DUA PEZIARAH MU
Maaf kan aku,
jika kesanggupan menatap wajah mu hanya sesaat saja.
Aku akan tertunduk karena ku tak sanggup ketika sepasang peziarah indah mu
Menari-nari di hadapan ku.
Seir Malik,
Yogyakarta
Hari berganti, bunga bougenville yang berwarna-warni dan bentuknya lebih tipis daripada kertas tisu itu bermekaran bersemi mengalahkan banyaknya daun di setiap cabang-cabangnya. Tampak di kolam taman kota, rombongan teratai lotus yang mengapung sedang menunjukan jati dirinya dengan memamerkan kemeriahan bunga-bunganya yang menjunjung ke atas, alangkah indahnya dan beruntungnya menjadi teratai lotus karena mendapatkan air dari atas dan bawah. Parade burung-burung liar pun tidak mau ketinggalan di bulan ini. Burung kutilang yang banyak di taman kota saling bersahutan satu sama lain, mereka mencari makanan dari pohon satu ke pohon lainnya. Dadanya yang kuning memperlambangkan kemakmuran bagi kutilang, sedangkan sayapnya yang hitam dan perutnya yang berwarna putih mengajarkan bahwa dalam hidup selalu ada sisi gelap dan sisi suci. Sudah beberapa hari juga awan tampak putih tidak hitam. Apapun yang terjadi terhadap awan, apakah hitam atau putih, angkasa tetaplah biru. Namun pelangi memang belum tampak lagi karena hujan belum waktunya datang. Beberapa hari ini semua terlihat seperti semesta yang sedang memeluk mesra sang ibunda bumi.
Perasaan Pandhita dan Chandramaya dalam beberapa minggu ini pun sama, mereka seperti dua peziarah cinta yang sedang dimabuk asmara. Mabuk asmara setelah menenggak anggur-anggur surga yang dipersembahkan oleh dewi cinta.
Setiap hari waktu sekolah Chandramaya selalu rajin mengantarkan Yalada. Ia saperti terkena candu, mata indahnya selalu ingin melihat langsung Pandhita. Dan dengan begitu ia akan merasakan kedamaian. Pandhita semakin hari semakin lincah dan bersemangat. Suntikan candu asmara telah membuatnya bergelora. Langkah dan larinya seperti kijang jantan bertanduk panjang yang sedang menyusuri padang savana. Anggun, Elok, gagah dan wibawa. Hatinya akan bahagia jika ia melihat kemolekan Chandramaya secara langsung.
Setiap hari mereka selalu menayakan kabar satu sama lain, berbincang apa saja lewat aplikasi WhattApp di perangkat gawai mereka masing-masing. Hati mereka selalu bertanya-tanya tentang apakah yang sedang mereka rasakan. Pandhita dan Chandramaya membuat aura di sekitar mereka menjadi indah. Saat ini dua peziarah cinta itu sedang menebarkan benih-benih cinta di sekeliling mereka. Sebenarnya teman-teman mereka belum mengetahui kabar kedekatan mereka. Baik Bintari, Pak Kepala Sekolah, Seir, Ibunda Pandhita dan yang lainnya belum mengetahui kabar ini. Pandhita dan Chandramaya seperti menyusuri jalan gelap untuk menuju bahagia dengan berbekal api obor asmara cinta mereka.
Jam menunjukan pukul tiga, kegiatan belajar dan mengajar di sekolah pada hari ini telah usai. Pandhita terlihat tengah bersiap-siap menuju pulang. Ia sedang sibuk memakai jaket dan sarung tangan motornya. Tiba-tiba Bintari menghampiri Pandhita,
“Mas Pandhita, malam minggu ini saya ingin main ke Kedai Kopi Rumah Sakit ayahmu ?” Begitu Tanya Bintari kepada Pandhita.
“Lho ayo silakan, tumben mau ke sana pake acara pemberitahuan segala ke saya ?” Pandhita bertanya balik ke Bintari sambil mengenakan pelindung kepalanya.
“Aku mau ajak, Pak Kepala sekolah beserta istrinya dan kamu. Aku ingin merayakan ulang tahun ku di sana. Maklum lah aku kan sendiri di sini. Maka kalian aku anggap keluarga ku. “ Begitu penjelasan Bintari kepada Pandhita.
“Tumben, biasanya kamu setiap ulang tahun selalu merayakannya di Bar atau di Klub Malam yang ada di Jakarta Selatan sama teman-teman mu ?” Pandhita penasaran.
“Iya… diperayaan ulang tahun ku yang sekarang aku ingin lain. Aku ingin di perayaan ini mencoba lebih banyak perenungan daripada pestanya. Dan aku sudah kangen ingin bertemu dengan ayah mu yang ajaib itu, ha…ha…ha…” Mendengar penjelasan Bintari, Pandhita mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum, lalu berkata singakat,
“Oke…siap.” Kemudian dinyalakanlah Vespa Matic merahnya lalu melaju pulang.
Hari berganti, acara ulang tahun Bintari tinggal dua hari lagi. Pandhita sedang berbincang melalui aplikasi WhatsApp nya dengan Chandramaya. Jari jemarinya seperti menari indah karena tulisan perkataannya di perangkat gawai ditunjukan untuk orang yang sedang dicintainya. Semua yang mereka ucapkan lewat ketikan sebenarnya hanyalah kata-kata biasa bukan syair lagu cinta ataupun puis-puisi romantika. Tetapi karena kata-kata yang terucap dan diketikan itu berasal itu dari perasaan yang sedang dimabuk asmara. Perasaan yang sedang mulai disemai dengan benih-benih bunga pada taman bunga yang mereka sedang buat di hati mereka.
Pandhita lalu untuk pertama kalinya mengajak Chandramaya untuk pergi keluar bersama, berkencan. Jemarinya lalu mengetikan ajakan,
“Chandramya, apa dimalam minggu kamu ada acara ?” Tanya Pandhita kepada Chandramaya melalui aplikasi WhattApp. Lalu segera dibalas oleh Chandramaya,
“Apa kamu mengajak ku jalan keluar, dating yah ? kalo itu pertanyaan selanjutnya yang akan kamu tanyakan, aku akan menjawab iya. Iya aku ingin pergi dengan mu malam minggu ini.” Dibalaslah segera oleh Pandhita dengan lambang emoji tersenyum dan bunga mawar. Lalu Chandramaya bertanya,
“Rencananya mau kemana ?”
“Bintari ulang tahun dan dirayakan sederhana di Kedai Kopi milik ayah ku.” Jawab Pandhita.
“Ok baik. jemput aku.” Pinta Chandramaya.
“Ok jam tujuh malam.” Jawab Pandhita. Lalu keduanya menyudahi obrolan mereka.
Rasa sabar rasanya sudah tidak bisa dibendung lagi ingin cepat-cepat sabtu pagi berganti malam. Pandhita tampak gelisah. Ia mulai mengambil gawai dan menonton Youtube guna mengalihkan perasaannya, tetapi itu tidak berguna. Karena hampir setiap bintang iklan yang keluar di aplikasi Youtube adalah Chandramaya. Semakin ia melihat Chandramaya semakin ia tidak sabar ingin berjumpa. Lalu ia beranjak menuju teras belakang rumahnya untuk membaca sebuah buku. Tetapi yang terjadi adalah, setiap lembaran-lembaran halaman yang dibuka seperti hanya ada wajah Chandramaya. Tidak henti-hentinya Pandhita melihat jam tangannya. ‘Andai waktu bisa kupercepat, maka akan kuputar waktu ke arah senja, agar bisa sesegera mungkin bertemu belahan jiwa’. Itu yang ada di benak pikiran Pandhita.
Ibunda Pandhita melihat keanehan terjadi pada diri anaknya. Di bawakannya sepiring kue keju hangat dan segelas teh tawar untuk anaknya. Kemudian setelah meletakan keduanya di meja kecil, ibu bertanya,
“Pandhita, sedang apa ? dari tadi ibu liat kamu enggak berenti lihat jam tangan mu dan ibu lihat juga sepertinya kamu gelisah sekali ?”
“Oh, enggak bu. Aku enggak apa-apa.” Jawab Pandhita sambil tersenyum. Lalu ibundanya melanjutkan perkataan sambil duduk disebalah Pandhita dengan kursi yang berbeda,
“Dulu ayahmu itu orang yang wataknya keras. Watak kerasnya turun dari kakekmu. Semua orang dikampungnya tidak ada yang berani dengan ayahmu. Pernah dulu, sekali waktu ada anak pendatang dari Jakarta yang baru tinggal di kampung sebelah. Kelakuannya bikin kesal karena dia tidak sopan terhadap orang-orang. Singkat cerita ayahmu pernah berselisih paham dengan dia. Setiap orang kampung tidak ada yang ingin berurusan dengan anak itu lantaran anak itu memiliki bapak yang bertugas menjadi Polisi. Beda cerita dengan ayahmu. Ketika bertemu langsung dipegang keras kerah bajunya dan dipukul matanya sampai biru. Anak itu jatuh lalu mulai mencoba melawan. Tetapi ayahmu langsung mengambil parang dan mengacungkannya kepada anak itu. Anak kota itu tidak jadi melawan, ia lari terbirit-birit ketakutan dengan ancaman ayahmu. Tetapi masalah pun selesai karena ayah si anak itu sangat bijaksana dan ayahmu juga mengakui kesalahannnya karena telah memukul dan mengancam. Tidak lama kemudian ayahmu diberangkatkan ke Yogyakarta untuk kuliah. Di Yoyakarta dia bertemu ibu.
Singkat cerita, seperti yang kamu ketahui bahwa ayahmu tidak sampai lulus kuliah dan memilih hidup dijalanan Maliboro sebagai seorang seniman. Kehidupannya semakin keras beriringan dengan wataknya juga yang semakin keras.
Dulu ketika liburan lebaran, ayahmu pulang ke rumah orang tuanya. Dan ayahmu pada waktu itu sudah menjalin asmara dengan ibu. Nenek mu bercerita kepada ibu bahwa anaknya, yaitu ayahmu ketika selama liburan di kampung selalu gelisah dan kadang tersenyum-senyum sendiri. Lalu nenekmu berkata kepada ayahmu ‘le, kamu sedang jatuh cinta. Aku tahu itu’ Ayahmu lalu tersenyum dan mengaku. Setelah tiga bulan berikutnya aku ibumu ini dilamar oleh ayahmu. Nah sekarang aku merasakan itu terhadap kamu.” Ibunda Pandhita tersenyum seola-olah meledek kepada Pandhita. Pandhita hanya merespon itu semua dengan senyuman juga.
Senja sebentar lagi tiba. Awan putih telah berganti menjadi oranye. Suara pengajian dari berbagai masjid mulai terdengar seperti bersiap menyambut waktu magrib. Pandhita mengenakan setelan kemeja hitam dan celana jeans, serta tidak lupa dengan sepatu sneaker skateboard nya. Ia mencukur kumis tipisnya dan menggunakan parfum terbaiknya yang harganya tidaklah terlalu mahal. Segera ia mengambil jaket kulit dan pelindung kepala untuk naik motor dan kali ini ia membawa dua buah pelindung kepala. Dipacunya Vespa matic dengan kecepatan sedang. Rasa deg-degan mengiringi laju pacu Vespa. Semakin dekat dengan kediaman Chandramaya semakin degup jantung ini berdetak tidak karuan. Bukan karena takut tapi karena kasmaran.
Sejak sore Chandramaya telah bolak-balik masuk ke ruang penyimpanan baju pribadinya untuk mencocokan pakaian. Pertama ia memilih gaun berlengan pendek berwarna putih. Setelah dirasa-rasa nampaknya tidak cocok, karena Pandhita mengajaknya dengan berkendara motor. Pilihan kedua jatuh pada gaun pendek yang dipadukan dengan celana ketat dan sepatu boot. Tetapi pilihan ke dua pun urung ia kenakan juga. Akhirnya ia memilih baju kaus biasa berwarna peach dengan bawahan celana jeans, lalu kausnya di tutupi dengan jaket kulit berwarna hitam berkerah jas.
Jam menunjukan pukul setengah tujuh. Pintu gerbang telah dibukakan oleh Pak Satpam dan Vespa merah sudah mulai nampak di pekarangan rumah Chandramaya. Jantung Pandhita masih berdegup kencang dan hatinya berbunga-bunga. Ia menunggu berdiri di teras rumah dan mencoba untuk tenang. Tidak lama berselang Chandramaya keluar dari balik pintu. Pandhita tertegun sebentar seribu bahasa. Lidahnya tampak kaku tidak bisa berkata apa-apa. Bagi Pandhita, malam ini Chandramaya adalah batu permata yang dikenakan oleh bidadari dan membuat bidadari bersinar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Chandramaya lalu tiba-tiba mengagetkan Pandhita,
“Hei, kok bengong. Apa aku salah mengenakan pakaian ?”
“Enggak, enggak sama sekali.” Jawab Pandhita sambil tersenyum.
“Tadinya aku mau mengenakan gaun, tapi rasanya tidak pas kalo naik motor.” Chandramaya menjelaskan.
“Apapun yang kamu kenakan, kamu adalah bintang malam ini.” Ucapan jujur yang keluar secara spontan dari mulut Pandhita telah membuat Chandramaya bertambah merah pipinya. Pandhita menawarkan pelindung kepala dan mempersilakan Chandramaya menaiki Vespa nya setelah sebelumnya Pandhita telah naik terlebih dahulu.
Suasana jalanan pada malam minggu di Kota teramat ramai. Lampu-lampu kendaraan dan lampu-lampu gedung semua bercahaya seperti ribuan kunang-kunang yang berhamburan. Pandhita dan Chandramaya menembus jalanan Kota di malam hari, berkendara roda dua dengan bermantelkan asmara. Di setiap sudut-sudut Kota akan merekam dan menjadi saksi nyalanya kobar asmara.
Mereka pun pada akhirnya tiba di tempat tujuan, Kedai Kopi Rumah Sakit. Malam ini Kedai Kopi Rumah Sakit sangatlah ramai. Pandhita mengajak Chandramaya masuk melalui pintu belakang dan naik ke lantai dua menuju ruang tamu khusus yang memang tidak berbaur dengan para pengunjung yang lain. Pandhita tidak ingin Chandramaya menjadi tidak nyaman jika harus menembus keramaian. Ia khawatir terhadap pengunjung yang nantinya tiba-tiba meminta selfie atau mengambil gambar foto mereka berdua.
Lampu-lampu cantik di bawah terlihat dari lantai dua, seperti taman bunga yang bersinar lalu membawa ketenangan walaupun tempatnya ramai. Pelayan-pelayan hilir mudik sibuk dengan pengunjung yang memesan pesanan. Kedai kopi yang baik adalah kedai kopi yang tidak membuat pengunjung menunggu pesanannya terlalu lama dan itu akan membuat kesan yang baik untuk mereka untuk kembali lagi. Jika kesan pertama saja pengunjung yang datang menunggu terlalu lama, maka bisa dipastikan akan menciptakan kesan yang negatif. Semua pegawai pun harus melayani pengunjung dengan hati agar tidak mencemari hakikat rasa kopi. Tidak sedikit orang yang memaknai secangkir kopi itu sebagai salah satu jalan keluar dari segala aktifitas yang menjemuhkan, karena memang benar menikmati secangkir kopi dapat meredakan stres.
Ketika mereka sudah memasuki ruangan telah hadir di sana Bintari bersama sepupunya, Molna. Kepala Sekolah dan istrinya juga telah sampai di sana. Ayah Pandhita, Seir Malik sebagai orang yang memiliki kedai duduk diantara mereka. Hanya ibunda Pandhita yang belum sampai. Kelihatannya ibunda Pandhita berada di lantai satu sedang mempersiapkan kue ulang tahun.
Semua tampak biasa-biasa saja dan tidak ada kehebohan ketika Pandhita datang dan memperkenalkan Chandramaya kepada mereka. Semua yang hadir di sana tahu siapa itu Chandramaya. Mereka tahu bahwa Chandramaya adalah seorang artis ternama yang sedang naik daun. Chandramaya lalu duduk dan menyalami mereka dengan tangan kanannya. Setelah Chandramaya memperkenalkan diri, Pandhita meminta ijin untuk pergi ke toilet. Bintari menyusul Pandhita ke belakang lalu menunggu di depan pintu toilet. Sontak setelah Pandhita keluar dari Pintu Toilet, bintari berteriak kegirangan tak percaya bahwa Pandhita berhasil mengajak Chandramaya untuk berkencan.
“Kok bisa… sejak kapan kamu Pandhita… sejak kapan kamu jalan sama dia?” Bintari meledak-ledak seperti anak kecil yang kegirangan mendapatkan hadiah. Tidak lama kemudian Pak Kepala Sekolah dan istrinya menyusul ke belakang menemui Pandhita, mereka pun tidak percaya bahwa Pandhita mengajak keluar Chandramaya,
“Kamu ini Pandhita, enggak sangka saya… ternyata dibalik diam mu ini yah.” Pak Kepala sekolah tertawa terbahak-bahak disusul oleh istri dan Bintari.
Sedangkan di meja hanya tersisa Molna, Seir dan Chandramaya. Molna yang memang sudah menjadi penggemar Chandramaya setelah ia menonoton film layar lebar kedua dari Chandramaya. Kebetulan di film itu Chandramaya mendapatkan penghargaan sebagai pemeran utama wanita terbaik.
Molna mengeluarkan perangkat gawainya dengan matanya yang terbuka lebar sambil terus memandang kagum ke arah Chandramaya yang kebetulan duduk di sebelahnya. Chandramaya lalu membalas pandangan kagum Molna dengan tersenyum dan menanyakan kabar kepada Molna,
“Hai Molna, kamu cantik sekali apa kabar ?” Molna tidak menjawab tepat pertanyaan Chandramaya. Malahan Molna berkata,
“Kau itu luar biasa cantiknya, boleh kupegang tangan mu.” Molna sangat antusias.