Suci turun dari angkot dengan sedikit susah payah. Penumpang yang penuh sesak menghalangi jalannya menuju pintu keluar. Tentengan di kedua tangan membuatnya kesulitan menyeimbangkan diri.
Gadis itu menghirup napas dalam-dalam begitu berhasil menapak ke tanah. Dia hanya perlu berjalan sedikit lagi menyusuri gang sempit untuk sampai ke rumahnya.
Begitu pengumuman hasil SNMPTN tidak meloloskan namanya, hati Suci lebih sakit daripada melihat gebetannya jadian dengan cewek lain. Dia bertekad untuk mengejar peruntungan pada SBMPTN. Kali ini dia harus berhasil meraih nilai tinggi di UTBK agar bisa meloloskannya di universitas impian.
Suci melambatkan langkah ketika mendekati rumah mungilnya. Awan gelap mulai membayang. Beberapa kali dia tak sengaja mendengar perdebatan orang tuanya perihal masa depannya. Mereka ragu apakah sanggup membiayai Suci hingga sekolah tinggi.
Suci menggigit bibir. Dia tidak bisa berhenti. Tidak, setelah berjalan sejauh ini. Mungkin saat ini hanyalah semangat baja yang dia miliki, tetapi dia yakin akan selalu ada jalan keluar.
Satu-satunya hal yang paling masuk akal ialah masuk ke universitas negeri dan sekuat tenaga mengejar beasiswa. Bahkan dia bersedia jika mesti kerja paruh waktu demi bisa tetap kuliah. Bibir Suci menyunggingkan senyuman. Perjuangannya untuk mengubah nasib baru dimulai.
"Assalamualaikum."
Rumah begitu lengang saat Suci memutar anak kunci. Seperti biasa, bapak baru pulang dari menarik ojek saat hampir tengah malam, apalagi pada akhir pekan begini mungkin lebih banyak penumpang.
Sedangkan emak pasti sedang sibuk bekerja di katering Bu Irma untuk persiapan acara pernikahan besok hari Minggu. Dia tak peduli dengan Deni, kakak laki-lakinya, yang sudah dua tahun belakangan jadi pengangguran. Kerjaannya hanya nongkrong dan menggoda cewek yang lewat di dekat gang. Mungkin kakaknya itu baru jera saat polisi menjebloskannya ke penjara.
Setelah membersihkan diri, Suci bergelung di tempat tidur dengan beberapa kertas dan buku yang berserakan di sekitarnya. Dia belum terlalu memahami pemecahan soal-soal Matematika yang dijelaskan Pak Latif tadi. Dia harus mencarinya malam ini, jika tidak ingin soal-soal sialan itu mengganggunya dalam mimpi.
Yes, berhasil! soraknya dalam hati setelah otaknya hampir pecah.
Puas rasanya jika akhirnya berhasil menaklukkan soal-soal itu. Dia mencintai sekolah, bahkan proses belajar itu sendiri. Sebuah rahasia kecilnya yang mungkin akan dianggap aneh bagi sebagian orang.
Suci mendengar emak pulang. Biasanya emak membawa sedikit sisa makanan katering. Perutnya yang menjerit sejak tadi memaksanya turun dari tempat tidur. Ketika langkahnya mencapai pintu, terdengar emak menyambut kepulangan bapak. Mereka lalu bercakap-cakap dengan suara pelan, dan beberapa kali namanya disebut.
Ah, paling-paling lagi pada ngomongin masa depanku lagi.
Suci enggan berdebat dengan emak dan bapak. Dia memilih kembali ke tempat tidurnya. Dia merebahkan badannya di kasur busa yang telah usang. Pikirannya belum bisa berkompromi dengan tubuhnya untuk beristirahat.
Masih banyak soal latihan yang belum diulang lagi. Oya, dia juga lupa harus meminjam buku tambahan di perpustakaan. Dia juga mesti menghapal beberapa bab pelajaran. Kenapa tadi dia tidak banyak berdiskusi dengan Pak Latif sebelum pulang. Seharusnya dia membuat rangkuman dari berbagai pelajaran yang didapat di sekolah dan bimbel.