Firman menganati anak-anaknya dan Hafidz yang sedang ngobrol di ruang tengah rumah Fiki yang sangat luas itu. Dia sendiri memilih untuk duduk di sudut ruangan dalam diam. Arin mendekatinya.
"Ustadz sare mawon, njih? Kadose kesel, to? (Ustadz tidur saja, ya? Sepertinya capek, kan?)" tanya Arin pelan.
Firman tersenyum, dia menggeleng.
"Aku sedang melihat anak-anakku, Rin. Mereka semua sudah dewasa, kan? Sepertinya sudah siap kalau kutinggal."
Arin tertawa. Dia sudah sangat terbiasa dengan perbincangan sejenis ini.
"Siap, tidak siap ya harus siap, kan?" tanya Arin menggoda. Firman tertawa.
"Kamu tidak takut aku mati?"
Arin mencebik.
"Kalau takut tidak, Ust. Kalau sedih iya," bisik Arin, air matanya mengalir perlahan. Suaminya yang sudah sepuh ini sepertinya belum bisa melupakan meninggalnya Setiyadi sepenuhnya. Hubungan mereka dulu memang cukup dekat, sama-sama asisten Bambang yang kadang bisa serewel Bai, walaupun dengan tindakan yang lebih lembut.
Firman menoleh ke arah Arin yang duduk di sebelahnya. Dia tersenyum dan paham maksud Arin. Ah, masalah usia menjadi salah satu alasan pertengkaran dan perdebatan mereka. Sebenarnya mereka sama, mereka berdua sama-sama tidak ingin diingatkan oleh jarak usia mereka.
"Kenapa, Rin? Ayo, masuk kamar saja? Nanti anak-anak malah bingung kalau melihat kamu menangis," kata Firman, Arin mengangguk dan masuk ke kamarnya diikuti Firman.
Mereka tidak tahu, Malik melirik tajam ke arah mereka.
****
"Kenapa menangis?" tanya Firman di dalam kamar.
"Ustadz malah sedih di sini. Arin jadi ikut sedih. Kita pulang saja, ya?" rayu Arin dengan air mata yang masih mengalir.
Firman sebenarnya geli melihat ekspresi istrinya itu. Tetapi dia menahan diri untuk tidak tertawa.
"Aku mau bilang padamu, tetapi jangan marah, ya?" kata Firman.
Arin berdecak.
"Arin tahu ustadz mau bilang apa. Pasti mau bilang : 'Aku ingin meninggal di Tintrim seperti Pak Sapto,' begitu, kan? Kalau memang begitu niat ustadz, Arin tidak akan mengizinkan ustadz pindah ke sini. Arin tidak akan ikut ustadz pindah ke sini kalau ustadz ngeyel mau pindah ke sini!" seru Arin dengan jengkel dan air mata yang masih mengalir juga.
Firman cukup terkejut mendengar jawaban Arin yang begitu meluap, seperti halnya banjir bandang, yang tak terduga datangnya. Tetapi itulah salah satu alasan kenapa Firman tidak ragu untuk menikahi Arin dulu. Emosi Arin yang tak terduga, yang menjadi tantangan bagi Firman untuk mengatasinya. Jadi setelah mendengar luapan emosi Arin barusan, Firman sama sekali tidak marah atau tersinggung, dia malah tertawa terbahak-bahak dan kemudian memeluk Arin erat-erat, membuat Arin kebingungan dan bertambah emosi.
"Jangan peluk-peluk!" seru Arin dan berusaha melepaskan pelukan Firman, tetapi tidak bisa, dan akhirnya Arin menyerah dan membiarkan Firman memeluknya, "coba ustadz bayangkan mau tinggal di sini sendirian, siapa yang mau melayani, Ustadz? Siapa yang mau merawat ustadz kalau sakit? Siapa yang mau mencucikan baju ustadz? Apa ustadz tahu baju yang mau ustadz pakai letaknya di mana?" Dan Arin malah jadi menangis lagi, entah kenapa dia tidak akan tega membiarkan Firman merana dan nelangsa di Karang Nangka, karena dia tidak mengizinkan Firman pindah ke Tintrim. Arin malah semakin ingin mengikuti Firman ke mana pun Firman pergi dan hal itu membuat Arin semakin terisak dalam nestapa.
"Maafkan Arin, Ustadz. Maafkan Arin, njih, Ust?" isak Arin.
Firman tertawa dan juga menangis. Ah, sejak awal dia tahu kalau Arin tidak akan tega meninggalkannya sendirian, tetapi di satu sisi Firman juga merasa iba pada Arin yang mengikutinya ke sana ke mari sesuka hatinya.
Dulu, setelah menikah dia langsung membawa Arin dari Jakarta ke Tintrim yang sepi, jauh, terpencil dan panas, sangat beda dengan Tintrim sekarang. Setelah betah di Tintrim dan bahkan Arin sudah mengajar di Tintrim, Firman mengajak Arin dan anak-anaknya ke Karang Nangka. Dan setelah Arin benar-benar merasa bahwa Karang Nangka adalah tempat terakhir dalam hidup mereka, tiba-tiba Firman menyatakan ingin menghabiskan sisa umurnya di Tintrim.
Terutama setelah Setiyadi meninggal.
Firman beristighfar dan melepaskan pelukannya pada Arin. Dia terduduk dengan sedih. Firman memandang Arin.
"Kukira dari kami bertiga. Aku, Bambang dan Setiyadi, akulah yang akan menghadap Allah dulu, jadi aku santai saja menikmati hidupku di Karang Nangka bersama Bai dan dirimu, Rin. Aku suka bersahabat dengan Bai." Air mata Firman adalah benar-benar air mata kesedihan. Air mata kehilangan. Firman mendongak ke arah Arin.
"Maafkan aku, ya, Rin? Aku terlalu mementingkan diriku sendiri. Aku terlalu percaya diri karena kamu selalu ridho dan ikhlash dengan keputusanku karena kamu tidak pernah marah dan menangis. Maafkan aku, Rin," bisik Firman dia memeluk Arin lagi.
Arin mengelus rambut putih suaminya. Dia merasa begitu iba pada Firman, yang semakin tua semakin mudah terbawa suasana hatinya, padahal dulu Firman termasuk orang yang begitu tegar, tabah dan kuat dalam mengeksplorasi emosinya. Ah, Firman sekarang sudah tua, sudah sepuh. Sekarang dia sangat menurut pada Arin dan selalu memenuhi semua keinginan Arin. Apapun itu. Kecuali, ya, mungkin tentang kembali ke Tintrim. Entahlah, mungkin memang Firman tidak memikirkan tentang itu dulu.
"Arin akan ikut ke Tintrim kapanpun ustadz berkehendak untuk pindah ke sini, Ust," bisik Arin lembut. Firman tersenyum.
"Kalau rumah tahfidz ini sudah dibuka, kita pindah di sini, ya? Kamu mau, kan?"
Arin memandang Firman tak percaya. Firman mengerjapkan matanya beberapa kali dan mengangguk.
"Kamu keberatan?" tanya Firman. Arin nyaris tertawa, dia menggeleng.