Hari menjelang petang saat Aya keluar dari kelas bimbel. Dia menghentikan langkah dan mengedarkan pandangan ke area parkir. Tadinya dia mau naik kendaraan umum, tetapi papa bersikeras akan mengirim mobil jemputan karena mereka tidak boleh terlambat hadir di acara nanti malam.
Banyak temannya sudah lebih dulu pulang. Terlihat beberapa murid dari sekolah lain masih berdiri di trotoar menunggu jemputan.
Suci berlari-lari kecil melewatinya. "Aya, aku duluan, ya," serunya.
Aya tersenyum dan melambaikan tangan. Dia kagum dengan Suci yang semangatnya selalu membara. Suci menjadi salah satu murid les kesayangan Pak Latif karena kemajuannya paling pesat di antara mereka.
Tubuh Suci menghilang ke dalam angkot yang dipenuhi dengan wajah-wajah kuyu murid kelas 12.
Suara klakson membuat Aya tersentak mundur, tetapi seketika raut wajahnya berubah saat melihat mobil papa.
"Pak Karyo iseng amat, ngagetin, tahu!" gerutu Aya sewaktu duduk di jok belakang.
Sopir yang telah bertahun-tahun bekerja dengan keluarganya itu meringis geli.
"Habisnya Non Aya melamun di pinggir jalan, takutnya ntar kesambet jin ganteng."
"Idih, siapa juga yang melamun. Pak Karyo sok tahu, deh," kata Aya bersungut-sungut.
Sepanjang perjalanan pulang Aya sibuk memikirkan baju apa yang dia kenakan untuk acara makan malam nanti. Sepertinya baju kasual lebih cocok untuknya, tetapi jika acaranya semiformal sebaiknya dia memakai baju yang lebih sopan. Hm, dress selutut tampaknya juga cantik.
Cewek itu juga mengingat-ingat aksesoris yang dimiliki agar serasi dengan bajunya.
Jangan lupa sepatu juga harus dipikirkan. Paling tidak biar dia nyaman sepanjang acara.
Aya tersenyum puas. Hanya dengan memikirkan hal-hal remeh begini, dia berhasil mengusir kepenatan seharian.
Cewek semampai itu tak menyia-nyiakan waktu sesampainya di rumah. Setelah mandi secepat kilat, dia mulai memadu-padankan baju dan pernak-perniknya.
Dress berwarna biru muda berpotongan feminim ditambah anting panjang melekat indah di tubuhnya. Polesan make up tipis menambah kesan segar wajahnya. Tidak perlu berlebihan, karena tanpa make up pun dia cukup percaya diri.
"Aya, udah waktunya berangkat!" teriak mama di ujung atas tangga.
"Yoi, Ma, bentaar ... tinggal ambil sepatu."
Dipilihnya flat shoes warna gelap lalu buru-buru dikenakan sembari keluar kamar. Dia menuruni tangga dengan derap langkah cepat.
Di ujung tangga sudah menanti mama yang tampak anggun mengenakan gaun panjang berwarna hitam.
Sementara papa dan adiknya sudah menunggu di teras.
"Woi, Kak, buruan! Udah laper, nih," protes Riko memegangi perutnya.
Aya menjulurkan lidah ke adik semata wayangnya itu. Mereka berempat diantar Pak Karyo meluncur ke restoran kolega bisnis papa di pinggiran kota.
Aya cukup terkesan dengan menu makan malam ala fine dining ini. Sembari menikmati makan malam mewah, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang lebih mirip hall itu, siapa tahu ada wajah familiar yang dia kenal.
Acara ramah-tamah seusai makan malam diisi dengan beragam hiburan. Papa terlibat diskusi seru dengan para koleganya. Mama sendiri sudah tenggelam dalam percakapan dengan sekelompok perempuan yang juga teman arisannya.
Fix, tidak ada seorang pun yang Aya kenal.
Sejak tadi Aya membuntuti mama, tetapi lama-kelamaan bosan dan mati gaya mengikuti obrolan para mama sosialita.
Dia memisahkan diri dari mama dan mencari sosok Riko. Anak berusia sembilan tahun itu ditemukannya sedang meraih kudapan yang terhidang di meja panjang di sekeliling ruangan.
"Rik, temenin keluar, yuk. Bosen, tau," ajak Aya menggamit lengan adiknya.