Faza mengejar Malik sekuat tenaga. Entah kenapa Malik bisa berlari secepat itu. Dalam beberapa detik saja Malik sudah sampai di luar gerbang rumah Fiki dan kemudian ... terdengar suara decitan rem yang cukup keras disertai dengan suara jeritan kemudian disusul suara benda dan orang jatuh. Semuanya terjadi dalam waktu yang sangat cepat.
Faza langsung berlari ke luar gerbang dan mendapat pemandangan yang sangat di luar dugaannya. Rosalina sedang menolong Azkiya yang menangis keras. Malik terbaring pingsan di tepi jalan dengan darah di kepalanya. Rosalina dan Azkiya juga berdarah. Motor yang mereka kendarai terjatuh di tepi jalan.
"Astaghfirullah! Kenapa, Na?"
Rosalina berurai air mata. Wajahnya sangat ketakutan, apalagi ketika orang-orang mulai berdatangan.
"Ustadz, tadi orang itu berlari cepat sekali. Rosalina tidak bisa menghindarinya. Rosalina menabrak orang itu," jawab Rosalina. Air matanya bercucuran.
Azkiya memeluk erat Rosalina. Azkiya juga nampak sangat ketakutan. Orang-orang mulai menanyainya. Azkiya menangis tersedu-sedu. Dia tidak mau menjawab pertanyaan orang-orang itu.
Bambang mendekati Azkiya. Rosalina begitu takut dan malu.
"Ustadz saya minta maaf," kata Rosalina. Bambang tertawa.
"Mboten nopo-nopo, Mbak. Mboten nopo-nopo. Malah Mbak Rosalina ndadosaken Mas Malik mboten mlajar tebih. Niko, sak niki Mas Malik malah mpun sadar kadose, (Tidak apa-apa, Mbak. Tidak apa-apa. Malah Mbak Rosalina membuat Mas Malik tidak lari jauh. Tuh, sekarang Mas Malik sepertinya sudah sadar,)" jawab Bambang sambil menunjuk Malik, yang duduk di tepi jalan.
Seseorang menekan kepala Malik dengan kain, sepertinya untuk menghentikan pendarahannya.
"Dokter Nalendra sedang dalam perjalanan ke sini, Ustadz," kata Faza. Dia baru saja memeriksa Malik.
"Bagaimana kabar gadis kecil ini? Kenapa masih menangis? Coba Mas Faza lihat giginya?" tanya Faza.
Azkiya sebenarnya senang sekali melihat Faza memerhatikannya dan bertanya padanya, tetapi dia trauma dengan jahitan. Azkiya dulu pernah jatuh dan dijahit dagunya. Azkiya tidak mau memandang Faza, dia memeluk Rosalina erat-erat dan membenamkan wajahnya pada tubuh Rosalina. Azkiya memangis tersedu. Rosalina juga menangis, dia begitu takut akan dimarahi atau dilaporkan polisi karena menabrak seorang ustadz.
"Wis to nangise, lara banget, po? Endine sing lara? (Sudah, to nangisnya, sakit sekali, ya? Mananya yang sakit?)" bisik Faza. Rosalina menggeleng. Dan ketika Bambang berhasil membujuk Azkiya untuk masuk dan diobati, Rosalina langsung hendak memeluk Faza dan pada saat itulah Faza menyadari bahwa bibir dan pipi kiri istrinya sobek cukup parah. Darah nyaris menutupi wajah bagian kiri Rosalina. Belum lagi luka di kaki dan tangan Rosalina. Faza beristighfar, dia bertanya-tanya kenapa Rosalina tidak merasakan sakit.
"Ndhuk, kamu harus dijahit," kata Faza.
"Rosa akan dipenjara, Ust?" tanya Rosalina dengan air mata berlinangan, membuat Faza mengerutkan keningnya.
"Kenapa dipenjara?"
Rosalina mendongak dengan pandangan heran dan marah.
"Aku baru nabrak orang!" seru Rosalina.
Faza tertawa.
"Iya! Iya! Nanti kita bicarakan itu, tetapi kamu harus dirawat dulu. Ini darahnya banyak banget," jawab Faza sambil menunjuk Rosalina.
Rosalina melihat jilbab dan bajunya. Dia melihat begitu banyak noda darah. Rosalina langsung pucat pasi dan perlahan mulai merasakan sakit di pipi dan bibirnya. Rosalina meraba luka di wajahnya perlahan, dan dia berteriak histeris ketika melihat telapak tangannya penuh dengan darah. Dia tidak mendengarkan apa yang dikatakan Faza padanya. Rosalina langsung pingsan dalam pelukan Faza, membuat Faza tertawa.
"Astaghfirullah!" seru Faza. Untung tubuh Rosalina kecil, sehingga dengan mudah bisa digendong oleh Faza ke dalam rumah Fiki.
Dan kehebohan itu dimulai ketika Annisa dan rombongan ustadzah, termasuk Yasna, Faizah dan Nalendra datang dengan ambulan desa. Yasna dan Annisa pastilah histeris. Apalagi ketika Yasna melihat Azkiya dan Rosalina yang wajahnya sama-sama berdarah cukup banyak.
"Aku nggak papa, kok, Budhe. Gigiku putus dua," jawab Azkiya bangga. Yasna beritighfar. Bagaimana mungkin gigi yang putus dua dan noda darah di dagu dan baju itu membuat Azkiya bangga.
"Tadi Ustadz Faza baik sama Azkiya, tetapi Azkiya takut dijahit lagi ...." Air mata itu luruh perlahan. Yasna buru-buru memeluk Azkiya.
"Sstt! Cup ... cup ... tidak ada yang akan menjahit Azkiya, kok. Azkiya sudah manut sama abi dan ummi, kan?" hibur Yasna.
Azkiya mengangguk dalam pelukan Yasna.
"Kasihan Mbak Rosalina, Budhe," bisik Azkiya. Yasna mengangguk. Wajah Rosalina yang putih mulus kini harus dijahit beberapa jahitan, membuat kerutan yang nampak menyakitkan yang cukup panjang, mungkin sekitar lima centimeter. Yasna khawatir bekas luka itu tidak akan hilang.
"Mbak Rosalina pingsan, Budhe?"
"Sepertinya iya," bisik Yasna. Azkiya merasa iba. Tadi Rosalina sudah begitu baik padanya dan mau mengantarkan Azkiya menemui abinya dan juga Faza.
Azkiya mengelus pipi Rosalina. Tiba-tiba Rosalina terduduk kaget, matanya nyalang. Yasna beristighfar, membuat beberapa ustadzah masuk ke dalam kamar tidur tempat Rosalina di rawat.
Yasna langsung menggendong Azkiya dan segera mundur beberapa langkah. Dia takut Rosalina kerasukan.
"Mbak Rosa? Sudah baikan?"