Hizib

Topan We
Chapter #1

Mimpi Dan Tantangannya

Jumat dini hari, tepatnya pukul 02.00 aku memaksakan untuk tidur karena sedari tadi mataku masih saja kuat melayani layar hp. Sedangkan kedua temanku, Yusuf dan Aga sudah tertidur lelap. Mereka sudah terbiasa menginap di rumahku. Bahkan kata mereka rumahku sudah seperti rumah mereka sendiri. Walau sudah kupaksa memejamkan mata ini, tapi masih belum ingin tertidur juga. Malah pikiran dan hatiku kacau, gelisah tak tentu. Entah apa yang dirasa. Sebentar lagi waktu subuh, sekitaran jam 3 lewat. Mataku tiba-tiba lelah juga. Sedikit demi sedikit katup mata ini mulai tertutup. Dengan hp yang masih menyala digenggaman tanganku.

Di ruang tengah tak biasanya begitu gelap. Kakak perempuanku Nia, tidak pernah mematikan lampu saat akan tidur. Ia tidak biasa dengan keadaan rumah yang gelap. Aku mendengar suara panggilan yang sudah tidak asing lagi di telingaku. Sumber suara itu dari arah ruang tamu. Setelah ku hampiri, kakakku Nia sedang berada di sana. Dengan posisi duduk dan kedua tangannya yang terikat. Ia beberapa kali memanggil-manggil namaku.

"Di, Adi tolong teteh," dengan wajah yang penuh ketakutan, kakakku terus mengulang kalimat itu. Semakin kudekati kedua langkah kakiku ini ke arah kakakku, rasanya semakin berat. Tiba-tiba dua orang perempuan muncul di belakang kakakku. Yang satu adalah seorang nenek dengan rambut putihnya yang sangat panjang sampai menyentuh lantai dan wajahnya yang datar. Sedangkan yang satunya lagi adalah perempuan paruh baya dengan wajah yang penuh luka. Kemudian mereka keduanya menghampiriku. Si nenek menarik dan menyandarkanku ke dinding dan mencekikku. Si perempuan satunya merabaku dengan tangan yang terasa begitu kasar dan penuh oleh darah mendarat di sekitar alat kelaminku. Aku berusaha melawannya, tapi tidak ada pengaruh apa-apa. Kemudian kusebut asma Allah beberapa kali dan langsung kuteriakan sekencang-kencangnya.

Aku terbangun. "Astagfirullah, astagfirullah," gumamku dalam hati. Ternyata itu hanya mimpi. Kulihat jam di hp ku tidak berubah banyak. Aku melamun sesaat, sebab aku masih hafal, sebelum tidur tadi kulihat jam terlebih dahulu. Hanya terlewat satu menit saja aku dibawa oleh mimpi yang begitu menakutkan. Sampai badanku dipenuhi keringat dingin, dan detak jantungku yang tidak stabil. Karena masih begitu terasa seakan nyata. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Kemudian aku melanjutkan tidurku. Lampu kamar kumatikan. Baru beberapa detik saja kupejamkan mataku, aku dipanggil lagi oleh seorang lelaki yang memanggil namaku berulang kali. Langkahku pun terpaksa menghampirinya. Dengan rasa penasaran yang kuat, walau campur aduk dengan rasa takut yang menggelayut, sosok lelaki itu ternyata adalah bapakku.

"Bah, bah, abah," kupanggil-panggil namun ia masih saja membelakangiku sambil tangannya menunjuk ke satu arah di depannya. Tatapanku mengikuti arah telunjuknya. Di depan sana ada seorang lelaki lagi yang sedang memegang pisau. Wajahnya tak terlihat jelas. Karena posisinya setengah gelap. Kemudian tangan satunya melambai padaku. Setelah kuhampiri, ternyata ia adalah bapakku. Ia kemudian menusuk-nusuk tubuhnya sendiri. Aku lari ke arahnya. Namun sosok nenek yang menyeramkan itu hadir lagi. Ia menarikku hingga aku tertahan di dinding.

"Allahu akbar," kataku sambil teriak. Ternyata itu masih mimpi.

Di keadaan kamarku yang gelap, aku merasakan keanehan berikutnya. Setengah tubuhku miring menempel di dinding. Padahal posisi tidurku berada di tengah-tengah. Aga yang persis di samping dinding kamarku. Dan Yusuf tidur di atas ranjangku. Segera kunyalakan lampu, sambil terus membaca istighfar. Kulihat kedua temanku dengan keadaan berkeringat. Padahal di kamarku juga tidak panas. Tak lama kemudian Yusuf terbangun dari tidurnya.

"Kunaon Di ?" tanya Yusuf.

"Baru beberapa detik saja tidur, ane mimpi serem banget. Dua kali lagi." Jawabku.

"Ente ngelawan setan itu ?" tanya Yusuf lagi.

"Iya." Jawabku.

"Udah gak usah dilawan, biarin aja !" suruhnya.

Ia kemudian pergi ke kamar mandi untuk berwudhu. Aga pun kubangunkan. Dan kami shalat subuh berjamaah.

Aku adalah Ahmad Adi Jamaluddin, anak ke dua dari dua bersaudara. Kakakku perempuan bernama Nia, ia sudah berumah tangga dan mempunyai dua orang anak lelaki. Ibuku sudah meninggal empat tahun yang lalu. Dan bapakku kini sudah mempunyai istri lagi. Ibu tiriku adalah seorang janda yang tidak mempunyai anak, tapi ia mempunyai warisan yang cukup banyak dari peninggalan ayahnya. Ia juga sangat baik kepada kami, layaknya ibu kandung sendiri. Dari segi materi kami hidup serba kecukupan. Dua sahabatku yang kusebut tadi adalah yang pertama Yusuf Imran, sahabat dari kecil yang mana sampai saat ini masih lekat denganku. Ia adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Bapaknya adalah kiyai sepuh yang masyhur di kampung kami, yaitu kiyai haji Darhami Imran. Kiyai haji Darhami adalah kiyai hikmat yang tamunya sudah banyak dari luar daerah Banten. Dan satu sahabatku lagi yaitu Muhammad Aga Permana. Ia satu kuliah denganku. Kami sudah lulus tiga tahun yang lalu. Dan saat ini, aku beserta Aga mengajar di berbeda sekolah. Pertama kali saat Aga kukenalkan pada Yusuf, ketika kami masih kuliah. Jadi saat itu Aga meminta bantuanku untuk mencari orang pintar, mengobati pamannya yang terkena gangguan gaib. Beginilah ceritanya ...

Keluarga Aga adalah termasuk orang-orang yang kurang percaya akan hal mistis. Termasuk pamannya yang sakit itu. Sebelum pamannya sakit parah, sampai tidak bisa apa-apa, seperti orang yang koma, hanya terbaring di kasur empuk selama tiga bulan. Keluarga Aga sudah membawa pamannya ke dokter sana-sini untuk mengobati sakitnya. Namun tidak ada perubahan. Justru beberapa dokter yang sudah menanganinya bilang bahwa paman Aga bukan sakit biasa, atau nonmedis. Tapi tetap keluarga Aga kekeh tidak percaya. Hanya bapak dan ibu si Aga saja yang percaya pada hal-hal mistis yang bisa mengganggu manusia. Nah saat itu, kuajak Aga ke Yusuf untuk menceritakan semuanya. Yusuf pun menanggapinya.

Suatu hari kami bertiga berkunjung ke rumah pamannya Aga. Dan saat itu Yusuf belum diminta untuk mengobati pamannya. Aga mengajak kami hanya ingin melihat kondisi pamannya yang memilukan itu. Kami pun duduk persis di samping pamannya. Ada bibi Aga yang setia membasuh wajah suaminya. Hanya terdiam tanpa kata. Sedari pertama kali masuk ke rumah yang besar ini, tubuhku sudah tidak enak. Aura-aura negatif mulai menyerang tubuhku. Tapi aku seolah terlihat baik-baik saja. Seperti tidak merasakan sesuatu pun yang mengganjal. Dan tiba-tiba Yusuf meminta Aga untuk mengambil bantal yang sedang ditindih oleh kepala pamannya itu. Setelahnya diambil, Yusuf bertanya pada bibi Aga.

"Apakah bantal ini bibi sendiri yang buat ?" tanya Yusuf sambil membolak-balikan bantalnya.

"Tidak, saya membelinya dari furniture, sudah lama sekali." Jawab bibi Aga dengan kedua alisnya yang mengerut.

Sekali lagi Yusuf meminta Aga untuk mengambilkan pisau. Dengan sigap Aga langsung mengambilnya ke dapur. Bibi mengikuti Aga, berencana mengambil minum untuk kami. Saat bibi dan Aga di dapur, aku dan Yusuf dengan sangat terkejut dan disertai merinding yang sangat kuat, melihat paman Aga tersenyum dengan mata tertutup. Senyumnya begitu menyeramkan.

Datanglah Aga dan bibinya, yang kemudian memberikan pisau yang diminta Yusuf tadi.

Lihat selengkapnya