Bai tersenyum. Dia mengamati Fiki dari tadi dan dia sangat ingin menanyakan pada Fiki apa yang sedang dipikirkannya, tetapi Bai belum menemukan kesempatan yang pas, karena kemudian Fadli meminta mereka untuk berkumpul dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dan Fiki menjelaskan semuanya. Ah, pria muda satu itu memang terlalu menggoda Bai, dia tidak akan bisa membiarkan Fiki lepas begitu saja. Ya, harus seperti itu.
"Apakah Ustadz Bai sudah tahu apa yang terjadi, Ust?" tanya Fiki pada Fadli. Bai menjengit, kenapa namanya juga ikut disebutkan?
Fadli menggeleng.
"Sepertinya memang harus dijelaskan. Ambilkannya bukunya di kamarku, Za!" Faza segera menuju ke kamar Fadli dan kembali membawa buku berwarna merah polos itu.
Bai membeliak tak percaya melihat buku itu. Dia berseru tertahan. Semua orang memerhatikan Bai.
"Ustadz mengenali buku ini?" tanya Fadli. Bai tersenyum dan mengangguk.
"Ada lima buku bersampul merah itu," jawab Bai, dia menerima buku itu dan menimangnya. Bai membuka buku itu dengan segala rasa yang tergambar jelas di wajahnya.
"Ilmu wafaq sempat saya pelajari sampai tuntas dan kemudian kelima buku itu saya simpan rapat-rapat dalam lemari baju saya, karena saya yakin kalau buku ini sampai jatuh ke tangan yang salah, maka bisa jadi petaka ... seperti sekarang?" Bai terdiam, dia mengedarkan pandangan berkeliling.
"Saya benar-benar lupa dengan buku ini, sampai ketika saya menikah dan kemudian istri saya merapikan baju saya, dan saya menyadari bahwa kelima buku itu sudah tidak ada ...." Suara Bai melemah. Dia nampak ragu dan agak khawatir.
"Saya tidak tahu kapan buku itu diambil dan siapa yang mengambilnya. Saya benar-benar tidak tahu," kata Bai.
Semua terdiam.
"Ustadz memelajari ilmu wafaq untuk apa?" tanya Firman.
Bai tersenyum dan mengingat dirinya ketika muda dulu. Liar dan tak peduli dengan nasihat orang padanya. Dia memandang ke arah Firman.
"Semua berawal dari kakek saya, yang pernah mengajarkan suatu hal yang saya hapal sampai sekarang. Beliau mengajarkan bentuk tabel berisi kolom-kolom kecil dan menuliskan huruf-huruf Hijaiyyah di setiap kolom itu. Daseng Baihaqi mengatakan bahwa setiap kolom itu memiliki kekuatan tersendiri dan akan sangat berbahaya apabila diucapkan oleh orang yang salah. Lalu Daseng Baihaqi mengajari saya cara membaca huruf dalam kolom tersebut dan menyebutkan bahwa huruf-huruf dalam tiap kolom tabel tersebut berfungsi untuk menaklukkan hati seseorang yang sedang diincar oleh Daseng Baihaqi saat itu ... sayangnya saya tidak bertanya siapa orang itu dan kenapa dia ingin menaklukkan hati orang itu ...." Bai nampak melamun, dia membuka-buka lagi buku itu.
"Sebenarnya secara mendasar ilmu wafaq itu apa, Ust?" tanya Faza yang duduk di deretan belakang Fadli. Beberapa orang menoleh ke arahnya. Fadli tidak melakukannya, dia paham Faza pasti akan menanyakan hal itu. Bai menganggukkan kepalannya. Dia semakin terpesona pada keluarga Fadli, keluarga Fadli memiliki potensi yang begitu besar dan Faza adalah salah satunya. Ah, betapa inginnya dia menjadikan Faza sebagai salah satu asistennya, pasti menarik sekali.
"Secara bahasa wafaq adalah keserasian. Yang dimaksud serasi itu adalah keserasian atau klopnya kehidupan kita dengan Al Quran. Awalnya memang bagus sekali, keserasian hidup manusia dengan Al Quran. Segala sesuatu dikembalikan kepada Al Quran. Misalnya kalau kita merasa kurang dalam harta kita bisa merujuk kepada Surat Ibrahim ayat 7, di mana Allah menyebutkan bahwa kita harus selalu bersyukur dan apabila kita tidak bersyukur sebenarnya azab Allah itu sangat pedih. Dan kalau kita merasa harta kita kurang, kita bisa membaca ayat itu dan meresapi maknanya. Indah sekali bukan? Benar-benar keserasian antara kehidupan manusia dan Al Quran. Dan masih banyak juga contoh yang lain terkait hubungan antara kehidupan manusia dengan Al Quran, misalnya kalau sakit panas atau mengalami kesulitan melahirkan, ada ayat Al Quran yang sesuai dengan keadaan tersebut dan kita bisa bacakan untuk memermudah kesulitan itu. Karena pada dasarnya Al Quran memang menenangkan hati manusia ...." Bai mendesah.
"Tetapi sayangnya ada manusia yang sok pintar dan mencari-cari sendiri ayat Al Quran yang sesuai dengan masalah yang dihadapinya dan bahkan membuat rumus sendiri dengan ayat Al Quran yang sekiranya bisa meringankan kehidupannya. Dan, yah, terciptalah ilmu wafaq yang salah kaprah, karena dengan sengaja menggunakan berbagai hal yang dikait-kaitkan dengan masalah manusia dan dihubung-hubungkan dengan Al Quran. Yang paling umum adalah mengaitkan kehidupan manusia dengan ilmu perbintangan dan mengaitkan dengan Al Quran. Misalnya saja kalau planet, bintang atau benda langit tertentu berada dalam posisi tertentu maka akan tepat sekali untuk memulai suatu acara, atau memulai sebuah usaha atau untuk menaklukkan hati seseorang dengan membacakan ayat Al Quran tertentu yang sudah disesuaikan dengan keadaan tersebut ... saya dulu cukup menghapal semua ketentuan dalam lima buku wafaq saya ini."
Faza menelaah apa yang didengarnya, dia sangat terkejut sekaligus terpesona. Fiki nampak kegirangan mendengar semua penjelasan Bai, hampir separuh dugaannya dan pemikirannya benar. Fadli nampak berpikir-pikir dan mengingat sesuatu, sepertinya dulu Ustadz Irfan melarang buku ilmu wafaq itu ada di pesantren ruqyah Karang Pandan. Naim mencatat tanpa benar-benar memahami apa yang didengarnya. Firman nampak berusaha mengerti, bahwa seorang ustadz besar dulu pernah memelajari ilmu terlarang itu. Nurul Islam hampir seperti Firman, tidak percaya, sekaligus agak khawatir melihat reaksi Fiki yang nampak ceria. Nurul Islam tahu, Fiki pasti memiliki rencana lain atau tahu tentang suatu fakta yang tidak akan diberitahukan kepadanya. Beberapa ustadz di belakang Bai --yang sepertinya adalah asisten Bai-- nampak berwajah mafhum sekaligus prihatin dengan keanehan Bai, membuat Fadli tak bisa menahan gelinya.
"Jadi ilmu wafaq bisa kita katakan primbon bagi ilmu sihir, Ust?" tanya Faza lagi. Kali ini Fadli menoleh ke arah anak bungsunya itu. Fadli heran kenapa Faza bisa memiliki pemikiran seperti itu.
Bai tersenyum. Faza mengingatkan Bai pada Fadli, ketika dulu dia minta penjelasan tentang ilmu Raga Sukma. Waktu itu Fadli menanyakan banyak hal, sebagaimana Faza sekarang. Dan Bai percaya, setelah pertemuan ini selesai, Faza pasti masih akan bertanya secara pribadi padanya tentang wafaq ini.
Bai mengangguk pada Faza.
"Bisa dibilang seperti itu, Ustadz. Ilmu wafaq adalah primbon bagi ilmu sihir timur tengah yang sekarang seperti sudah dipakai berbagai kalangan, dan juga ilmu wafaq memiliki banyak petunjuk membuat rumus-rumus dengan ayat Al Quran yang dibolak-balik sesuka-suka dukunnya, sehingga bisa membantu manusia --yang sebenarnya dengan bantuan jin tentu saja-- untuk mendapatkan apa yang diinginkan manusia itu," jawab Bai, "di buku itu ada panduan cara memilih, cara memilah, cara memisah dan cara menentukan ayat Al Quran dan kemudian nantinya membuat rumusan dengan tata cara di buku wafaq itu, kalau sekarang untuk kepentingan jahat manusia," jelas Bai panjang lebar.
"Ayatnya sesuai pilihan dukunnya atau bagaimana, Ust?" tanya Faza lagi. Bai mengangguk.
"Ya, Ust. Sesuka-suka dukunnya saja. Kadang dukunnya mengatakan ayat pilihannya, yang sebenarnya adalah ayat Al Quran pilihan jinnya. Dan sebagai peraqi kita tentu saja tahu, seperti apa jin itu. Saya yakin dan percaya jinnya pasti akan memilih ayatnya secara acak dan dia akan senang sekali kalau manusia mematuhi semua petunjuk jin itu," kata Bai, "seandainya Ustadz Faza ingin melihat-lihat seperti apa acaknya seperti apa asalnya rumusan dalam ilmu wafaq itu, nanti bisa saya kita lihat bersama-sama ...."
"Saya rasa itu tidak perlu!" potong Fadli dengan keras dan cepat, secara khusus dia mendelik ke arah Faza. Faza segera menunduk, dia paham sekali bapaknya tidak akan berkenan kalau dia belajar ilmu terlarang itu.
"Ustadz Irfan dan Pak Sapto tidak memerbolehkan ilmu wafaq untuk dipelajari secara khusus. Dan saya memegang teguh keputusan itu," kata Fadli dengan tandas. Bai mengangguk. Dia setuju dengan perkataan Fadli tadi, lagipula dia kan tadi hanya mengatakan 'seandainya', tetapi kali ini Bai tidak ingin memperkeruh keadaan dengan menyangkal perkataan Fadli.