"Mas Faiz? Astaghfirullah! Apa yang terjadi? Mas Faiz dari mana saja?" tanya seorang ustadz pada Faiz. Faiz bangun dari jatuhnya dengan perlahan. Kaki dan tangannya cukup sakit.
"Innalillahi! Kenapa tangannya? Coba saya periksa dulu, ya?" Faiz mengangguk. Seseorang kemudian memeriksa tangannya dan memijatnya.
"Sepertinya hanya terkilir. Alhamdulillah. Apa yang terjadi, Mas Faiz?"
Faiz tersenyum, dia merasakan tangannya sudah terasa begitu nyaman. Kemudian Faiz menceritakan bagaimana tadi dia terpisah dari rombongan dengan Hafidz. Faiz jadi teringat dengan Hafidz.
"Ustadz Hafidz sudah kembali, kan, Ust?" tanya Faiz. Mereka mengangguk.
"Ustadz Hafidz dan asatidz yang lain sedang beristirahat di dalam rumah itu," jawab seseorang sambil menunjuk sebuah rumah sederhana di samping Faiz.
Faiz mengangguk, tak heran dia tidak mengenali satu orang pun ustadz yang menolongnya sekarang ini.
"Mas Faiz sudah hilang selama dua hari. Kami dari Tintrim, diminta untuk mencari Mas Faiz. Ustadz Hafidz baru ketemu kemarin malam," kata seorang ustadz. Membuat Faiz memahami semua dengan jelas.
"Meniko wonten toya degan wulung, Ust, (Ini ada air kelapa muda wulung, Ust), untuk memulihkan energi," kata ustadz itu lagi. Faiz menerima sebutir kelapa muda itu dengan senang hati dan segera meminumnya sampai habis. Rasa air kelapa itu manis sekali dan sangat menyegarkan.
"Monggo kalau Mas Faiz mau istirahat dulu," kata ustadz itu. Faiz nampak berpikir sejenak. Entah kenapa dia mendengar suara ombak di kejauhan. Ah, rasanya tidak mungkin. Dia tersenyum pada ustadz itu.
"Eh, sepertinya saya ingin mendaki bukit itu dulu, Ust. Nanti saya akan kembali lagi," jawab Faiz.
"Mas Faiz tidak capek?"
"Tidak terlalu, Ust. Air kelapa tadi benar-benar membuat saya segar kembali," jawab Faiz dan segera berpamitan untuk mendaki jalan naik di depannya. Ustadz itu tersenyum dan mengangguk.
****
Ah, sudah lama sekali Faiz tidak ke pantai. Dia selalu ke gunung, gunung dan gunung. Dan dugaannya benar. Dia melihat pantai dan laut terpampang jelas di depannya, dan suara ombaknya sama persis dengan suara ombak yang didengarnya tadi.
Faiz tersenyum lebar. Dia membaringkan tubuhnya perlahan di atas pasir putih yang nampak begitu nyaman, ah, ternyata tubuhnya memang lelah sekali ....
Tetapi, hei ... bukankah tadi dia hendak mendaki Bukit Sembrani dengan Hafidz, Faza, Fiki dan rombongan mereka? Ke mana mereka? Faiz tertawa sendiri. Oh, ya, tadi, kan mereka beristirahat di rumah di bawah bukit itu. Ah, Faiz sudah lupa.
Faiz terkekeh sendiri dan kemudian memutuskan untuk bersantai lagi, sampai kemudian terdengar suara riuh orang berteriak-teriak. Faiz menoleh ....
****
"Ustadz! Itu sepertinya Ustadz Hafidz!" teriak seseorang pada mereka. Fiki menoleh ke sumber suara dan berlari menghampiri kerumunan orang di depannya. Dan Fiki nyaris pingsan karena sangat lega melihat Hafidz yang sedang duduk dan sedang minum dengan tenang. Kemudian Hafidz mendongak dan tersenyum pada Fiki.
"Mas Faiz sepertinya diculik oleh mahluk halus itu, Ust! Dia mendorong saya sehingga saya jatuh dan ketika saya bangun kembali Mas Faiz sudah menghilang," kata Hafidz dengan nada yang penuh penyesalan, "padahal tadi kami baru bercerita tentang Mbak Ratna yang baru hamil, njih, Ust?"
Ah, Fiki jadi risau. Dia juga jadi teringat Salma dan ketiga anak mereka yang masih begitu kecil dan sebentar lagi akan memiliki seorang adik. Fiki beristighfar berulang kali. Dia mendekati Hafidz perlahan.
"Kita pasti akan mencari Mas Faiz, njih, Ust. Jangan khawatir," bisik Fiki pelan. Hafidz tersenyum pahit.
"Apakah perkataan ustadz kemarin maksudnya ini, Ust?" tanya Hafidz dengan agak sengit. Fiki terlonjak kaget. Dia memandang Hafidz dengan wajah penuh tanya. Hafidz mengangguk.
"Iya, Ust! Apakah ustadz menolak ikut ke sini karena ustadz tahu kalau di sini pasti akan banyak gangguan dan hambatannya? Kenapa ustadz tidak mengatakan sejak kemarin sebelum kita berangkat, Ust?" tanya Hafidz, wajahnya menyiratkan kebencian. Fiki paham sekarang. Dia tersenyum.
"Apa rasa air tadi, Ustadz Hafidz?" tanya Fiki perlahan. Hafidz mencibir.
"Jadi ustadz akan berlindung pada topeng kerasukan lagi? Ustadz akan menutupi alasan ustadz yang sebenarnya dengan mencari orang yang kerasukan dan berlindung pada kerasukan itu, kan?" tanya Hafidz, nada bicaranya masih terasa begitu sengit dan ketus. Fiki menjengit, dia sama sekali tidak paham dengan apa yang dikatakan Hafidz padanya. Fiki mencoba menalar perlahan, tetapi gagal.
Nurul Islam mendekati Fiki. Dia menyentuh lengan Fiki. Fiki menoleh dan paham. Dia segera mundur. Hafidz meradang.
"Aku belum selesai bicara! Jangan pergi dulu!" teriak Hafidz, "kamu memang selalu berpura-pura memahami semua masalah dengan berlindung pada gangguan jin dan ruqyah ...."
Plak!
Walaupun Fiki tahu Nurul Islam pasti akan menampar Hafidz, tetap Fiki tetap terlonjak ketika Nurul Islam menampar Hafidz dengan keras. Sepertinya tamparan itu sangat keras sehingga Hafidz tersungkur dan diluar dugaan semua orang, Hafidz bangkit dengan cepat dan menyerang Nurul Islam. Nurul Islam tidak terlalu siap, sehingga dengan mudah Hafidz menindihnya dan mencekiknya.
Orang-orang langsung berseru melarang Hafidz dan berusaha melerai Hafidz dari Nurul Islam, termasuk Fiki, dia terpaksa harus menampar Hafidz dengan keras, sehingga Hafidz benar-benar rebah ke tanah. Tetapi Hafidz tidak pingsan, dia masih bisa tertawa keras.
"Kalian memang sombong! Sombong seperti saudara kalian itu. Nurul Ikhlash, kan? Dia sombong sekali!" teriak Hafidz sambil tertawa, "dulu Setiyadi rutin meminta Nurul Ikhlash membantunya meruqyah Yusuf, oh, ya, kami dulu takut padanya, tetapi kemudian kami tahu bahwa dia sombong, dan dengan mudah kami bisa mempengaruhinya ...." Hafidz tertawa lebar, dia terlihat seperti orang yang tidak menyadari keadaan sekelilingnya. Hafidz memejamkan matanya, tetapi sambil tertawa dan mengumpat.