Salma menangis tiada henti. Dia hampir-hampir tidak mau berpisah dengan Fiki.
"Nggak usah nangis, to. Ada bapak dan ibuk. Ada mbak-mbakmu dan ada Rosalina juga. Semua akan menemanimu. Kamu nggak akan sendirian, kan?" kata Fiki. Dia berusaha melepaskan pegangan tangan Salma.
"Anak-anak bagaimana?" tanya Salma sambil terisak.
"La, gimana? Bukankah anak-anak baik-baik saja? Semoga semua sehat selama aku nggak bersamamu ...."
"Bibar niki njuk, sampun nggih, Ust. Mangkih ustadz ngendiko kalih Ustadz Nurul Islam nek meh kagungan putra malih, ben mboten didhawuhi ekspedisi mawon, (setelah ini terus sudah, ya, Ust. Nanti ustadz bilang sama Ustadz Nurul Islam kalau ustadz akan punya anak lagi, biar tidak disuruh ekspedisi lagi,)" kata Salma merajuk.
Fiki tersenyum geli dan mengangguk.
"Nggih, InsyaAllah. InsyaAllah setelah kasus ini selesai ustadz akan bilang pada Ustadz Nurul Islam kalau Fiki akan segera memiliki anak lagi dan sementara tidak ikut ekspedisi dulu. Begitu, kan?" tanya Fiki, dia memeluk Salma dengan gemas.
Air mata Salma bercucuran. Fiki hanya dapat tertawa saja. Dia mengelus kepala istrinya dengan penuh kasih sayang.
"Ustadz harus berjanji menjaga diri, ya?" Salma merajuk. Fiki tertawa kecil dan mengangguk.
"InsyaAllah. Doakan aku dan kami semua sehat selamat, ya?"
Salma mengangguk.
"Kalau mau berbuat aneh-aneh lihat tangan dan kaki sudah penuh luka, jangan ditambahi lagi," bisik Salma. Fiki tersenyum dan mengangguk.
"Iya, Ma. InsyaAllah. Kamu doakan dari rumah, ya?"
Salma mengangguk dan akhirnya mau untuk bergegas dan naik ke mobil yang akan membawanya pulang ke Karang Pandan dengan ibunya dan Rosalina. Ah, beratnya hati Fiki melepas Salma. Dia melambaikan tangan pada ketiga anaknya yang tertawa bahagia dari balik kaca mobil. Mereka belum paham dengan apa yang terjadi, mereka belum paham beratnya hati kedua orang tua mereka sekarang, dan hal itu membuat Fiki menangis. Dia tidak bisa menahan air matanya lagi.
Nurul Islam merangkulnya. Dia merasa iba pada Fiki yang memiliki kehidupan yang lebih berat daripada dirinya. Fadli menjajari Fiki.
"Sepertinya Salma hamil lagi, njih, Ust?" tanya Fadli. Fiki mengangguk tanpa menoleh pada Fadli. Dia mengusap air matanya yang mulai bercucuran lagi.
"Masya Allah, cucuku mau tambah satu atau mungkin dua lagi. Aku memang sudah tua," bisik Fadli, dia menepuk-menepuk bahu Fiki yang menjulang tinggi di depannya, "jazakallah, Ustadz. Semoga semua sehat dan dimudahkan," kata Fadli. Dia pergi meninggalkan Fiki dan Nurul Islam, Fiki melihat sekilas air mata yang membayang di mata Fadli tadi. Ah, Fiki tersenyum. Dia merasa antara bahagia, sedih, dan risau.
Astaghfirullah.
****
Nurul Ikhlash terbangun dalam kebingungan dan rasa sakit pada kaki dan tangannya. Ngilu sekali. Dia mendesah keras dan menyesalinya, karena dia mendengar suara langkah kaki mendekatinya.
"Oh, sudah bangun rupanya." Terdengar suara perempuan tua di dekat Nurul Ikhlash, tetapi tubuh Nurul Ikhlash terlalu sakit untuk bergerak.
"Apakah dia tidak apa-apa?"
Oh! Nurul Islam menjengit. Itu, kan suara Iqbal!
Iqbal?
Apakah Nurul Ikhlash selamat? Nurul Ikhlash mengabaikan rasa sakit di tubuhnya, dia menengok dan melihat sosok Iqbal yang berdiri di depan pintu dengan seorang perempuan tua, dan hasilnya leher dan bahu Nurul Ikhlash sakit tak terperi. Nurul Ikhlash mengaduh dan perempuan tua itu tertawa terkekeh-kekeh dan mendekati Nurul Ikhlash.
"Aku takut ada yang terkilir atau tulang yang patah. Kita harus segera ke rumah dokter atau mantri, atau bahkan rumah sakit, setelah ini, ya?" kata perempuan tua. Dia memeriksa Nurul Ikhlash dengan seksama dan teliti. Iqbal mendekat dengan penuh rasa khawatir.
"Ustadz, apa yang ustadz rasakan?" tanya Iqbal pelan. Perempuan tua itu telah selesai memeriksa Nurul Ikhlash dan mengatakan bahwa tidak ada yang serius, kemudian dia minta izin keluar dan mengatakan akan membawakan makanan dan minuman untuk Iqbal dan Nurul Ikhlash.
Nurul Ikhlash tidak langsung menjawab, dia meraba pergelangan tangannya yang terdapat bekas kemerahan dan meringis.
"Sakit, Ust," jawab Nurul Ikhlash, dia tersenyum.
Iqbal mengangguk.
"Kemarin ustadz diikat dengan sangat kuat," jawab Iqbal.
"Kita di mana, Ust?" tanya Nurul Ikhlash pada Iqbal. Iqbal tersenyum dan menggeleng.
"Saya tidak tahu, Ustadz. Nenek ini hanya tahu nama daerah yang tidak saya kenali. Ketika kemarin saya tanya kita ada di mana, dia menjawab nama daerah yang belum saya ketahui sama sekali ... belum pernah saya dengar sama sekali," jawab Iqbal. Nurul Ikhlash menjengit. Dia mencoba memahami apa maksud Iqbal. Iqbal tertawa.
"Dia menyebut daerah ini dengan nama Lemah Teles, Ust. Dan katanya dia akan membawa ustadz ke rumah sakit daerah Lawang Tawang atau Lawang Lintang, saya lupa," jawab Iqbal.
Nurul Ikhlash merenung. Nama yang cukup aneh memang dan sepertinya dia belum pernah mendengar nama daerah itu. Nurul Ikhlash memandang ke arah Iqbal, dia hendak menanyakan tentang Karima, tetapi mengurungkan niatnya dan menanyakan hal lainnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Ust?" tanya Nurul Ikhlash pada Iqbal. Iqbal mengerutkan keningnya, dia juga tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya terjadi.
"Hal yang terakhir saya ingat di Tintrim adalah Naimah menelpon saya, Ust. Saya keluar dan kemudian ... dan kemudian saya lupa semuanya. Seingat saya memasuki suatu ruangan yang berwarna hitam. Ah, tetapi saya tidak yakin. Tetapi yang saya ingat dengan jelas adalah saya mendengar ustadz berkata 'Karima' begitu. Jadi saya kira ustadz sedang menelpon ustadzah," jawab Iqbal.
Nurul Ikhlash kemudian teringat peristiwa sebelum dia terbangun di sini. Dia memandang Iqbal tak percaya.
"Saya memang merasa menelpon Karima. Tetapi ketika saya keluar dari rumah Ustadz Fiki, saya merasa memasuki sebuah ruangan berkabut pekat. Saya nyaris tidak bisa bernapas dan ... dan saya tidak sadarkan diri. Saya lupa semuanya, Ust," bisik Nurul Ikhlash. Mereka berpandangan.
"Berarti kita diculik?"
Mereka berdua mengangguk.
"Kita di alam gaib?"
Mereka menggeleng.
"Tidak tahu. Apa kita benar-benar ada di alam gaib?"
Mereka berpandangan dan saling tersenyum. Mereka berdua sama-sama tidak tahu dan tidak tahu bagaimana caranya mencari tahu. Tetapi itu bisa menunggu. Nurul Ikhlash penasaran bagaimana caranya Iqbal bisa tahu tentang keberadaannya di sini.
Iqbal tersenyum mendengar pertanyaan Nurul Ikhlash.