Arin tersenyum pada Firman.
"Tadi Arin yang menyuruh Ian dan adik-adiknya untuk bersama-sama menjaga Malik, Ustadz. Jadi sepertinya mereka sedang melakukan suatu kegiatan bersama-sama," kata Arin kepada Firman.
Firman tersenyum.
"Apakah kamu sudah bilang padaku tentang hal itu, Rin?" tanya Firman. Arin menggeleng.
"Belum, Ust. Tadi ada Ustadz Handoko dan Ustadz Irawan yang datang ke sini, jadi Arin lupa belum memberitahu ustadz," jawab Arin.
Firman mengerutkan keningnya.
"Aku kemarin atau tadi, ya, bertemu dengan Irawan? Kalau Handoko, kok aku belum, ya?" tanya Firman.
Pria bernama Irawan tersenyum dan duduk di samping Firman.
"Ustadz Handoko sedang sholat, Ust. Sebentar lagi juga akan menemui Ustadz Firman," kata Irawan. Irawan buru-buru menyalami Bai. Bai tersenyum.
"Dulu saya dan Ustadz Handoko adalah sekretaris Ustadz Firman, Ust," kata Irawan, "Ustadz Firman tidak terlaku suka dengan administrasi," lanjut Irawan. Bai tertawa.
"Ya, sepertinya sekarang juga masih seperti itu. Ya, saya juga tahu itu. Panjenengan rumahnya di Tintrim, Ust?" tanya Bai. Irawan mengangguk.
"Ya, Ust. Saya selalu di Tintrim. Kami dulu bertiga menjadi sekretaris Ustadz Firman, saya, Ustadz Handoko dan Ustadz Abimanyu. Tinggal saya yang masih di sini, Ustadz Handoko ada di Jakarta, dan Ustadz Abimanyu ada di Mesir. Ustadz Handoko baru sampai tadi pagi."
Fiki mendengar percakapan antara Bai dan Irawan dengan penuh perhatian. Dia baru tahu kalau seorang asisten juga punya asisten. Beruntung sekali! Coba kalau dia. Entah apa posisinya di pesantren ruqyah Karang Legi, yang ada dia selalu dimarahi Nurul Islam dan selalu disuruh ke sana ke mari. Fiki tertawa, tetapi entah kenapa dia selalu suka direpoti Nurul Islam, karena pada akhirnya Nurul Islam sendiri yang harus menanggung risiko atas apa yang dilakukan Fiki.
Iqbal melirik ke arah Fiki. Aneh sekali iparnya itu. Sejak kemarin, Fiki nampak sangat aneh, melamun sendiri dan sering tersenyum atau tertawa sendiri. Apa benar kata orang Fiki itu terlalu jenius sehingga dia selalu berpikir melampaui batas kemampuan berpikir orang lain?
Naim menggelengkan kepalanya. Fiki pasti begitu kalau dia sedang memikirkan suatu kasus. Menyendiri, tertawa dan merengut sendiri dan tiba-tiba saja dia punya solusi dan jawaban atas semua masalah itu. Naim suka dengan cara kerja Fiki, karena Fiki banyak tahu hal tersembunyi. Naim hendak menanyakan beberapa fakta yang dilihatnya di kamar Fatih dan Atikah tadi. Mungkin mereka akan memiliki fakta yang saling menunjang satu sama lain.
Seringnya, sih begitu.
****
Yusuf membuka matanya. Dia berada di kamarnya. Di atas tempat tidurnya. Yusuf berusaha bangun, tetapi badannya cukup lelah dan akhirnya Yusuf menyerah, dia terbaring tak berdaya.
"Ibuk?" panggil Yusuf. Terdengar suara percakapan tergesa di luar kamar Yusuf dan pintu itu pun terbuka.
Dahlia, Ilyas dan Hafidz datang tergesa menghampiri Yusuf.
"Mas? Kamu sudah bangun?" Dahlia nampak kebingungan dan khawatir. Matanya berkaca-kaca. Dia mengelus wajah Yusuf seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Yusuf nampak agak jengah.
"Aku kenapa, Bu?" tanya Yusuf dengan kebingungan. Dahlia akhirnya menangis sambil memeluk Yusuf.
"Kamu kemarin menghilang, Suf. Kami sudah mencari ke mana-mana, ternyata kemarin sore kamu ditemukan pingsan di belakang rumah. Dan kamu baru bangun sekarang ...." Hafidz berhenti bicara, dia heran melihat wajah kaget Yusuf.
Ilyas tersenyum.
"Aku panggilkan dokter Nalendra lagi, ya, Mas? Untuk jaga-jaga saja, semoga kamu tidak perlu di bawa ke rumah sakit," kata Ilyas.
Hafidz dan Dahlia mengangguk.
"Panggil juga Ustadz Bambang dan Ustadz Firman ke sini, njih, Ust?" kata Dahlia, membuat Yusuf terkejut.
"Kenapa mesti memanggil ustadz, Buk?" protes Yusuf. Ilyas tersenyum.
"Hanya untuk jaga-jaga saja," jawab Ilyas sambil tersenyum dan dia segera pergi.
Sepeninggalan Ilyas, Hafidz meminta Yusuf untuk minum dan makan sementara Dahlia hanya bisa menangis dan memeluk anaknya.
"Kamu kemarin kemana, Suf?" tanya Dahlia. Yusuf menggelengkan kepalanya.
"Aku lupa, Buk," jawab Yusuf polos. Jantungnya berdebar keras, dia tidak ingin ibunya tahu kalau dia bertandang ke rumah orang itu. Jangan sampai ibunya tahu, sebagaimana bapaknya, kalau ibuknya tahu, nanti ibuknya bisa meninggal seperti bapaknya.
Dahlia mengelus kepala Yusuf, mengagetkan Yusuf.
"Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Dahlia. Yusuf mengangguk.
"Maafkan aku, Buk," bisik Yusuf, "Yusuf kemarin mengambil buku merah yang ada di atas meja bapak, tetapi setelah itu Yusuf tidak ingat apa yang terjadi," bisik Yusuf dengan penuh penyesalan.
Hafidz duduk agak jauh, tetapi dia mengamati semuanya. Dia mendengarkan dan juga mengamati ekspresi wajah dan bahasa tubuh Yusuf. Hafidz mencatat semua dalam hati.
****
Suasana malam itu ingar bingar. Lampu berkelap kelip dan suasana sangat riuh di luar. Mia memejamkan matanya. Dia sangat ingin melihat semua keramaian itu, tetapi apa saya, pasungan itu membuat Mia tidak bisa ke mana-mana.
Wanita tua itu masuk ke dalam ruang tempat Mia dipasung. Kali ini dia tidak sendiri, dia beserta seorang pria.
"Buka pasungannya!" teriak sang wanita.
"Apa tidak apa-apa, Mbah?" tanya pria itu agak ragu.
Wanita itu menggeleng.
"Biarkan dia tahu kenapa dia ada di sini," jawab wanita tua itu sambil tersenyum pada Mia, "setelah ini kamu membantuku, ya, Ndhuk?" tanya wanita itu pada Mia.
Mia sangat kebingungan, dia tidak tahu harus menjawab apa atau harus berbuat apa. Mia diam saja dan dengan senang hati bangkit berdiri. Mia langsung terhuyung dan jatuh karena dia sudah lama sekali tidak berdiri dan berjalan seperti biasa.
Pria itu segera menolong Mia.
"Dia akan kumandikan, tolong bawa wanita itu ke pemandian di bawah dan suruhlah orang untuk membersihkan tempat ini!" seru wanita tua itu. Mia bergidik melihat ruangan tempatnya dipasung. Ternyata ruangan itu sangat kotor dan bau. Mia membayangkan setiap hari dia makan, tidur dan membuang kotoran di situ. Mia akhirnya pingsan saking jijiknya.
Mia terbangun karena kehangatan yang dirasakannya. Tubuhnya terasa begitu tenang dan nyaman. Dia merasakan kenikmatan membaringkan tubuhnya dengan punggungnya di kolam air hangat yang sangat nyaman. Mia bangkit dan duduk di dalan kolam berisi air yang melimpah itu.
Mia melihat sekelilingnya. Beberapa wanita mendekati Mia. Mereka tersenyum pada Mia.
"Sudah siap mandi, Mbak Mia?" tanya seseorang diantara mereka. Mia mengangguk. Dan segera saja mereka menggosok tubuh Mia, menyabuni, memijat dan akhirnya membilas dan membersihkan tubuh Mia yang kotor sekali. Mia memejamkan mata menikmati kemewahan itu, dia tidak peduli setelah ini dia akan mati atau akan diperlakukan seperti apapun, yang penting sekarang dia bisa menikmati mandi dengan air hangat dan dilayani dengan penuh kasih sayang seperti itu.