Bai tersenyum.
"Saya rasa saya mau ke Tintrim Tengah. Saya belum pernah ke sana," kata Bai. Dia tahu keengganan para asatidz kemungkinan besar karena reputasi keangkeran daerah itu.
Bambang, Fadli dan Firman tertawa.
"Ya, betul juga. Kurasa kita semua ke sana juga tidak apa-apa. Semoga bisa menjadi contoh bagi para asatidz yang lain," kata Firman.
Seseorang mendekati mereka.
"Ustadz mboten pareng tindak mrika. Ustadz sampun sepuh, (Ustadz tidak boleh pergi ke sana. Ustadz sudah tua,)" kata Ilyasa dengan agak khawatir.
Firman tertawa.
"Lalu siapa yang mau ke sana? Kata Ustadz Fiki ada anak saya di sana. Saya akan menjemput anak saya sendiri kalau memang tidak ada yang mau," kata Firman dengan wajah agak geli.
"Ya, aku juga belum terlalu tua," kata Fadli. Bai juga mengangguk.
"Saya dan Ustadz Fadli kurang lebih seumuran, masih bisa lah untuk diajak jalan-jalan sebentar," kata Bai sambil tertawa. Mereka saling tertawa.
Ilyasa berwajah panik sekaligus merasa sangat tidak enak hati dengan pembicaraan ustadz-ustadz sepuh itu. Dia merasa agak bingung dan juga takut. Hasan mendekati mereka dengan wajah yang sebenarnya juga menahan geli dan sedikit marah.
"Ustadz, kami minta maaf. Insya Allah akan ada tim yang segera berangkat ke Tintrim Tengah setelah ini. Saya dan Ustadz Haikal juga ikut. Mohon maaf Ustadz Haikal baru saja pulang dari luar kota, Ust, jadi baru tahu apa yang terjadi," kata Hasan agak terbata.
Fadli merangkul Hasan.
"Jazakallah, San. Peraqi sekarang ini memang banyak yang penakut, beda dengan zaman kita dulu," bisik Fadli. Hasan tertawa getir.
"Kebetulan tim ekspedisi sedang keluar semua, Mas. Aku dan Haikal tadi sempat bertengkar dulu," kata Hasan. Fadli tertawa.
"Rupanya banyak yang tidak ikhlash dengan apa yang akan kita lakukan, baik jin maupun manusia. Tidak usah terlalu khawatir. Insya Allah aku akan ikut, kalau Ustadz Firman mungkin jangan boleh, kasihan, dia sudah terlalu sepuh," kata Fadli, tetapi rupanya Firman mendengar perkataan Fadli. Firman tersenyum.
"Saya tetap akan ikut, Ust. Arin nanti marah kalau saya hanya duduk menunggu di sini," kata Firman, "boleh, kan, Ust?" tanya Firman.
Fadli tersenyum.
"Ustadz tidak capek, Ust?"
"InsyaAllah tidak, kalau capek saya akan langsung pulang sendiri," jawab Firman dengan cepat, "saya hanya memikirkan Malik dan teori Ustadz Fiki," kata Firman tak jelas. Wajah Firman meredup.
"Ustadz baik-baik saja?" tanya Fadli. Firman mengangguk, tetapi kemudian mendesah.
"Ah, ada baiknya saya sampaikan pada Ustadz Fadli saja. Saya minta waktunya sebentar, njih, Ust," kata Firman. Fadli mengangguk dan mengikuti Firman untuk duduk di kursi di sudut ruangan.
"Saya kemarin berbicara dengan Ustadz Fiki, Ust. Kami bicara banyak. Terutama tentang hal yang berkaitan dengan apa yang Ustadz Fadli ucapkan beberapa waktu yang lalu," kata Firman. Fadli terlonjak kaget, dia tidak menyangka namanya akan disebut.
"Saya, Ust?"
Firman mengangguk.
"Njih, Ust, ketika Ustadz Fadli mengatakan bahwa Mas Yusuf --putra Ustadz Setiyadi-- adalah contoh anak yang tidak terlalu mendapat perhatian, sehingga Mas Yusuf menjadi anak yang --dalam tanda kutip-- nakal dan berbeda dengan temannya. Dan itu yang saya pikirkan terus, Ust. Saya merasa Malik itu sama persis dengan Yusuf ...."
"Ampun ngendiko kados mekaten, Ustadz, (Jangan bicara seperti itu, Ustadz,) Fadli mohon maaf. Benar-benar minta maaf. Kemarin dulu tidak benar-benar bermaksud menunjuk kepada Ustadz Malik, Fadli benar-benar hanya berasumsi," potong Fadli dengan hati yang sedih, "maafkan saya, Ustadz," lanjut Fadli lagi.
Firman mengangguk.
"Ustadz, saya malah yang harus berterima kasih kepada Ustadz Fadli, karena ustadz sudah mengingatkan saya, bahwa selama ini saya memang tidak terlalu memerhatikan kepada anak-anak saya, tetapi saya selalu menuntut mereka untuk selalu sempurna, padahal saya jarang ... jarang sekali mengajak mereka bicara ... saya merasa bahwa perkataan jin-jin itu pada saya, bahwa saya ini adalah orang yang sombong dan ... dan ... selalu menganggap orang lain itu lebih rendah dibandingkan saya adalah benar, Ust...." Firman diam sebentar. Dia menyeka air matanya yang berlinangan.
"Ustadz ... saya benar-benar minta maaf," bisik Fadli, Firman tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
"Ustadz tidak salah apa-apa. Ustadz tidak salah apa-apa. Ustadz malah mengingatkan saya betapa selama ini saya belum menjadi orang tua yang baik, betapa saya selama ini, sampai setua ini masih berhutang maaf pada anak saya. Alhamdulillah, untung ada kejadian ini! Alhamdulillah, Allah masih mengingatkan saya ...." Firman tenggelam dalam tangisnya. Fadli terdiam, tak berkata-kata. Air matanya juga mengalir ketika mendengar perkataan Firman barusan ... berhutang maaf pada anak ... Fadli beristighfar, dia teringat dirinya sendiri yang kadang begitu keras pada Naim, kadang selalu menjaili anak-anaknya yang lain, bahkan sampai mereka menangis, ah, pastilah Fadli berhutang banyak sekali maaf pada anak-anaknya.
Fadli segera memeluk pria sepuh di depannya itu. Pria sepuh itu nampak sangat tak berdaya, dia nampak lemah, nampak kalah dan nampak sangat bersalah. Dia memeluk Fadli sepenuh jiwa.
"Doakan semoga Allah masih memberi saya kesempatan untuk bertemu dengan Malik dan minta maaf padanya, njih, Ust. Saya takut saya terlambat. Entah dia dulu atau saya dulu yang pergi ... Oh, Allah! Semoga Engkau memberiku kesempatan ini ...."
"Istighfar, Ustadz. Jangan terlalu terlarut dalam kedukaan dan penyesalan. Allah maha pengampun bagi hambaNya yang memohon ampun. Jangan biarkan kedukaan ustadz membuat jin semakin gembira, Ust," bisik Bai, yang telah mendekati mereka dan menepuk-menepuk bahu Firman dengan wajah yang basah oleh air mata. Firman melepaskan pelukannya pada Fadli. Dia mengangguk dan memeluk Bai. Bai tersenyum.
"Allah maha tahu, Ustadz. Allah maha tahu," bisik Bai. Mereka berpelukan dalam diam, tanpa isakan.
****
Hari mulai gelap ketika Iqbal dan Nurul Ikhlash mulai melangkah di tepi terjauh lapangan itu. Iqbal merasa agak ragu.
"Ustadz, sepertinya sudah hampir waktu Magrib, ya?" bisik Iqbal. Nurul Ikhlash mengangguk.
"Tetapi kita akan sholat di mana, Ust?" tanya Nurul Ikhlash. Mereka berpandangan.
"Mungkin kita harus mencari pemukiman penduduk, njih, Ust, dan kita bisa menumpang sholat di sana. Mungkin kita juga bisa mencoba menghubungi pesantren atau rumah tahfidz. Dan saya rasa kita harus memiliki perlengkapan yang memadai kalau hendak melanjutkan pencarian ini. Kita tidak memiliki lampu darurat atau senter atau sumber cahaya apapun untuk mencari Ustadz Malik," jawab Iqbal. Nurul Ikhlash merenungi jawaban Iqbal yang sepertinya memang masuk akal juga. Sepertinya mereka memang harus segera mencari bantuan untuk meneruskan pencarian mereka karena hari sudah gelap dan juga angin dingin mulai bertiup perlahan.
Iqbal berhenti sejenak. Dia seperti mencari sesuatu atau mungkin ingin mendengarkan sesuatu.
"Ada apa, Ust?" tanya Nurul Ikhlash keheranan.
"Ustadz mendengar adzan? Sepertinya tidak ada suara adzan, ya? Padahal kalau tidak salah di dekat lapangan ini ada masjid, kan, Ust? Kenapa belum terdengar suara adzan padahal sudah segelap ini?" Iqbal nampak khawatir. Dia memandang Nurul Ikhlas dengan cemas dan takut. Nurul Ikhlash mencoba untuk tersenyum, dia tidak ingin berpikiran buruk, dia ingin berpikiran positif dan dia ingin menenangkan dirinya sendiri.
"Kita berbalik arah saja, ya, Ust? Asumsi saya kita berjalan menuju ke rerimbunan pohon di bagian ujung lapangan ini, kan, Ust? Bagian yang paling jauh dari pemukiman penduduk, sehingga kita harus berjalan berlawanan arah menuju ke jalan raya desa dan menuju ke rumah penduduk, kan?" tanya Nurul Ikhlash.