01
Pesimisme
Yogyakarta,
Sabtu, 31 Oktober 2020/ 14 Rabiul Awal 1442 H
Melihat burung liar aku terkadang iri dan ingin terbang sesukaku pergi melintasi hembusan angin sepoi yang menyegarkan. Benar aku iri pada burung liar yang terbang bebas mengudara semaunya. Mereka para burung tak pernah merisaukan apapun dalam menjalani hidup ini. Mereka para burung liar bebas berkicau semaunya, Ohhh betapa indahnya hidup berkoloni terbang mencari sesuap rezeki yang sudah dijamin Tuhan. Benar Tuhan telah menjamin rezeki semua makhluknya. Ahhh. Lama-lama aku bisa gila sakit jiwa jika aku tidak menerima hidup ini. Wahai diri ikhlaskanlah semua…
Tapi, aku iri pada burung liar yang bisa seenaknya melompat pada dahan dan ranting rimbun. Bangsat… persetan….. kenapa aku ini bisa menggila menjadi seperti ini. Ahh makian umpatan dari sisi negatifku menggema menuju lorong-lorong jiwa. Dengan cepat pula sisi positifku melerai imtuk beristigfar dan bersabar. Tapi dirasa-rasa aku sedih entah kenapa. Ya sudahlah mungkin kesendirianku membuatku menjadi sosok aneh. Iyya aku asing pada diriku.
Ya Tuhan aku tahu kesendirian ini bukanlah sebuah perkara sulit tapi aku yakin secercah harapan pasti akan datang padaku. Aku ingin kebebasan!!!!! Kehidupan merdeka yang penuh konflik argumentasi. Bukan menciut melemah seperti sekarang ini. Bajigur, umpatku.
Aku ingin melawan angin dan menantang marabahaya. Tapi aku belum ingin mati Ya Tuhan. Aku ingin terbang mengudara melintasi galaksi bahkan nebula semeeta yang ketujuh, benar aku ingin abadi dalam keabadian surga secepatnya. Tapi sialnya sulit sekali aku rasa untuk menjalankan petuah Agama. Kawnyan setankag aku?? Ahhh…. Terasa berat rasanya harus menjadi orang yang memiliki kualitas taqwa diatas rata-rata. Tapi tetap aku akan menjadi taqwa sebisaku sesuai wasiat khotib pada khutbah Jum’at. Ahhh itu mengingatkanku juga pada wasiatku dahulu saat khutbah jum’at yang nyatanya sekarang menghunuskun untuk bertaqwa pada Tuhan Yang Esa…
Sialan!!! Apakah boleh memaki? Ah jika begini aku hampir membusuk dalam kesedihaan dan deperesiku yang mendalam. Maka aku disini ingin sedikit cerita pada kalian semua. Akhir-akhir ini jiwa pesimismeku muncul mencuat begitu dalam. Hari-hari yang aku jalani serasa ada sedikit perbedaan dengan kehidupan optimis yang pernah aku jalani semasa waktu SMAku dahulu.
Semangat hidupku luntur entah kenapa. Mungkin aku rasa aku mulai merasakan perasaan ini semenjak aku duduk kuliah dibangku semester 4. Sejak itu pula aku perlahan merasa asing pada diriku sendiri seolah aku kehilangan ruh jiwa dalam batinku sendiri. Aku menjalani hidup inferior penuh dengan keragu-raguan.
Persetan, aku memaki diriku sendiri seolah aku sedang berperang melawan diriku. Perang batin berkepanjangan antara perbedaan prinsip hidup dengan kenyataan yang sedang aku jalani selama 3 tahunlebih. Ah apakah aku tidak bisa menerima kenyataan? Aku berontak sehingga jiwa dan ragaku seolah tak sinkron saling bentrok satu sama lain—seperti paara mahasiswa melawat aparat polisi. Benar mungkin aku merasa kesepihan dalam situasi kondisi yang tak bisa aku jelaskan pada kalaian. Posisi sendiri memanglah sulit apalagi aku sosok sosialis ekstrovert kemudian harus dipaksa mutlak pada sebuah kondisi untuk berubah menjadi sosok penyendiri. Sosok aktivis walaupun tak jelas harus dipaksa pada suatu lingkungan aneh yang membuatku merasa tak nyaman. Namun mau bagaimana lagi beginilah kondisiku sekarang. Haruskan aku tahan aku berpura-pura waras padahal setengah sinting? Ahhh masa bodohlah….
Aku tahu aku terikat dengan sebuah pekerjaan yang mengharuskan aku menyendiri. Gila emang pada awalnya pikirku hingga aku sadar aku memang benar sudah menjadi sedikit kurang waras, bahkan sampai membunuh diiriku sendiri, ia aku harus membunuh karakterku sendiri agar aku dapat beradaptasi dengan situasi kondisi ini pelit ini.
Aku berpikir dan merenung benar juga ternyata memang kewarasanku sedikit terkikis oleh halusinasi khayalan impianku yang tak tercapai oleh sebuah halangan yang namanya siatuasi kondisi—dunia emang tak selalu maning bung! Mungkin ada yang bertanya kenapa aku tidak minggat saja meninggalkan pekerjaan sulit ini. Maka jawabanya sekali lagi adalah sulit aku jelaskan dengan kata-kata. Ini seperti makan buah simala kama namun perbedaannya jika aku bisa bersabar untuk berpuasa tidak menjadi gila pada kesulitan ini sampai penghujung berakhirnya kondisi ini, maka aku menang!. Tapi entahlah aku tak yakin aku akan baik-baik saja kelak. Ehhh namun kata mantan doiku Winner Never Stop Trying benar dia ngutip dari petuah ahli hikmah orang kulon (Barat)—semoga saja benar aku bisa menang dan tetap waras tak menjadi gila karena kondisi sulit seperti ini.
Bajigur! Umpatanku pada keadaan seolah aku hendak melawan takdir yang sedang menimpaku saat ini. Sebuah hidup dalam system yang sama sekali membunuh karakterku yang liar impulsive penuh insiratif nan agresif menjadi seorang krupuk yang melempem (melembek).