"Jadi saya punya suatu teori. Tetapi sepertinya teori ini memang masih sangat primordial dan butuh beberapa pembuktian," kata Fiki, semua memandang ke arah Fiki, beberapa orang terlihat tidak sabar, "sebuah teori yang menyatakan bahwasanya Indrajit mengumpulkan anak atau keluarga dari ustadz ustadzah yang pernah memaksanya untuk mengaji dan kemudian mulai membalaskan dendamnya pada mereka. Nah, untuk menghindari kecurigaan tentu saja, dia juga mengumpulkan orang lain atau anak lain untuk ikut bergabung."
Nurul Islam berusaha berpikir untuk mencari tahu apa hal yang bisa menyatukan anak-anak atau orang-orang itu.
"Oh! Apakah Indrajit kemudian melatih bela diri pada mereka? Dengan tenaga dalam, kan?" tanya Faza. Semua memandang ke arah Faza. Fiki tersenyum dan mengangguk.
"Betul sekali, Ustadz. Menurut saya itulah yang terjadi. Sejak awal ... sejak dulu Indrajit sudah membalaskan dendam pada Setiyadi, pada Firman, dan mungkin pada keluarga ustadz dan ustadzah yang lainnya ...."
"Bagaimana dengan Ustadz Fatih, Ust?" potong Naim. Fiki mengangguk.
"Qadarullah putra Ustadz sudah besar semua ketika Indrajit mengumpulkan anak-anak asatidz itu, sehingga dia menunggu momen yang tepat untuk membalaskan dendamnya."
"Bagaimana dengan Ustadz Setiyadi? Bukankah Indrajit sudah berhasil memerdaya Yusuf?" tanya Naim lagi. Ah, Fiki tersenyum bahagia. Dia senang ada yang bisa mengikuti jalan pikirannya.
"Karena buku warna merah itu. Sejak awal saya sudah menduga, jangan-jangan Ustadz Setiyadi sudah tahu semua rahasia Indrajit atau Mahendra atau Abimanyu dengan adanya buku merah itu di rumahnya. Itulah kenapa Bu Dahlia mengatakan bahwa buku wafaq itu sudah lama berada di rumahnya," jawab Fiki, "setelah semua masalah ini selesai, InsyaAllah saya akan ceritakan semuanya," lanjut Fiki lagi.
Wajah-wajah di depannya berubah paham dan seruan 'oh' mulai terdengar.
"Jadi karena Ustadz Setiyadi tahu tentang rahasia Indrajit itu, maka beliau dibunuh?" tanya Naim. Fiki mengangguk samar.
"Saya ingat cerita Ustadz Hafidz ketika saya bertakziah, bahwa sebelum sakit Ustadz Setiyadi meruqyah keluar sampai tengah malam. Waktu itu saya sangat ingin bertanya ke mana beliau meruqyah dan sangat ingin mengunjungi rumah orang yang beliau ruqyah itu, untuk mensinkronkan dengan semua fakta yang saya kumpulkan dan asumsikan ...." Fiki mendesah, "saya sudah berusaha bertanya kepada beberapa orang yang saya anggap akan tahu ke mana Ustadz Setiyadi pergi dan benar dugaan saya. Beliau tidak pergi jauh. Beliau hanya di Tintrim, di sebuah tempat yang saya curigai sebagai tempat Indrajit menyembunyikan Ustadz Nurul Ikhlash dan Ustadz Iqbal ...."
"Apa? Di Tintrim?"
"Tintrim?"
"Lalu kenapa kita jauh-jauh ke sini?"
Seruan-seruan marah dan tak percaya mengalir deras. Nurul Islam nampak risau, tetapi Fiki malah tersenyum lebar.
"Karena dukunnya ada di sini. Sekalian juga kita mencari tahu orang yang hilang dalam trekking beberapa waktu yang lalu," kata Fiki dengan enteng, sambil tersenyum lebar, "kita harus menghancurkan dukunnya dan juga harus mencari Mas Faiz, kan?"
Hafidz memejamkan mata. Dia beristighfar dalam hati dan mencoba bersabar menghadapi tingkah laku Fiki yang sangat semena-mena itu. Bisa saja dia menghajar Fiki saat ini juga, karena kesombongan Fiki yang menyebabkan korban, tetapi Hafidz masih menyadari bahwa apa yang dikatakan Fiki itu benar adanya dan juga Hafidz sebenarnya terpesona dengan semua usaha Fiki mencari fakta tentang kasus yang ternyata saling berhubungan satu sama lain itu. Hafidz menoleh dan memandang berkeliling, dia mencoba mencari referensi, apakah orang-orang berpikiran sama dengannya, tetapi Hafidz tidak mendapat petunjuk, sepertinya semua orang sedang kebingungan, panik dan risau mendengar cerita Fiki.
"Ustadz, kalau boleh saya bertanya, di Tintrim bagian mana yang menurut ustadz adalah tempat Indrajit menyembunyikan kedua ustadz ...."