"Saya tidak ingat, Ustadz. Saya sama sekali tidak ingat," jawab Yusuf untuk kesekian kalinya. Dia tahu, kalau Bambang pasti akan membiarkannya lolos --walaupun mungkin dia tidak percaya-- tetapi Firman tidak akan membiarkannya lolos dan hal itu membuat Yusuf salah tingkah tak menentu. Dia berusaha konsisten mengatakan bahwa dia tidak ingat kejadian kemarin, ketika dia menghilang, tetapi pandangan tajam Firman, membuat jantungnya berdebar tak menentu. Yusuf mulai berkeringat dingin, dia berusaha bersikap tenang, tetapi ... tetapi Firman nyaris tidak melepaskan pandangan darinya.
Yusuf menghela napas panjang. Dia sudah mengenal kedua sahabat abinya itu sejak dia masih kecil. Mereka berdua menyayanginya, dan bersikap normal padanya, dan tentu saja Yusuf sangat hormat pada mereka berdua. Dan Yusuf paham karakter Bambang dan Firman, yang sekarang duduk di depannya.
Mereka berdua sama-sama sepuh. Yang satu memandangnya dengan penuh kelembutan, sabar dan teduh, dan senyuman tak pernah lepas dari bibirnya. Itu adalah Bambang. Dia beberapa kali menanyai Yusuf tentang beberapa hal, dan kemudian mengalihkan pembicaraan pada Dahlia, dan kembali bertanya pada Yusuf lagi. Seakan ingin memastikan apakah jawaban Yusuf itu konsisten atau tidak.
Sementara yang satunya lagi --Firman-- nampak diam, memandang Yusuf tajam dan beberapa kali mencibir dan mencebikkan bibirnya, seakan mengejek jawaban Yusuf. Yusuf tidak berani lama-lama memandang Firman, karena dia khawatir lama-lama dia akan hancur dan akhirnya menyerah pada kejujurannya.
Firman tersenyum, dan ketika Bambang berbicara dengan Dahlia dan Antika, Firman bertanya pada Yusuf.
"Mas Yusuf tahu apa isi buku warna merah itu?"
Yusuf sangat terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia mengerjapkan mata beberapa kali. Semua orang di ruangan itu sekarang memandang ke arah Yusuf.
Firman tersenyum agak sadis, membuat benteng pertahanan Yusuf hancur berkeping-keping. Yusuf takut dan dia menelan ludahnya sebelum akhirnya berbicara.
"Kenapa baru tanya sekarang? Dia sudah melampaui ilmu wafaq! Kalian tertinggal jauh! Kalian dan kesombongan kalian!" Semua memandang Yusuf dengan terkejut. Bahkan Yusuf pun nampak terkejut dengan jawabannya sendiri. Dia menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan kuat. Dia ingin mengatakan kalau bukan dia yang menjawab pertanyaan itu, tetapi Yusuf tak kuasa.
Firman tersenyum lagi. Jin di dalam tubuh Yusuf sudah menunjukkan eksistensinya.
"Jangan! Jangan sentuh aku! Pergi kamu! Dulu kamu pernah membunuh keluargaku! Sekarang giliranku menghancurkan keluargamu!" teriak Yusuf. Firman membeliak kaget, wajahnya agak panik dan pucat. Yusuf tertawa melihat wajah Firman.
"Jangan tertipu, Ustadz!" desis Bambang. Yusuf tambah tertawa.
"Aku tidak menipumu! Aku tidak berbohong!" teriak Yusuf.
Hafidz membantu Bambang meruqyah Yusuf, sementara Ilyas membantu Firman yang nampak hampir pingsan. Yusuf terus berteriak-teriak memprovokasi Firman dan juga Bambang.
"Kalian berdua sejak dulu menghinaku. Kalian berdua dengan Setiyadi menghancurkan bangsaku, menghancurkan rumahku dan membunuh semua keluargaku. Semua keluargaku! Aku tidak akan tinggal diam! Aku akan membunuh keluarga kalian!"
Hati Hafidz bergetar mendengar teriakan jin itu. Siapakah kiranya yang tersinggung, marah dan memendam dendam pada Bambang, Setiyadi dan Firman? Ah, mungkin banyak sekali, ya?
"Siapa kamu?" bisik Hafidz tak sabar, Bambang tersenyum. Yusuf tertawa. Tawa puas dan terbahak-bahak. Dia memandang ke satu titik di luar jendela dan kemudian HP Hafidz berbunyi, mengagetkan semua orang di ruangan itu. Yusuf semakin keras tawanya.
"Sudah dua berarti! Ah! Tak kukira mereka akan sebodoh itu!" teriak Yusuf.
Hafidz menerima telepon di luar kamar. Sepeninggalan Hafidz, Dahlia mendekati Yusuf dan menamparnya kuat-kuat.
"Jangan ganggu anakkku!" seru Dahlia dengan kemarahan yang begitu murni. Pipinya memerah menahan marah dan kesedihan. Buliran air mata perlahan meluncuri pipinya.
Yusuf terpana melihat kemarahan Dahlia.
"Pergilah! Jangan ganggu kami lagi! Apa yang kamu lakukan pada kami sudah melampauai batas kesabaranku!" teriak Dahlia lagi.
Yusuf tertawa.
"Lalu kamu mau apa?" tanya Yusuf mengejek, "di mana kamu waktu Yusuf merasa kesepian dan butuh perhatianmu? Di mana kamu waktu itu? Kamu meninggalkannya sendirian sehingga dia mencari hal lain untuk menemaninya. Kamu melewatkan hal itu ...." kata Yusuf pelan, wajahnya agak sedih.
Dahlia terlihat terkejut dan kemudian tertegun. Yusuf tersenyum.
"Aku hanya mengganggu Yusuf sedikit dan kamu sudah ...." Yusuf terhenti, ketika pintu kamarnya terbuka dengan keras. Hafidz berada di ambang pintu, dia melihat wajah Yusuf pucat pasi dan kemudian secara mendadak tubuh Yusuf menjadi lemah lunglai tak sadarkan diri. Mereka semua terkejut dan segera menolong Yusuf yang pingsan.
"Apa yang terjadi, Ustadz?" tanya Dahlia histeris. Ilyas menolong Dahlia duduk di sebuah kursi di ruangan itu.
"Sepertinya Mas Yusuf membuka dirinya dengan sukarela, Bu. Sehingga dia memerbolehkan jin keluar masuk ke dalam tubuhnya ...."
"Oh! Apakah bisa diobati, Ustadz?" tanya Dahlia histeris, air mata membanjiri wajahnya. Untunglah Antika, Arini dan Arina segera menolong dan menenangkan Dahlia, sehingga Ilyas tidak merasa sungkan dan malu lagi.
"Bisakah, Ustadz?" teriak Dahlia. Ilyas mengangguk.
"InsyaAllah bisa, Bu," jawab Ilyas tenang dan dia segera membantu meruqyah dan merawat Yusuf.
Beberapa menit kemudian, Yusuf nampak tertidur pulas. Wajahnya nampak lega. Dahlia masih menangisi Yusuf. Air matanya masih bercucuran. Bambang meminta Hafidz keluar ruangan itu.
"Tolong hubungi salah satu putra Ustadz Firman, minta mereka menjemput Ustadz Firman. Kurasa kami berdua sudah tidak berguna lagi di sini. Kamu yang berjaga di sini, ya?" perintah Bambang pada Hafidz. Hafidz mengangguk.
"Oh, ya, tadi siapa yang nelpon, Fidz?" tanya Bambang lagi. Hafidz sepenuhnya terkejut. Dia berwajah panik.
"Innalillahi! Hafidz lupa, Bi!" seru Hafidz, "Mas Naim yang menelpon. Menanyakan apakah Ustadz Iqbal dan Ustadz Nurul Ikhlash berada di sini atau tidak," lanjut Hafidz. Matanya membulat. Dia memandang Bambang dan juga abinya bergantian. Dia nampak semakin takut.
"Kenapa, Fidz?" tanya Bambang. Hafidz menelan ludah.