“Hai, Bu.” Faisal memeluk cium ibunya, Ratih Kusumaningtyas.
“Sendirian? Mana Alin?” Ratih merangkul Faisal erat.
“Ke kantornya lah. Eh, Ibu masak apa?” Dengan langkah panjang dan bergegas, lelaki tiga puluhan tahun itu bergerak cepat melintasi ruang tamu dan ruang keluarga menuju ruang makan dengan hidung yang naik turun, membaui harumnya gulai masakan kegemarannya.
Ratih tersenyum melihat aksinya dan segera menyertai anak bungsunya yang langsung tak menunggu waktu. Tangannya cekatan mengambil piring, nasi, lauk, dan mungkin hanya memulainya dengan berdoa dalam hati. Faisal telah asyik dengan berbagai makanan di hadapannya.
“Memangnya belum sarapan? Alin nggak masak lagi?” Ratih mendekatkan piring berisi buah ke arah Faisal.
Anak lelaki kebanggaannya ini cepat juga menyelesaikan sarapannya.
“Oh, Alin masak, kok. Tapi, Ibu tahu, kan, rasanya?” Faisal nyengir.
“Eh, namanya juga masih belajar. Jangan diledek gitu.” Ratih mengacungkan telunjuknya ke arah hidung Faisal yang tinggi.
“Aku nggak meledek, kok. Aku juga makan masakannya tadi. Tapi, ya, cuma sedikit, makanya masih lapar,” sergah Faisal cepat.
Sang Ibu mengantar kembali Faisal usai sarapan kilat itu menuju Alphardnya yang terparkir di carport rumah bergaya Mediteranian peninggalan almarhum ayahnya Faisal. Peluk cium pipi kiri-kanan dengan cepat, lalu….
Wuzzz….
Mobil warna metalik beserta pengendaranya meninggalkan Ratih yang termangu di teras beraura terakota.
Perempuan paruh baya itu memejamkan mata sembari memegang dada dengan tangan kanannya, teringat kembali perjodohan yang dia skenariokan dengan sahabatnya beberapa tahun lalu. Beruntung sekali, meski begitu modern, Faisal maupun Alin menerima perjodohan itu sebagai gambling. Begitu mereka dipertemukan, diberi kesempatan saling mengenal dan menjajaki, ternyata percomblangan itu sukses dan membawa keduanya menuju pelaminan.
***
“Aku di perjalanan, Sayang.” Faisal mengecilkan volume radio dalam mobil demi bisa mendengar dengan jelas suara Alin dari seberang telepon.
Memang bahaya menerima telepon sembari berkendara. Tapi, mengabaikan telepon istrinya bisa lebih berbahaya. Karenanya, Faisal selalu siap dengan earphone.
“Oh, oke. Soalnya, tadi sekretarismu bilang kamu belum sampai, Beb.” Suara Alin terdengar khawatir.
Senyum merekah di bibir Faisal. Meski mungkin Alin menggunakan kekhawatiran sebagai alibi, itu cukup menyenangkan dan membahagiakannya. Apa pun alasannya, itu artinya Alin peduli, sesuatu yang dulu tidak dibayangkannya karena toh mereka dijodohkan.
“Oke, sampai ketemu nanti sore, Beb.” Alin menutup telepon dengan satu kecupan yang cukup keras terdengar dan membuat Faisal menggigit bibirnya sendiri.
Ah, Alin mungkin terbawa suasana karena melakukan tarian indah mereka sampai dua kali semalam dan sekali tadi sebelum subuh. Faisal bisa merasakan rona merah dan hangat menyelimuti wajahnya. Mungkin itu pula yang menyebabkannya makan dengan sangat lahap di rumah ibunya. Kelaparan. Sekarang, mungkin dia sedikit merasa kelelahan.
***
Faisal meregangkan kedua lengannya, menghirup dalam-dalam udara ruangannya yang wangi segar sepertinya aroma pengharum ruangan yang baru.