Faza menghela napas panjang. Perjalanan jauh mereka terbayar dengan pemandangan yang begitu indah di depan matanya. Warna hijau, merah, kuning, mendominasi pemandangan di depannya. Dan suasana yang sejuk membuat Faza merasa lega dan lepas dan semua rasa amarah dan mangkel yang sejak dua hari lalu dirasakannya.
Huh!
Mengingat kembali kejengkelan dan kemarahan Faza dua hari yang lalu membuat mood Faza kembali buruk. Ah! Dia benci dengan semua ketidaksempurnaan ini! Dia begitu tidak suka dengan semua perdebatan dan pertentangan yang ada.
Faza terpaksa harus menahan diri untuk tidak meneriaki Fiki yang tiba-tiba saja menolak ikut ke Bukit Sembrani tanpa alasan yang jelas.
"Kenapa, Ustadz?" tanya Faiz, sepertinya dia juga sama jengkelnya dengan Faza. Dia memandang Fiki dengan pandangan tak suka. Fiki hanya tersenyum melihat kemarahan Faiz.
"Saya memikirkan beberapa kemungkinan-kemungkinan, Mas Faiz," jawab Fiki dengan senyum di wajahnya. Senyum yang menyembunyikan kemarahan yang sama seperti Faiz.
Faiz diam.
"Daripada membingungkan semua orang, kenapa ustadz tidak menceritakan kepada kami kemungkinan-kemungkinan apa yang sekiranya membuat ustadz menjadi merasa tidak perlu ikut ke Bukit Sembrani?" tanya Faiz. Masih dengan kemarahan yang sama. Mimik wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kepekaan sama sekali.
Nurul Islam mendesah. Dia tahu Fiki pasti akan memikirkan banyak kemungkinan dan seringnya dan ujung-ujungnya akan membuat kehebohan dengan mengucapkan sesuatu yang kontroversial yang biasanya bertentangan dengan keputusan yang sudah ada, seperti sekarang ini. Dan Nurul Islam melihat beberapa orang sudah mulai marah seperti Faiz. Faza nampak mencebik dan sedikit putus asa, dia terlihat pasrah. Hafidz berdecak tak sabar. Hanya Naim yang nampak penasaran, dia tidak terlihat marah. Para ustadz sepuh hanya menunggu dalam keheningan di belakang mereka. Dan kadang ustadz sepuh itu bisa sama menjengkelkannya dengan Fiki.
Sekali lagi Fiki tersenyum.
"Ah, apa yang saya pikirkan tidak penting," jawab Fiki enteng, membuat Faiz bertambah murka. Dia mencibir.
"Jadi ustadz menyimpulkan bahwa perjalanan yang kita lakukan ini sebenarnya kurang bermanfaat? Emm ... saya bukan orang yang pintar berkata-kata ... mungkin bukan kata tidak bermanfaat, tetapi mungkin lebih tepatnya adalah perjalanan yang akan kita lakukan ini adalah perjalanan yang sia-sia?" tanya Faiz dengan ketus. Dia sudah tidak berbasa-basi menahan amarahnya lagi.
Beberapa orang beristighfar. Hafidz segera menenangkan Faiz, dan Nurul Islam segera memarahi Fiki.
Tiba-tiba terdengar suara dehaman.
"Ehem ... mohon maaf menyela." Semua menengok ke arah sumber suara dan melihat Ian berdiri dengan penuh percaya diri. Dia tersenyum kepada semua orang.
"Maaf, ustadz sekalian. Menurut saya seandainya Ustadz Fiki memang tidak mau ikut ke Bukit Sembrani, tidak menjadi masalah, kan? Kita tetap bisa berangkat sendiri ke sana?" tanya Ian dengan nada datar dan sangat biasa. Firman beristighfar.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu, Nak?" tanya Firman.
Ian mencebik.
"Ya, kalau menurutku, kalau tidak mau ya, jangan dipaksa, Bi. Ustadz Fiki pasti punya asalan sendiri kenapa fidak mau, kan?" jawab Ian dengan senyum geli.
Firman mengembuskan napas panjang. Dia beristighfar dalam hati dan menggelengkan kepalanya perlahan. Firman merasa dia sedang menghadapi dirinya sendiri dulu ketika dia masih muda. Firman merasa Ian sama persis dengan dirinya. Sombong, tidak memedulikan orang lain dan menganggap orang lain tidak penting. Firman mendesah. Dia harus mengingatkan Ian untuk menghormati Fiki, ketika mendengar tawa itu. Tawa geli.
Firman mencari sumber tawa itu dan melihat Fiki tertawa geli. Membuat semua orang melihat ke arah Fiki dengan keheranan. Fiki buru-buru berusaha menguasai dirinya karena telah membuat kehebohan.
"Astaghfirullah, maafkan saya. Maafkan saya. InsyaAllah saya akan ikut ke Bukit Sembrani, Mas Faiz, Mas Ian," kata Fiki agak terbata, karena sambil menahan tawa.
Mendengar jawaban Fiki, Faiz mengangkat bahu dengan malas, tetapi wajahnya menunjukkan kelegaan. Faiz segera berterima kasih kepada Fiki dan berlalu.
Nurul Islam begitu gemas melihat Fiki yang masih tertawa geli. Dia tidak paham kenapa Fiki tertawa.
"Hentikan, Fik! Apa maksud ketawamu itu?" bisik Nurul Islam dengan marah. Fiki semakin tertawa.
"Fiki!"
"Iya ... iya ... aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa tadi ...."
"Jangan sembarangan, Fik! Kamu membawa nama Karang Legi!"
Fiki mengangguk paham. Dia segera menghentikan tawanya.
"Iya, Rul. Aku minta maaf," kata Fiki, kali ini tanpa tawa. Dia paham sepupunya itu sudah marah.
"Lalu kenapa kamu ketawa?"
"Aku hanya akan menguji saja. Menguji apakah jin yang akan kita datangi itu akan mencegah kita datang ke Bukit Sembrani atau tidak. Ternyata tidak. Mereka menginginkan kita ke sana, tetapi dengan perpecahan," bisik Fiki.