Hocus-Pocus: Kebenaran yang Tersembunyi

Febri Purwantini
Chapter #4

Rumah Baru

"Mil ..." Ibu mendekati Mila yang sedang duduk di atas tempat tidurnya. Tiga malam tanpa kehadiran ayah mengubah segala sesuatu di rumah ini.

Mila yang sejak tadi berlagak belajar meskipun tidak ada yang tercerna dalam pikirannya, punya alasan untuk menutup kembali bukunya. "Iya, Bu?"

Ibu duduk di tepi ranjang dan menatapnya dengan pandangan sendu. "Kamu keberatan nggak kalau kita pindah rumah?"

"Pindah ke mana lagi, Bu? Bukannya sewa di sini lumayan murah?"

"Ada rumah petak di kampung sebelah yang lebih murah, Mil. Biar kita bisa nabung lebih banyak," tukas ibu cepat, lalu menambahkan dengan lirih, "buat nerusin sekolahmu."

Mila terkesiap. Rupanya ibu sudah memikirkan hingga sejauh itu.

"Tenang aja, Mil. Diam-diam Ibu udah mulai nabung, kok. Nggak usah dipikirin. Yang penting kamu usaha sungguh-sungguh."

Mata Mila menerawang. "Bu, nggak masalah, kok, kalau lulus SMA aku langsung kerja --"

"Jangan! Pokoknya ikhtiar buat kuliah dulu, ya!"

Mila buru-buru mengangguk. Sejak dulu dia tidak ingin mengecewakan perempuan di dekatnya ini. "Kapan kita pindah, Bu?"

"Lusa. Rumahnya tidak sebesar ini. Tapi nggak masalah, kan? Toh sekarang kita cuma berdua."

Mila mengangguk setuju.

*

Barang yang mereka miliki tidak terlalu banyak. Hanya beberapa kardus dan kasur busa yang bisa dibawa dalam sekali angkut dengan kendaraan pick up.

Namun, ada sepotong kecil hati Mila yang tertinggal di sini. Pak Badrun, Bu Lela, Bu Mimin, dan tetangganya yang lain membuat Mila merasa diterima di kampung ini. Mereka sudah memainkan peranan yang baik sebagai saudara terdekat.

"Kita udah sampai," gumam ibu yang membuyarkan lamunannya.

Mila turun dari mobil pick up, lalu mengedarkan pandangan ke kawasan rumah petak itu. Beberapa rumah mungil yang catnya hampir pudar tampak berjajar rapi. Di seberang mereka ada rumah besar yang cukup megah, bagaikan raja dikelilingi para pion, sangat kontras dengan kondisi sekelilingnya.

Ibu dan sopir mobil pick up mulai menurunkan barang-barang mereka. Mila yang ketahuan melamun sejak tadi, buru-buru turun tangan membantu ibu mengangkati kardus-kardus.

"Kita tinggal di rumah yang mana, Bu?"

Ibu mengelap keringat di pelipisnya, lalu menunjuk ke rumah paling pojok kanan. 

"Yang itu, Mil. Ibu udah dikasih kuncinya kemarin," kata ibu sembari menggoyang-goyangkan kunci di tangannya. "Kita bisa langsung masuk."

Mila dengan susah payah mengangkat kardus yang seukuran kemasan air mineral sambil mengikuti ibu yang membuka pintu rumah. Aroma lembab menguar begitu pintu rumah terbuka mengesankan rumah itu tidak berpenghuni sejak lama.

"Wah, kenapa ada lubang sebesar ini? Harus diganjal, nih, biar nggak kemasukan tikus got," keluh ibu yang mengamati saksama lubang di bagian ujung bawah pintu.

Lihat selengkapnya