Joyo Kartiko tidak menyangka ketika sore itu Bambang dan Firman datang ke rumahnya. Joyo Kartiko panas dingin dan gemetaran melihat beberapa ustadz lain ikut dengan Bambang dan Firman.
Tentu saja Joyo Kartiko tahu mereka berdua, sebagaimana mereka berdua tahu Joyo Kartiko. Dan Joyo Kartiko menyesal, mengapa dia menjadi dukun dan sok-sokan membuka praktik perdukunan di Tintrim yang sudah berubah ini. Tetapi dengan senyum merekah, dia tetap menyapa Bambang dan Firman.
Bambang pun menyalami Joyo Kartiko dengan senyum yang tak kalah ramahnya. Mereka semua masuk ke dalam rumah Joyo Kartiko yang remang-remang dan pengap itu.
"Pak Joyo, apakah Indrajit ada di rumah?" tanya Firman. Dia tidak bisa menemukan kalimat seperti apa yang paling tepat untuk menanyakan apa yang mereka cari.
Ekspresi Joyo Kartiko adalah terkejut dan kemudian meredup. Dia nampak sedih.
"Indrajit sudah lama saya usir dari rumah, Ust. Sudah sepuluh atau lima belas tahun yang lalu. Saya lupa," jawab Joyo Kartiko, "dia anak yang bodoh! Dia tidak menurut pada saya! Saya marah, kami bertengkar dan bahkan berkelahi, kemudian saya mengusirnya pergi, bertepatan dengan keinginannya untuk minggat dari rumah," lanjut Joyo Kartiko. Wajahnya nampak sedih dan sedikit marah.
"Saya tidak pernah tahu dia ada di mana, Ustadz dan saya memang tidak ingin mencari tahu tentang anak durhaka itu," kata Joyo Kartiko lagi. Napasnya agak sedikit memburu.
Bambang tersenyum bijak.
"Kenapa Indrajit dianggap anak durhaka, Pak? Bukankah dia dulu sering mengaji di rumah tahfidz? Sepertinya saya dulu pernah mengajarnya beberapa kali," kata Bambang. Samar-samar dia ingat anak remaja berwajah minder yang mengaji di depannya. Anak remaja dengan wajah penuh binar harapan. Tetapi yang paling diingat Bambang adalah kilatan kenelangsaan di mata remaja itu.
Joyo Kartiko langsung mencebik, ah, Fiki tidak dapat menahan tawanya. Sepertinya dukun tua itu menganggap anaknya durhaka karena anaknya mengaji dan tidak mau belajar ilmu hitam dengan bapaknya.
"Ya, karena dia mengaji itulah dia jadi tidak mau belajar ilmu gaib dengan saya!" seru Joyo Kartiko marah. Dia memandang Bambang dengan penuh kebencian dan akhirnya membuang muka. Semua diam dan menunggu.
"Mau apa ustadz mencari Indrajit? Kalau dia membuat masalah itu bukan urusan saya!" seru Joyo Kartiko lagi, dia memandang ke arah Bambang dan Firman dengan nyalang.
"Ustadz sami kundur mawon! Kulo pun mboten bakal ngurusi Indrajit malih! (Ustadz pulang saja! Saya tidak akan mengurusi Indrajit lagi!)" teriak Joyo Kartiko.
"Saya hanya akan bertanya ...."
"Saya tidak akn menjawab lagi! Pergi saja, Ust! Jangan ke sini lagi!" teriak Joyo Kartiko. Mereka terdiam, tetapi akhirnya Bambang mengalah dan berpamitan pulang. Fiki tetap duduk di tempatnya, dan dia tersenyum pada Joyo Kartiko.
"Apakah Indrajit adalah putra Pak Joyo Kartiko yang bapak anggap tidak bisa melakukan apa-apa?" tanya Fiki tanpa tedeng aling-aling. Joyo Kartiko membeliak tak percaya, dia mendelik ke arah Fiki.
"Jangan sok tahu, Ustadz! Atas dasar apa ustadz bertanya seperti itu?" tanya Joyo Kartiko dengan wajah merah padam.
Fiki tersenyum.
"Saya hanya menduga. Biasanya orang tua yang menganggap anaknya tidak mau mengikuti perintahnya, awalnya pasti karena orang tua itu lebih dulu menganggap sang anak tidak mampu melakukan apa yang diperintahkannya ...." Fiki sengaja diam, untuk menunggi reaksi Joyo Kartiko. Joyo Kartiko memandang Fiki dengan pandangan kosong dan sedikit tak percaya.
Joyo Kartiko mendesah. Wajahnya berubah putus asa.
"Betul, Ust. Betul sekali. Sejak kecil Indrajit adalah anak yang berbeda dengan kakak dan adiknya. Dia paling malas dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Dia tidak pernah mau ikut tirakat dengan saya ... dan kemudian saya murka ...." Joyo Kartiko terdiam. Dia mengembuskan napas panjang.
"Saya selalu menghajar Indrajit ketika dia menolak ajakan saya untuk bertirakat dan mencari ilmu hitam. Saya akan mengumpatnya dan mencaci maki Indrajit dan meminta Indrajit agar mencontoh kakak dan adiknya yang selalu menurut pada saya. Dan kemudian ... kemudian pagi itu saya baru saja menghajar Indrajit. Dia tidak melawan sama sekali. Saya merada iba sebenarnya, jadi setelah itu saya langsung pergi. Tetapi ... tetapi saya waktu itu masih berada di depan pintu, Ust, ketika Indrajit berteriak-teriak marah dan memaki saya dengan segenap rasa di hatinya. Indrajit mengeluarkan semua kemarahan dari hatinya, saya belum pernah mendengar Indrajit marah seperti itu, Ust. Sepertinya Indrajit sudah menahan amarah itu cukup lama ... dan ... dan dia mengeluarkannya saat itu. Saya ingat sekali kata-katanya, Ust. Saya ingat sekali. Mungkin saya tidak akan pernah lupa ...." Joyo Kartiko menangis terisak. Dia sepertinya juga meluapkan semua emosinya. Fiki merasa sangat iba. Walau seburuk apapun, Joyo Kartiko tetap seorang manusia dan mengalirlah ceritanya ....
****
Joyo Kartiko benar-benar marah. Dia selalu marah kalau berada di dekat Indrajit. Entah kenapa. Dan hari ini seperti biasa, Joyo melihat Indrajit baru selesai sholat Subuh dan hendak mengaji. Joyo Kartiko seketika tersulut emosinya. Dia bergegas menuju ke kamar Indrajit dan membuka pintu kamar anaknya itu dengan penuh kemarahan.
"Siapa yang menyuruhmu sholat dan mengaji?" teriak Joyo Kartiko, dia muntab dan merebut Al Quran yang dipegang Indrajit. Dia membanting Al Quran itu ke lantai dengan keras. Indrajit membeliak tak percaya pada bapaknya, sekilas kemarahan melintas di wajahnya. Tetapi hanya selintas, setelah itu wajah Indrajit kembali datar dan kosong, dia terlihat pasrah dan menyerah.
Dan wajah pasrah Indrajit membuat Joyo Kartiko semakin marah, dia menghentak-hentakkan kaki dengan penuh kemurkaan.
"Siapa yang menyuruhmu sholat mengaji dan belajar agama? Siapa, ha? Siapa? Jawab aku!" raung Joyo Kartiko sambil menarik tangan Indrajit dan menyeret keluar dari kamar. Ibu Indrajit menjerit-jerit histeris, mencegah Joyo Kartiko berlaku nekad.