Fadli harus memicingkan mata untuk memandang Faza lebih lekat. Faza begitu takut melihat ekspresi bapaknya yang nampaknya marah dan hendak meledak. Dia tahu bapaknya sering memarahi kakaknya Naim dan Naimah dengan keras, bahkan menggebrak meja, tetapi bapaknya tidak pernah benar-benar memarahinya seperti itu. Faza berusaha menenangkan diri. Dia mencoba mendekati Fadli.
"Pak, Faza minta maaf, ya?" bisik Faza pelan. Fadli mengigit bibirnya dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Setetes air mata mengalir dengan cepat di pipi Faza. Beberapa orang mendekati mereka. Faza menoleh. Dia melihat Naim dan Iqbal, dua orang yang akan berpikir jernih pada kondisi segenting ini.
Naim tersenyum pada Fadli. Dia mendekati Fadli perlahan.
"Bapak sampun mireng, kan, Pak? (Bapak sudah dengar, kan, Pak?)" tanya Naim pelan.
Fadli berusaha menghapus air matanya dengan kasar.
"Yang meninggal Om Fatih?" tanya Fadli tak pasti.
"Njih, Pak. Ustadz Fatih dan Bu Atikah," bisik Naim, suaranya terdengar sedih.
Fadli tak bisa mencerna jawaban Naim begitu saja. Dia tidak mengerti kenapa bisa dua orang sepuh yang dianggap orang tuanya meninggal bersamaan? Bagaimana bisa? Apakah kedatangannya tadi malam adalah sebuah pertanda?
****
Annisa begitu tidak sabar menunggu orang-orang datang dari rumah Fiki. Beberapa kali Annisa mencoba menghubungi Fadli, tetapi teleponnya sama sekali tidak diangkat dan hal itu membuat Annisa murka. Bambang dan anak menantunya sudah berangkat ke rumah Fatih sejak tadi setelah subuh, Bambang bilang sepertinya mereka berdua dibunuh.
Annisa menangis terisak ketika mendengar perkataan Bambang tadi. Dibunuh? Salah apa pasangan tua renta itu. Air mata Annisa membanjiri pipinya, Asma sangat prihatin melihat ibunya larut dalam luka.
"Asma antar ke sana saja, ya, Mi?" bisik Asma. Annisa mengangguk.
"Kita ke rumah Ustadz Fiki dulu, mencari tahu kenapa pakdhemu tidak menjawab telponku," bisik Annisa.
Asma mengangguk dan segera menyalakan motornya untuk menuju ke rumah Fiki.
****
Yasna menangisi Fadli yang pingsan ketika mendengar Fatih dan Atikah meninggal bersamaan. Naim sangat prihatin melihat kondisi bapaknya.
"Kurasa kita harus berbagi tugas," kata Iqbal, "kita tidak mungkin tidak segera bertakziah ke sana, kan?"
Semua terdiam. Beberapa orang mengiyakan perkataan Iqbal. Yasna memandang ke arah Naim, anak lelakinya yang tertua. Naim mengangguk.
"Njih, Bu. Naim akan mengambil jalan tengah. Kami --yang ikhwan-- akan ke sana dulu, kalau bapak sudah sadar, aku akan langsung menjemput bapak dan mengantarkan bapak ke sana, begitu, ya, Buk?" tanya Naim.
Yasna mengangguk dengan berurai air mata. Naim menoleh ke arah bapaknya dan dia sangat terkejut ketika Fadli sudah membuka matanya.
"Aku ikut kamu sekarang, Im," kata Fadli pelan, "aku tadi sempat mendengar kalau Ustadz Fatih dan Bu Atikah dibunuh, benarkah?" tanya Fadli dingin, dia duduk dengan pelan. Yasna buru-buru menolong Fadli.
"Setelah ini kita akan serius menghadapi kasus ini. Aku tidak akan main-main lagi," kata Fadli penuh tekad. Faza merinding melihat bapaknya berwajah sangat serius, dia melihat kemarahan terselubung di wajah bapaknya.
Dan mereka mendengar keributan itu. Mereka mendengar teriakan-teriakan di luar rumah Fiki dan segera saja mereka melihat Annisa yang menangis sambil memanggil Fadli, membuat Azkiya yang sedari tadi memeluk ibunya jadi begitu ketakutan.
Tidak ada seorang pun yang memerhatikan Azkiya, Faza segera menghampiri Azkiya.
"Sstt ... cup ... cup ... cup ... tidak usah nangis, tidak apa-apa, ummimu sedang sedih sekali. Kamu di sini saja sama Mbak Rosalina, ya?" bisik Faza pada Azkiya. Azkiya begitu bingung dan takut, dia memeluk Faza yang berlutut di depannya sambil menangis terisak.
"Ummi nggak marah, Ustadz?" tanya Azkiya setelah isaknya agak mereda. Faza menggeleng.
"Umminya Azkiya sedang bingung sekali, sekaligus marah kenapa Pakdhenya Azkiya karena tidak segera ke rumah Azkiya tadi," bisik Faza, entah kenapa ketika dia mengatakan hal itu, air mata Faza malah mengalir pelan.
Azkiya terpesona melihat air mata Faza. Azkiya mengira Faza tidak akan pernah menangis. Ah, Azkiya jadi ikut sedih, dia memeluk Faza lagi.
"Ustadz jangan sedih. Azkiya akan menurut pada ustadz dan akan bersama dengan Mbak Rosalina. Tetapi syaratnya ustadz jangan nangis, ya?" kata Azkiya.
Faza tersenyum, dia buru-buru menghapus air matanya dan mengangguk.
"Jazakillah sudah menjadi anak sholihah, ya, Ndhuk. Nanti ustadz yang akan bilang pada Ustadz Bambang dan Ustadzah Annisa kalau Azkiya bersama dengan Mbak Rosalina di sini, ya?"
Azkiya mengangguk, dia menghapus air matanya dengan ujung gamisnya, sehingga dia harus mengangkat gamisnya tinggi-tinggi, membuat Faza terkejut dan beristighfar sambil menahan tawa. Faza buru-buru menurunkan ujung gamis Azkiya.
"Eh, nggak boleh kayak gitu!" seru Faza dengan tawa tertahan, Azkiya merona malu dan ikut tertawa bersama Faza.
Annisa memandang Azkiya dengan pandangan kosong. Azkiya langsung menunduk takut, dia tahu umminya pasti akan marah padanya.
"Kamu di sini saja, ya, Ndhuk? Sama Ustadz Faza?" tanya Annisa.
Azkiya menggeleng.
"Aku mau sama Mbak Rosalina," kata Azkiya dengan agak takut. Rosalina yang mendengar namanya dipanggil segera mendekat dan langsung paham dengan apa yang terjadi. Rosalina mengangguk.
"Njih, Bulik. Azkiya sama saya saja. Menemani Mbak Salma dan adik kembar," kata Rosalina. Faza tersenyum, dia begitu senang melihat Rosalina sudah bisa menjadi seorang istri yang bisa diandalkan.
Annisa mengangguk, air matanya membanjir lagi. Dia memeluk Rosalina tanpa alasan yang jelas, hanya karena sedih saja. Ah, Rosalina pun merasakan kesedihan Annisa, Rosalina tahu sepertinya Annisa merasa sedih karena Annisa merasa kehilangan orang tua lagi. Ah, pastilah sedih sekali rasanya.