu membuat ustadz kesulitan memiliki keturunan, jin itu dulu masih melekat pada Ustadzah Arin. Jin itu dari dusun Timur, Ustadz. Ustadz masih ingat?" teriak Malik.

Firman terhenyak. Lama sekali. Sudah hampir tiga puluh tahun yang lalu.

Fiki tertawa.

"Apa mungkin kamu berani berada di dalam tubuh Ustadzah Arin kalau ada Ustadz Firman? Coba sekarang pandang Ustadz Firman! Pandang Ustadz Firman!" teriak Fiki sambil memegang dagu Malik kuat-kuat.

Lihat selengkapnya