Naim sama sekali tidak tahu apa yang akan mereka lakukan di rumah Bambang. Dia hanya agak khawatir dengan Fiki yang sedari kemarin terlihat setengah melamun, dan baru terlihat benar-benar tersadar ketika Salma pulang tadi. Naim merasa kasihan pada Salma dan juga Fiki, yang harus terpisah gara-gara kasus ini. Dia membayangkan sebentar lagi anak mereka akan menjadi empat atau bahkan lima. Suatu pencapaian yang sangat luar biasa! Naim tersenyum sendiri.
Fiki menghentikan motornya dengan mendadak di depan rumah Bambang. Dia langsung berlari masuk ke dalam rumah Bambang. Naim terpaksa harus mengambil kunci motor Fiki dan memarkir motor Fiki dengan rapi, dan kemudian beberapa ustadz menyusulnya, termasuk Hafidz.
"Mas, sebenarnya ada apa, sih?" tanya Hafidz pada Naim. Naim menggelengkan kepalanya.
"Kalau aku tahu pasti aku akan memberitahumu, Fidz," jawab Naim, "tetapi aku yakin, nanti Fiki akan menjelaskan pada kita semua," lanjut Naim.
Hafidz mengangguk, dia terlihat kurang puas. Dia tahu Fiki pasti akan menjelaskan hal itu padanya, tetapi dia berharap Naim tahu sesuatu mengenai hal itu.
****
Fiki setengah berlari menuju ke rumah Bambang, mengagetkan Annisa dan Asma.
"Ustadz di mana?" tanya Fiki dengan wajah yang agak panik.
Annisa menunjuk ke dalam dan tanpa permisi Fiki langsung masuk ke dalam. Annisa membeliak tak percaya, tetapi Asma diam saja, dia bahkan tersenyum geli. Dia sudah hapal seperti apa kelakuan Fiki sehari-hari.
Annisa segera mengikuti Fiki masuk ke dalam dan melihat Fiki menyapa Bambang yang sedang mengajari Azkiya mengaji.
"Ustadz?"
Bambang menoleh dan tersenyum.
"Ustadz Fiki?"
Fiki mengangguk. Dia segera duduk di depan Bambang.
"Ustadz baik-baik saja?" tanya Fiki. Bambang mengangguk.
"Alhamdulillah, saya baik-baik saja. Ada apa gerangan, Ustadz?" tanya Bambang keheranan. Fiki tersenyum.
"Fiki akan bertanya sedikit pada Ustadz Bambang untuk memecahkan kasus ini, njih, Ust?" Bambang mengangguk.
"Silahkan, Ustadz," jawab Bambang pendek. Fiki mengangguk.
"Apakah Ustadz Firman dulu sering menghajar putra-putranya?"
Bambang mengerutkan keningnya. Dia sangat terkejut dengan pertanyaan Fiki, tetapi Bambang mengangguk.
"Kalau Ustadz Setiyadi? Apakah beliau juga melakukan hal yang sama?" tanya Fiki.
"Maksud Ustadz Fiki apa Ustadz Setiyadi menghajar anaknya? Menghajar Yusuf?" tanya Bambang. Fiki mengangguk.
Bambang memandang Fiki dengan tajam, sedikit marah dan lalu duka itu muncul. Bambang meneteskan air mata ketika mengangguk.
"Njih, Ust. Njih. Ustadz Setiyadi adalah orang yang sangat keras pada Yusuf dan juga Antika." Bambang terisak, dia terlihat, terdengar dan terasa begitu sedih.
Oh, Fiki tidak menyangka semua pertanyaan yang diendapkan dalam dadanya mendapat jawaban yang sesuai dengan keinginan hatinya, sekaligus sesuatu yang tidak diinginkan oleh hatinya. Fiki merasa begitu miris.
"Saya minta maaf, Ustadz. Fiki tidak bermaksud ...."
"Mboten, Ustadz! Mboten menopo, (tidak, Ustadz! Tidak apa-apa), memang seharusnya saya melarang beliau berlaku keras pada Yusuf dan Antika, tetapi saya tidak melakukannya. Saya rasa perlakuan Ustadz Setiyadi pada putra putri beliau adalah hak beliau," potong Bambang. Dia menyeka air matanya.
Azkiya terlihat agak sedih dan juga takut melihat abinya menangis. Azkiya baru melihat abinya menangis ketika Setiyadi meninggal beberapa waktu yang lalu. Azkiya memeluk abinya.
"Abi jangan nangis," bisik Azkiya dengan takut-takut, air matanya menggenang di pelupuk matanya.
Bambang tersenyum dan mengangguk, dia membiarkan Azkiya menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
"Kamu juga jangan nangis, ya, Ndhuk. InsyaAllah abi sudah tidak sedih lagi karena sudah dihibur oleh Azkiya, kan?" bisik Bambang.
Azkiya mengangguk, dia menuruti panggilan ibunya yang meminta Azkiya untuk segera pergi karena ada banyak tamu untuk abinya. Setelah Azkiya pergi, Fiki memeluk Bambang dan meminta maaf kepadanya sekali lagi, kemudian Hafidz meminta mereka untuk duduk di ruang tamu.
"Apa maksud Ustadz Fiki menanyakan hal ini, Ust?" tanya Bambang. Fiki tersenyum.
"Saya sebenarnya memiliki pikiran ini setelah Ustadz Fadli mengatakan bahwa Yusuf adalah anak yang jarang mendapat perhatian orang tuanya dan sering dibandingkan. Saya merasa bahwa Yusuf hampir sama seperti Malik yang memang sering dihukum dengan keras oleh Ustadz Firman ... sebagaimana juga saya, Ust ...." Fiki terdiam sejenak. Dia tersenyum untuk menutupi luka di hatinya.
"Dulu Ustadz Sholeh sering menghukum saya dengan mencambuk saya atau menghajar saya dan setelah selesai beliau selalu mengajak saya bicara sendiri, tanpa ada sepupu-sepupu saya ...." Air mata Fiki berlinangan dalam diam. Ah, terasa sekali sedihnya. Fiki berusaha tersenyum dan mengabaikan air mata itu.