Hocus-Pocus: Kebenaran yang Tersembunyi

Febri Purwantini
Chapter #1

Mila

Aya menyeret langkah menuju tempat bimbel persiapan SBMPTN. Tas ranselnya yang menggembung maksimal seakan-akan menjerit karena kelebihan beban.

Sebenarnya pikiran gadis bertubuh semampai itu cukup sederhana. Dia enggan menjejali otaknya dengan segala hal yang rumit.

Namun, waktu naik kelas XII, mama menyambut selepas dia pulang dari sesi pemotretan katalog suatu lini busana kasual.

"Kamu harus mulai fokus nyiapin masuk kuliah, Ya. Mama pengen lihat kamu pakai jas almamater kebanggaan Mama."

Aya mengernyitkan dahi. "Emang harus kuliah di sana, ya, Ma?"

"Please, yang penting usaha dulu. Ikut bimbel mulai sekarang."

"Tapi, Ma..."

"Sayaaang, please ... Oke?" Mata mama mengerjap yang membuat hati Aya luluh.

Aya mengembuskan napas. Mana mungkin dia sanggup menolak permintaan mama.

Padahal bagi Aya, masuk universitas mana pun tidak masalah. Bahkan dia siap terbang ke negeri mana pun jika orang tuanya memberi restu.

Dia tidak punya nyali mengikuti SNMPTN, karena tahu diri dan yakin jika sejak seleksi awal akan gagal. Nilai-nilainya sangat random, seperti pikirannya saat ini.

Banyak yang bilang jika masa-masa SMA itu paling indah. Tadinya memang menyenangkan, tetapi tidak berlaku bagi murid kelas XII semester akhir. Sederet jadwal ujian setelah UN sudah menanti di depan mata dan mau tidak mau menyita seluruh energi mereka.

*

Belum banyak yang datang ke kelas bimbel hari ini. Aya leluasa untuk memilih bangku di deret belakang. Dia menghela napas dan memainkan rambutnya yang terikat, lalu menempelkan pipi kanannya di atas meja.

Aya mendengkus. Dulu sebelum naik kelas XII, dia mengisi akhir pekan dengan kegiatan modelling, nonton, atau sekadar latihan basket di halaman rumah. 

Ada nggak, sih, yang lebih buruk selain melewati weekend dengan mengencani latihan soal? batinnya sarkas.

Bunyi daun pintu yang berdebam membuat Aya mengangkat kepalanya. Suci, teman satu sekolahnya, datang tergopoh-gopoh dengan menyangklong tas dan mendekap beberapa buku. Dia tampak kerepotan dengan barang bawaannya langsung menempati bangku paling depan, lalu mulai membuka buku latihan soal.

Aya sungguh heran mengapa orang yang dianugerahi otak encer seperti Suci justru terlihat lebih panik darinya. Suci sudah menjadi langganan juara sejak kelas sepuluh. Dengan kapasitas otaknya itu, seharusnya dia sedikit santai menghadapi SBMPTN.

Derap langkah penuh energi dari Pak Latif, guru bimbel mereka, yang memasuki kelas seketika menghentikan hiruk-pikuk seisi ruangan.

"Selamat sore, Adik-Adik. Kalian masih semangat, kan?" sapa Pak Latif yang wajahnya selalu terlihat berseri-seri.

"Masih ..." Jawaban basa-basi yang dilontarkan segelintir orang saja di kelas itu. Pak Latif tersenyum maklum.

Setelah menyampaikan motivasi untuk para murid bimbel, laki-laki muda berkacamata yang berjenggot tipis itu mulai membahas latihan soal.

Lihat selengkapnya