"Humm ...."
"Fuuuuh ...."
Udara tipis menghantarkan hawa hangat dari nafas.
Seorang pemuda belia, sibuk bermain-main di hamparan rerumputan berbunga, menarik nafas dan menghembuskannya. Beberapa kali dilakukan itu hingga setiap bunga di ujung bibirnya merekah sempurna, berpindah ke bunga-bunga yang lain. Makin banyak kuncup-kuncup sekitar bermekaran pula. Kemudian tubuh pemuda belia itu melayang ringan, pijakan kaki memantul dari rerumputan. Lincah berlompatan seiring desir angin.
Sore itu, semerbak aroma alam rerumputan ilalang, kuning hijau. Bunga-bunga merekah seluas mata memandang.
Seseorang lelaki tegap perkasa, memperhatikan pemuda belia itu dari kejauhan pandangan mata.
"Jadi dia? Anak manusia itu?" bercampur heran, rasa tak percaya, rupanya Elhundi memperhatikan gerak-gerik pemuda belia di sana.
"Elhundi, maafkan aku. Aku mohon ... jangan menyakitinya. Dia putra kita," pinta Shachini sangat mengiba. Ia mengekor di belakang Elhundi berjalan setapak demi setapak menghampiri pemuda belia di hamparan rerumputan.
Pemuda belia itu, bernama Taja. Usianya 10 tahun. Menyadari siapa yang datang bersama Ratu, ia segera merunduk hormat dan menyambut.
"Sampaikan salam pada ayahmu," pinta Ratu Shachini, seraya menyongsong ke arah Taja, pemuda itu menyambut Elhundi dengan senyum merekah, "Ayahku?"
Namun cepat dan tegas disambut kemarahan dan ucapan lantang.
"Bukan! Kau bukan putraku. Yang ada di dalam tubuhmu, Sukma Bunga Emas, itulah putraku!" sanggah Elhundi. Berdiri di ujung pandangan Taja menghadap padanya. Senyumnya semula berbinar, surut dalam tatapan Elhundi dengan postur tegap.
"Elhundi ...," raut cemas Shachini membalas ucapan tak menyenangkan.
Elhundi mendekat. Taja dengan raut polos, menatap bergantian pada Ratu Shachini, kemudian Elhundi. Tak mengerti apa maksud keduanya datang dan tiba-tiba bicara seperti itu.
"Ibu Ratu ... siapa dia?" lembut nada bicara Taja, tak mengenali siapa laki-laki yang datang bersama Ratu. Ini pertama kali ia bertemu dengan lelaki berpenampilan tidak biasa seperti kebanyakan penghuni Gunggali. Busana jirah berkilau. Biru tua keemasan. Mahkota yang dikenakannya menandakan kelasnya. Lelaki tampan namun menahan kecewa dan amarah.
Tatapan syahdu Ratu menjawab dengan sebuah pelukan untuk melindungi Taja.
"Dia ... ayahmu ... Elhundi Hiyavaatara," bisik Ratu singkat. Kedua lengannya merengkuh pundak, punggung dan kepala Taja. Sangat khawatir Ratu, kiranya suaminya hendak melakukan tindakan yang tidak diinginkan.