Malik duduk sambil merasakan pelipisnya yang berdenyut liar setelah dijahit tadi. Dia sudah minum obat dari Nalendra dan merasa bimbang karena Nalendra memintanya untuk ke rumah sakit untuk diperiksa. Malik hanya mengangguk. Dia benar-benar tidak paham apa yang terjadi tadi, tetapi ketika dia bangun, dia merasa begitu pusing dan bingung, di heran kenapa orang-orang mengelilinginya dan bertanya hal yang absurd.
"Kamu Malik?"
"Malik? Malik?"
Malik sangat ingin berteriak tentu saja dia Malik, tetapi diurungkannya, karena kepalanya pusing sekali. Dan Malik melihat Natria dan umminya menangis. Ada apa gerangan? Apa Malik melakukan suatu kesalahan?
Dan Malik melihat abinya mendatanginya dengan wajah yang marah.
"Jangan, Ustadz!"
"Dia memalukan! Dia harus dihajar!"
"Itu diluar kehendak Malik!"
Ummi dan abinya berdiri berhadapan, sama-sama penuh amarah. Natria memandang mereka berdua dengan penuh kebingungan. Malik juga bingung. Dia butuh kakak-kakaknya.
Malik merasa sedih ketika mengingat kakaknya, dan dia teringat mimpi yang sering mendatanginya. Mimpi yang aneh, sangat aneh. Kadang dia bermimpi berjalan-jalan dengan ketiga kakaknya di sebuah hamparan padang rumput yang luas. Mereka berjalan sampai ke tengah padang rumput itu dan mereka berhenti di sana. Malik selalu datang paling terakhir dan Maulana selalu memarahinya.
"Cepat sedikit, dong, Lik!" teriak Maulana. Malik akan berlari tertatih-tatih menuju ke suatu tempat yang dikelilingi kakak-kakaknya.
Malik ikut melihat ke bagian entah apa yang dilihat kakaknya. Setelah Malik melihat tempat yang dilihat ketiga kakaknya, yang ternyata adalah sebuah lubang, kemudian ketiga kakaknya tertawa dan mereka mendorong Malik ke dalam lubang itu.
Lubang itu dalam sekali, sehingga Malik tidak bisa mencoba menaikinya. Dia berteriak-teriak meminta bantuan ketiga kakaknya yang nampak saling bercakap-cakap dan saling tertawa, mereka seakan berpura-pura tidak mendengar Malik dan bahkan kemudian mereka mulai mengubur Malik di dalam lubang itu. Tanah dan pasir yang mereka masukkan ke dalam lubang itu membuat mata Malik kabur dan Malik kemudian membuka kacamatanya.
Kacamata?
Kenapa dia memakai kacamata. Ah, dia ingat. Itu adalah kacamata Faza. Atau kacamata siapa, ya? Kenapa bisa dipakai dirinya? Dan setelah adegan kacamata itu biasanya Malik terbangun dengan kelelahan, dengan ketakutan dan juga kebingungan, dan kemudian muncul keinginan untuk pindah ke Tintrim begitu saja. Dia sangat ingin bertempat tinggal di Tintrim.
Malik terdiam. Natria menggoyang bahunya.
"Ustadz! Ditanya bapak, lo!" desis Natria. Malik mengerjapkan matanya beberapa kali untuk mengembalikan kesadarannya.
Firman tersenyum.
"Panggilkan asatidz ke sini, Ndhuk! Sepertinya Malik belum sepenuhnya sadar," kata Firman, dia tidak melepaskan pandangannya pada Malik.
Malik tersenyum.
"Aku mau cerita, Bi," kata Malik. Dia merasa harus segera menceritakan semuanya pada Firman. Firman mengangguk.
"Berceritalah! Abi akan mendengarnya dengan senang hati," kata Firman sambil tersenyum, dia kemudian duduk di depan Malik.
Dengan lancar Malik menceritakan mimpi yang sering dialaminya itu. Mimpi yang menurut Malik cukup mengerikan dan mendebarkan.
"Malik selalu merasa kelelahan setelah bermimpi itu, Bi. Malik selalu merasa ketakutan dan kebingungan," kata Malik pelan. Dia memegangi pelipisnya.
"Apakah kamu merasa pusing?" tanya Firman. Malik menggeleng. Dia merasa baik-baik saja.
"Aku hanya ingin abi tahu, bahwa dulu Malik ikut beberapa seni bela diri yang berbeda dengan seni bela diri yang umum dan nampaknya seni bela diri itu mengharuskan aku menggunakan ilmu pernapasan dan tenaga dalam. Waktu itu aku tidak tahu kalau tenaga dalam yang sebenarnya adalah memasukkan jin ke dalam tubuh kita. Malik juga pernah masuk ke dalam mata air angker di Kali Kuning, Bi. Malik juga pernah ... pernah memetik sebuah bunga ungu di danau Ron Sewu ...."
"Oh! Tak heran!"
Semua menoleh ke arah Fiki, yang berseru tertahan. Semua menunggu Fiki dengan penuh rasa penasaran.
Malik memicingkan mata memandang ke arah Fiki, menjengit.
"Yah, begitulah. Bunga warna ungu yang membuatku semakin sering melihat hal-hal aneh dan kemudian muncul mimpi buruk itu, Bi."
Diam. Fiki tersenyum.
"Sudah? Sepertinya belum semua kamu ceritakan, kan?" tanya Fiki, dia kemudian maju sambil membawa sebuah gelas berisi air putih yang sepertinya sudah disiapkan sebelum menemui Malik.
Malik tertawa.
"Air ruqyah? Aku sudah kebal dengan air ruqyah," bisik Malik. Fiki tertawa.
"Oh, ya? Itu kan air ruqyah buatan Nurul Islam. Buatanku beda, dong," jawab Fiki geli. Malik tersenyum aneh.
"Kamu selalu bertingkah aneh. Apakah ada bangsaku juga di dalam tubuhmu?" tanya Malik pada Fiki. Fiki tertawa geli.
"Setelah kamu minum air itu maka kamu akan tahu, siapa saja di ruangan ini yang memiliki jin di dalam tubuhnya," jawab Fiki pelan, dengan wajah yang masih penuh dengan kegelian.
"Jangan bohong, ya?"
"Insya Allah aku tidak bohong," kata Fiki dan Malik menerima gelas dari Fiki dengan penuh kesangsian.
Malik meminum air putih itu dengan wajah yang ragu, tetapi dia tetap meminumnya juga. Kemudian Malik mengerutkan wajahnya dan menggigit bibirnya seakan dia hendak mengatakan sesuatu. Fiki menunggu reaksi Malik dengan penuh harap.
Malik mulai memegangi kepalanya. Dia mulai menjambaki rambutnya. Dia memandang Fiki dengan kebencian.
"Kamu bohong!" teriak Malik.
"Aku tidak bohong. Aku tidak akan mengeluarkanmu. Aku hanya menghukummu dan akan menambah hukumannya dengan ini," kata Fiki. Dia menggenggam tangan Malik dan Malik berusaha untuk tidak menjerit. Dia berusaha melepaskan tangan Fiki, tetapi Fiki menolak melepaskan tangannya. Beberapa orang membantu Fiki menahan tubuh Malik, sampai kemudian Malik melemas dan menyerah.
"Baiklah! Baiklah! Aku menyerah!" seru Malik sambil berbaring. Tangannya yang tadi dipegang Fiki nampak kemarahan dan hampir melepuh, rupanya Fiki memegang tangan Malik dengan daun Bidara.
Fiki duduk di samping Malik.
"Kalau kamu bohong aku akan menyiksamu dan membakarmu perlahan," desis Fiki. Malik hanya mengangguk dan kemudian dia duduk dibantu oleh Fiki.
"Bolehkah aku bercerita?" tanya Malik.
"Boleh, tetapi dengan satu syarat."
Malik mendengus.
"Apa syaratnya?" tanya Malik.
"Kamu harus menjawab pertanyaanku dulu. Kamu siapa dan sejak kapan kamu ada di dalam tubuh Malik?" tanya Fiki.
Malik memejamkan mata beberapa kali. Kemudian dia mengangguk.
"Baiklah! Kupenuhi syaratmu, tetapi setelah ini jangan siksa aku, ya? Tetapi keluarkan aku dengan baik-baik," jawab Malik. Gantian Fiki yang mendengus.
"Sudah sejak dulu aku menyuruhmu keluar, kan?" tanya Fiki gemas. Malik diam saja.
"Sejak dulu aku selalu mengintai Malik ketika berlatih ilmu kebal di sini. Di Tintrim. Kata guru Malik aku boleh memilih salah satu dari muridnya, dan aku memilih Malik, karena dia paling tampan dan paling baik. Dia selalu membersihkan sampah di lapangan tempat berlatih, dia juga sering melarang teman-temannya untuk agar buang air kecil sembarangan di bawah pohon. Lama-lama aku jatuh cinta pada Malik dan aku pun memasuki Malik ketika para guru itu mengisi Malik dengan tenaga dalam. Aku dan temanku mengisi tubuh Malik sejak saat itu."
****
Mia menunggu.
Tetapi tidak ada suara apa-apa. Tidak ada tanda-tanda akan ada seseorang yang akan menolongnya atau menjemputnya. Mia mulai menangis. Dia menyesal kenapa mesti ikut dengan Rizal dan kelompoknya untuk ikut mendaki sebuah bukit angker di Karang Tunggak.