Indrajit murka. Dan sebenarnya kemurkaan itu digunakan untuk menemukan kepanikannya. Bagaimana tidak murka, ternyata ustadz-ustadz itu bisa sampai sejauh ini. Indrajit berdecak kesal.
Ini pasti gara-gara ustadz ngeyel bermata beda itu. Juga gara-gara Nyai Segara Geni yang menyuruhnya membiarkan ustadz aneh itu mendekati mereka.
"Agar kita bisa dengan mudah mengambil matanya!" seru Nyai Segara Geni dengan penuh keyakinan.
Waktu itu Indrajit menggelengkan kepalanya keras-keras, dia menolak rencana Nyai Segara Geni.
"Tidak usah aneh-aneh, Nyai! Kita tidak usah mencari perkara dengan membiarkan ustadz itu mendekati Tintrim!" teriak Indrajit waktu itu. Nyai Segara Geni malah mencibir.
"Kamu sendiri mau membunuh Setiyadi, ya, jelas, ustadz-ustadz itu akan datang ke Tintrim semua. Dan vibrasinya akan buruk sekali bagi kita," kata Nyai Segara Geni dengan nada mengejek.
Indrajit menelan ludah. Benar juga, ya?
"Kalau begitu sekalian saja kita lakukan semua rencana kita, Nyai! Sekalian saja kita culik dan kita bunuh mereka semua!" teriak Indrajit berapi-api. Nyai Segara Geni terdiam, dia mempelajari wajah Indrajit. Wajah yang sebenarnya penuh dengan kedukaan itu sekarang menyiratkan kemarahan yang sangat dalam, kemarahan yang sangat besar.
"Coba ceritakan padaku apa yang akan kamu lakukan," kata Nyai Segara Geni dengan nada menantang. Dia hanya akan mencoba mencari tahu, apakah Indrajit serius atau tidak.
"Pertama-tama aku akan membunuh Setiyadi. Dia sudah terlalu sering ke Kuburan Sewengi. Dia sudah tahu semua rahasia kita, kan? Bahkan dia sudah berhasil mendapatkan salah satu buku wafaq milikku ...."
"Bukan milikmu! Milik Pamungkas Baihaiqi. Ustadz Bai, cucu Daseng Baihaqi," potong Nyai Segara Geni dengan geli.
Indrajit mendesah. Pemilik buku itu masih menjadi sumber masalah baginya sampai sekarang, karena dia tahu pada suatu saat nanti Bai pasti akan mencari masalah setelah tahu buku-bukunya itu hilang.
"Iya! Iya! Aku tahu! Yang pasti kelakuan Setiyadi di Kuburan Sewengi benar-benar menghambat perkembangan sihir yang sudah kita siapkan!" sergah Indrajit dengan penuh kemarahan. Nyai Segara Geni malah tertawa terkekeh-kekeh.
"Baiklah, aku minta maaf. Lalu apa yang akan kamu lakukan?" tanya Nyai Segara Geni. Indrajit mengembuskan napas panjang.
"Lalu aku akan menjadi Abimanyu atau Mahendra dan aku akan mengunjungi Setiyadi sambil membawakannya makanan yang sudah kujampi-jampi. Kali ini aku tidak akan main-main dengan sihir dengan Setiyadi. Aku akan mengiriminya makanan dengan racun yang asli, lalu kita tinggal menunggu dia mati ... dan ... dan kita bunuh ustadz ustadzah yang lain. Setiyadi adalah mukadimah saja. Bisa dikatakan pemanasan saja. Setelah itu ...."
"Pasti kamu akan membunuh pasangan orang tua itu, kan? Mereka yang yang paling membuatmu sedih, kan?"
"Diam! Diam! Kamu tidak tahu apa yang kurasakan! Jangan sok tahu! Jangan ikut campur!" teriak Indrajit dengan wajah merah padam menahan marah, anehnya ada air mata yang meleleh di pipinya, namun dia buru-buru menghapus air mata itu dan berusaha menguasai dirinya.
"Lalu aku akan menculik ustadz-ustadz yang menjadi prioritas utamaku, karena mereka pastilah orang yang pertama akan mengetahui dan meributkan kematian ustadz-ustadz itu dan buku warna merah itu! Oh, sulitnya menguasai Yusuf dan Malik!" Indrajit mendesah panjang. Dia merasa menyesal tidak membunuh Yusuf dan Malik saja, karena sekarang Yusuf dan Malik membuat langkah Indrajit tidak leluasa.
"Ustadz bermata berlian itu harus kamu culik dulu," kata Nyai Segara Geni. Indrajit melirik tajam.
"Semua tergantung persiapan di Sembrani. Berapa banyak bala tentara yang sudah kamu siapkan di sana?" tanya Indrajit. Nyai Segara Geni tertawa geli.
"Kamu mau minta berapa? Aku sudah menyesatkan puluhan orang di Sembrani," jawab Nyai Segara Geni dengan penuh percaya diri.
"Dengan ajian Pedhut Ireng?" tanya Indrajit. Nyai Segara Geni mengangguk.
"Ajian ilmu hitam kesukaanku. Saranku gunakan ajian itu untuk menculik pada ustadz yang paling keras kepala. Buktikan bahwa mereka tidak akan siap menerima ajian ilmu hitam satu itu, buktikan bahwa mereka --ustadz-ustadz sombong itu-- tidak akan bisa melawan ajian ilmu hitam itu!" seru Nyai segara Geni dengan penuh kemarahan. Wajahnya berkeriut, seperti menahan rasa sakit. Dia mencibir.
Waktu itu rasanya semua serba mungkin akan terjadi, serba pasti. Tetapi ternyata sekarang Indrajit ditinggal sendirian. Dia harus menanggung semuanya sendirian. Indrajit memejamkan matanya, dia harus menyelematkan tubuhnya yang terbaring di bawah sana. Anak buah Nyai Segara Geni sudah pergi semua, meninggalkan pos mereka masing-masing dan hampir semua titik api untuk ilmu Pedhut Ireng atau Awan Hitam sudah berhasil dipadamkan. Hanya tersisa tiga yang belum. Tiga titik api yang tidak akan mungkin bisa mereka temukan. Indrajit terpaksa harus menahan tawanya dulu, sekarang dia harus segera pergi dari tempat itu sebelum ustadz bermata beda itu menemukannya.
Tetapi ... tetapi ... hei! Apa yang terjadi? Kenapa mereka menemukan titik-titik api itu? Kenapa mereka bisa menemukannya? Indrajit melesat memasuki tubuhnya dan langsung muntah. Tubuhnya begitu lemah. Dua titik api terakhir --yang tadinya akan digunakan untuk menjaga kesaktian ajian Pedhut Ireng-- sudah dipadamkan. Kini tinggal satu titik api lagi. Satu lagi. Satu lagi. Satu lagi ....
****
Fiki terlihat risau. Dia segera berlari meninggalkan orang-orang yang sedang mengerumuni Faiz. Dia nampak sangat khawatir. Nurul Islam segera mengikuti Fiki.
"Fik! Beritahu padaku ada apa!" teriak Nurul Islam sambil menarik tangan Fiki. Fiki menoleh dan memandang Nurul Islam dengan pandangan yang kosong.
"Jaga Faiz dulu, Rul. Kita harus menemukan tubuh Indrajit. Orang-orang sudah pergi. Pasti tidak ada yang menjaga tubuhnya lagi." Fiki terdiam. Pandangannya masih kosong dan hampa.
"Pasti masih ada dupa atau lilin atau menyan yang masih menyala, Rul! Minta orang untuk mencarinya," bisik Fiki. Nurul Islam sama sekali tidak paham maksud Fiki, tetapi dia tahu Fiki sedang sangat serius. Fiki nampak berada di dunia yang lain. Dan tiba-tiba saja Fiki menggelengkan kepalanya.
"Kita harus cepat, Rul! Kalau Indrajit pergi, Faiz tidak akan pernah bisa kembali lagi!" teriak Fiki dan dia berlari lagi meninggalkan Nurul Islam. Nurul Islam terdiam. Dia berharap semoga tadi --diamnya Fiki-- bukan berarti Fiki sedang bertelepati dengan mahluk lain, semoga diamnya Fiki adalah karena Fiki sedang berpikir seperti biasanya.
****
Hafidz dan beberapa ustadz yang lain diberi tugas untuk mencari dupa, menyan atau lilin yang masih menyala. Mereka berjalan menjelajahi daerah yang tidak terlalu luas itu. Dan mereka merasakan tanah tempat mereka berpijak bergoncang.
"Gempa?"
"Iya, gempa."
Mereka berpandangan. Hafidz mulai merasa takut dan khawatir dan entah kenapa dia merasa bahwa waktu mereka di Bukit Sembrani tidak banyak. Sehingga setelah guncangan gempa itu berhenti, Hafidz segera berlari mencari apa yang dimaksud oleh Nurul Islam tadi.
"Ustadz! Ada seorang wanita di depan rumah itu!" teriak Ilyas, membuat Hafidz terkejut dan membelalakkan matanya melihat baju wanita itu.
Wanita itu hanya memakai semacam kain untuk menutupi dadanya dan kain yang digunakan seperti jarik. Sementara perut wanita itu terbuka sempurna, menunjukkan sesuatu ... sesuatu yang membuat orang beristighfar, tetapi membuat Hafidz paham. Dia segera mendekati wanita itu dan mengguyur tubuh wanita itu dengan air ruqyah yang dibawanya. Wanita itu terbangun seketika dan ... dan gambaran yang menyerupai bunga berputik merah manyala di pusar wanita itu menghilang dan mengeluarkan asap hitam.
Wanita berambut panjang itu keheranan, sekaligus terlihat malu dan ketakutan. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan penuh kebingungan. Dan seseorang maju sambil memberikan jaketnya pada wanita itu. Wanita itu segera memakai jaket yang diberikan padanya tanpa berkata apapun.
"Mbaknya siapa?" tanya Hafidz dengan penuh keraguan. Wanita itu diam saja. Dia menunjukkan sesuatu di pergelangan tangannya.
Oh!
"Api!" bisik wanita itu dengan suara serak penuh ketakutan. Hafidz paham ketika melihat tato ular melingkar-lingkar di pergelangan tangan wanita itu. Mata pada kepala ular pada tato itu menyala, seperti nyala api pada bara rokok. Kecil nyalanya, tetapi terlihat begitu jelas. Hafidz segera meminta air ruqyah pada ustadz yang ada di belakangnya dan tanpa ragu mengguyur tangan wanita itu lagi. Dan di depan mata mereka tato ular bermata api itu kabur dan menghilang perlahan. Menyisakan asap hitam pekat.
"Ireng ... (Hitam ...)" bisik wanita itu berkali-kali dan akhirnya dia pingsan lagi dan tanah tempat mereka berpijak bergerak lagi.
****
Fiki berlari tanpa tahu tujuannya. Jantungnya berdebar kencang. Dia tahu seandainya dia terlambat dan Indrajit telah pergi, maka dia lah yang disalahkan atas kondisi Faiz sekarang ini.
Dan Fiki melihatnya. Dia melihat tubuh Indrajit yang terbaring di atas sebuah batu besar datar yang dikelilingi oleh empat buah obor besar. Fiki langsung mematikan semua obor itu dan menunggu.
Dia menunggu dengan resah, tetapi kemudian Fiki beristighfar. Fiki tahu dia harus bersabar. Fiki meneteskan air mata, dia telah melakukan kesalahan. Dia telah melakukan suatu kesombongan yang tak terhingga, sehingga mengorbankan orang lain seperti ini. Fiki menyentuh dahi Indrajit dan seketika mata Indrajit terbuka lebar dan terlihat panik, dan Indrajit langsung muntah tanpa henti.
****
Firman memandang Malik yang terbaring tak berdaya di depannya. Kulit Malik terasa kering dan kasar.
"Dehidrasi," kata Nalendra. Firman hanya mengangguk. Dia paham. Dia tahu bahwa tadi Malik --anak bungsunya-- hampir mati. Oh, air mata itu tak terbendung lagi. Firman mencoba menahan diri untuk tidak memeluk Malik. Firman hanya bisa menangis di samping Malik.
"Abi kundur, njih? Abi sampun dangu sanget ting mriki, (Abi pulang, ya? Abi sudah lama di sini,)" bisik Maulana. Dia khawatir dengan keadaan Firman, yang tidak mau makan, tidak mau minum dan bahkan tidak bergerak sama sekali di samping adiknya. Umminya sudah menyerah sejak tadi. Arin dan Natria tidak ada yang bisa membujuk Firman agak beristirahat dan bergantian menjaga Malik. Firman tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menggeleng ketika ditawari apapun. Firman hanya bergerak ketika waktu sholat, itupun Firman sholat di samping ranjang Malik dengan deraian air mata. Sampai kemudian Fiki datang ke puskesmas.
Firman sangat terkejut melihat Fiki datang. Firman nyaris tidak sabar ingin bertanya pada Fiki apa yang terjadi, tetapi Firman mencoba menahan diri, dia hanya memeluk Fiki erat-erat.
"Jazakallah, Ustadz! Jazakallah," bisik Firman, "bagaimana saya bisa membalas semua kebaikan dan pertolongan Ustadz Fiki?" tanya Firman dalam deraian air matanya. Fiki tersenyum.
"Ustadz mau membalas pertolongan saya?" bisik Fiki, Firman melepaskan pelukannya dan mengangguk. Wajahnya berbinar.
"Bagaimana caranya, Ustadz?" tanya Firman dengan suara bergetar.
"Ustadz bisa membalas semua pertolongan saya dengan menuruti semua perkataan Bu Arin dan putra-putra ustadz," jawab Fiki sambil tersenyum. Firman mengerutkan keningnya.
"Maksud ustadz apa, njih, Ust?" tanya Firman dengan nada heran dan sedikit sebal. Fiki nyaris tertawa melihat ekspresi Firman yang sepertinya marah.
"Ustadz kedah kundur rumiyin, njih, Ust? (Ustadz harus pulang dulu, ya, Ust?) Biar Fiki yang menjaga di sini. Nanti sore ustadz ke sini lagi dan kita menjaga Ustadz Malik bersama-sama. Seandainya ustadz tidak mau pulang maka kami sepakat untuk membawa Ustadz Malik ke Karang Legi dan merawatnya di sana," kata Fiki.
Fiki tersenyum geli. Sejak kembali dari Bukit Sembrani kemarin, dia langsung dimintai tolong oleh Irwansyah dan Maulana --yang sudah lama bekerja sama dengan Fiki-- untuk memaksa abi mereka untuk pulang dari puskesmas, sudah hampir dua hari Firman tidak mau beranjak dari samping Malik.
"Malik sudah sadar?" tanya Fiki. Maulana mengangguk. Kalau tidak ada orang lain yang mengenal mereka, Fiki memang terbiasa memanggil anak-anak Firman dengan nama mereka langsung, tanpa embel-embel apapun.
"Tetapi masih diberi obat tidur agar bisa beristirahat untuk memulihkan semua tenaganya." Maulana mendesah. Fiki mengangguk.
"InsyaAllah kucoba, ya? Jangan khawatir, Ul," jawab Fiki. Maulana mengangguk.
"Abi sama sekali tidak peduli dengan perkataan siapapun, Ust. Dia hanya berkata bahwa dia berhutang maaf pada Malik dan belum akan pergi dari samping Malik sebelum Malik memaafkan abi," kata Maulana. Fiki mengangguk, dia paham perasaan Maulana dan juga paham perasaan Firman. Mereka semua sama-sama khawatir satu sama lain. Fiki tersenyum sedih, sepertinya akan sangat menyenangkan kalau kita dikhawatirkan oleh orang lain.