Hold My Fire

diannafi
Chapter #2

Pojok

Bangunan di tepi jalan bercat krem kusam di sudut pertigaan itu menyedot perhatian keduanya. Alin dan Faisal saling berpandangan sekejap. Kemudian, visual mereka sama-sama kembali memandangi rumah dua lantai yang bagai magnet itu.

Mereka duduk tegak di dalam mobil, di seberang jalan bangunan itu berada. Rumah itu kelihatan kuno dan tua. Tapi, dalam visi Faisal telah berubah menjadi sebuah ruko cantik dan marketable.

“Jadi, ini barangnya?” seru Alin tertahan.

“Iya. Sip, kan? Aku dapat murah setelah berjuang keras menawarnya.” Faisal membanggakan diri.

Lelaki ini sadar Alin tidak pernah mau kalah dan dikalahkan. Tetapi, kepuasannya kali ini tak mungkin ditutup-tutupi lagi.

“Hmm…, sepertinya akan butuh banyak biaya untuk memolesnya, Sayang.” Ekspresi dan suara Alin tetiba berubah.

Nadanya jadi lebih rendah. Merendahkan atau prihatin dari Alin, Faisal agak sulit membedakan. Tapi, dia sudah terbiasa dengan polah dan sarkasme istrinya. Karenanya, menjadi tidak masalah lagi buatnya.

Dulu sekali, waktu awal-awal, Faisal sering kali down dengan gaya Alin yang superpower dan selalu memandang remeh orang lain. Tak dipungkiri memang latar belakang Alin yang high class dan jetset. Faisal membayangkan jika latar belakang keluarganya sendiri tidak semapan dan sekualitas sekarang, kalau saja dia lelaki dari keluarga yang sederhana, bahkan miskin, betapa penghinaan Alin akan lebih-lebih lagi.

“Kamu mau masuk ke dalam sana? Kita bisa ambil jalan memutar.” Ketimbang menanggapi komentar Alin yang menyangsikan rencananya, Faisal memilih menawarkan sesuatu. Meski, dia bisa menduga jawabannya.

“Nggaklah, kita pulang saja.” Jawaban Alin persis dugaan Faisal.

Lelaki itu mengembuskan napas berat. Perempuan di sampingnya ini memang sering kali tak terduga. Padahal, ketika menatap sorot matanya saat pertama kali melihat rumah di seberang sana itu, Faisal berharap bisa merayakan pencapaiannya kali ini bersama Alin. Tapi, harapannya pupus.

***

Hidung Faisal naik turun. Aroma berbagai macam masakan membuatnya cepat-cepat turun dari kamarnya. Visualnya berbinar segera saat melihat meja makan yang biasanya sepi dari sajian, kali ini penuh, ditata sedemikian rupa dengan lilin-lilin macam candle light dinner.

Tidak biasanya Alin masak istimewa. Karena, memang skill memasaknya belum terasah atau memang tidak punya passion untuk itu. Tapi, lihat saja sajian makan malam di hadapan mereka kali ini, lengkap dan menerbitkan selera.

Faisal melirik gerak-gerik sang istri dari sudut matanya. Alisnya berkerut. Dahinya juga. Dia berusaha keras mengingat-ingat hari apa ini. Tapi, tak ada satu petunjuk pun yang bisa ditangkapnya. Hari ulang tahun Faisal masih jauh, ulang tahun Alin sudah lewat, ulang tahun pernikahan mereka baru beberapa bulan lagi. Hari apa ini?

“Kenapa, Sayang? Kok, curiga begitu?” Alin mengerling sembari menarik kursi untuk suaminya.

“Siapa yang curiga? Wah, wah…, ada yang harus dicurigai, ya?” Sembari duduk, Faisal menerima piring nasi yang disodorkan Alin.

“Nggak ada. Maksudku, kalau Mas curiga ini bukan aku yang masak, Mas benar banget,” sahut Alin sambil terkekeh.

Tapi, dengan sigap dan cepat perempuan yang malam ini makin cantik dengan lingerie ungu itu memutar tempat saji di depannya, memberi isyarat pada Faisal untuk memilih lauk dan sayur di antara beberapa pilihan yang ada.

“Siapa yang masak?” Sebelum suapan pertamanya dimulai, tak urung Faisal mencari jawab dari Alin yang masih saja tak berhenti tersenyum.

“Ada, deeeh….” Perempuan satu ini memang paling bisa menyembunyikan sesuatu dari siapa saja.

Faisal memilih menyerah saja dan meneruskan aksinya menikmati pelayanan hangat sang istri, juga masakan di depannya.

***

“Jadi, bagaimana dengan proposalku kemarin, Mas?” Alin menyebelahi Faisal yang sedang asyik membaca sembari setengah duduk di tempat tidur.

“Proposal yang mana?” Faisal sebenarnya ingat betul apa yang dimaksud Alin. Tetapi, dia ingin menghindar sebisanya.

“Yah, Mas…, yang waktu kemarin malam kita perbincangkan saat candle light dinner, soal bangunan yang baru saja Mas beli.” Alin sontak memasang wajah suntuk.

Faisal menutup bukunya, Small is The New Big-nya Seth Godin, meletakkannya di atas meja nakas sebelah kiri tempat dia berbaring. Lelaki itu menarik napas panjang sembari mematikan lampu baca. Suasana kamar menjadi temaram tersinari lampu pijar berwatt kecil.

“Hmm….” Rupanya Alin masih menunggu.

Siluet perempuan itu kini mendekat ke wajah Faisal yang masih mencoba berpikir keras. Bahkan, lebih keras dari yang dia lakukan seharian ini. Beberapa hari lalu, Alin kelihatan tidak bersemangat atas rencana Faisal hendak menyulap bangunan itu. Rupanya perempuan ambisius ini punya rencana tersendiri.

 “Duh, gimana ya, Lin? Tempat itu sebenarnya mau kurombak jadi ruko. Harganya akan bagus sekali karena lokasinya strategis.” Faisal masih berusaha bersikukuh dengan rencananya sendiri.

“Jadi, Mas Faisal tetap akan menjualnya lagi?” Alin memutar tubuhnya menyerong ke arah Faisal.

“Ya…, kan, dari semula aku beli bangunan itu untuk dijual lagi.” Lelaki itu merasakan pertahanannya sedikit kendor demi mencium wangi dan hangat perempuan yang kini hanya berjarak dua kepalan tangan darinya.

“Tapi, aku naksir banget tempat itu, Mas. Ayolaaah…, biar kusulap jadi salah satu showroom-ku saja, ya?” Jemari Alin sudah mulai ke mana-mana.

“Kamu, kan, sudah punya banyak etalase.” Sembari menahan napasnya karena rasa menggelitik mulai menyerang, Faisal mengingatkan.

Lihat selengkapnya