Bhanu membuka pintu utama rumahnya dan disambut oleh gelapnya ruangan itu. Ia berasumsi kedua orang tuanya sudah beristirahat melihat jam yang juga sudah menunjukkan jam 12 malam. Bhanu melangkah menuju dapur, ia membuka kulkas untuk mengambil sebotol air dan membawanya ke minibar. Suara langkah lain terdengar dan tak lama sosok Papanya muncul. Lelaki itu menatap Bhanu dan turut duduk di depan Bhanu untuk menuangkan airnya.
“Kenapa muka kamu lebam-lebam?”
Papanya mengamati wajah cowok dan Bhanu menunduk untuk menyembunyikan luka-luka itu.
“Berantem kamu?”
Bhanu diam saja.
“Kalau kamu tidak jawab semua fasilitas kamu Papa tarik selama sebulan.”
“Hampir dirampok.” kata Bhanu akhirnya.
“Seharusnya kamu biarin aja daripada kenapa pukul begini. Nanti barangnya pasti bisa beli lagi.”
“Cowok diliat dari kemampuannya menjaga hal-hal miliknya, kalo langsung diserahin tanpa perjuangan itu terkesan pecundang .”
Papanya menghela napas dan memilih meninggalkan Bhanu begitu saja tanpa berkata lagi. Bhanu sendiri tidak kaget ketika Papanya pergi begitu saja. Sejak dulu mereka berdua memang jarang mengobrol panjang. Ia hanya berbicara panjang ketika dirinya mendebatkan tentang hobinya dengan sang Papa. Bhanu turut beranjak menuju kamarnnya. Ia butuh tidur karena badannya masih terasa pegal sampai sekarang.
Papa Bhanu tidak langsung kembali ke kamar melainkan pergi ke ruangan kerja pribadinya. Lelaki itu duduk dikursi kerjanya masih dengan menggenggam gelasnya. Ia tercenung disana, seakan berbagai macam pikiran sedang berebutan untuk dipikirkan. Lukman Jatipati kembali terlempar pada kejadian-kejadian yang lalu dimana semuanya terlau kusut untuk diurai bahkan sampai sekarang. Sejak 19 tahun lalu Lukman Jatipati bukanlah sosok yang sama.
Keesokan paginya ketika Bhanu bertemu sampai di ruang makan, Mamanya dan Bi Jina yang sedang menyiapkan sarapan begitu kaget melihat wajah Bhanu yang penuh lebam.
“Astaghfirullah! Ini wajah kamu kenapa?!” kata Mamanya.
Bhanu diam saja ketika Mamanya menyentuh lebam di wajahnya. Bi Jina menatap prihatin dibelakang Mamanya.
“Mau Bibi abilin obat?”
Mamanya mengangguk dan segeranya Bi Jin langsung mencari kotak obat sedangkan Mamanya kini menyuruhnya duduk disalah satu kursi.
“Bhanu kamu berantem atau gimana ini sayang?”
“Dia hampir dirampok.” suara Papanya yang baru masuk ruang makan menjawab.
Mamanya memasang wajah kagetnya lagi.
“Astaghfirullah kok bisa?!”
Bhanu mengangkat bahunya sebagai jawaban dan memilih meminum susunya. Bi Jina kemudian datang dengan kotak obat ditangannya. Segeranya sang Mama mengambil alih kotak obat itu dan mengambil salep.
“Badan kamu sakit-sakit gak?” Mamanya bertanya sambil terus mengoleskan salep di sudut bibir Bhanu.
“Gak ada.”
Lukman hanya mengamati interaksi anak dan ibu itu dalam diam sembari menikmati kopinya. Setelah mengoleskan salep itu Mamanya memastikan kembali keadaan Bhanu sebelum menyiapkan sepiring nasi goreng bagi suami dan anaknya. Sarapan itu berjalan dalam hening hingga Bhanu selesailebih dulu dan berniat menyalimi kedua orang tuanya. Mamanya malah turut berdiri dari kursinya dan memeluk Bhanu sebelum Bhanu sempat menghindar dan itu membuat Bhanu mengerang karena ngilu akibat bekas tendangan preman kemarin.
“Argh!”
Mamanya otomatis melepaskan pelukan itu dengan wajah panik.
“Loh kenapa?!”
Bhanu menggeleng kecil.”Gak apa-apa.”
Mamanya tidak cepat percaya sehingga ia mengangkat seragam Bhanu dan menemukan lebam ungu yang cukup besar disana.
“Astaghfirullah kok gak bilang ini juga kena?! Kamu gak usah sekolah aja. Istirahat dirumah.”
“Bhanu gak apa-apa Ma.”
Mamanya menggeleng, wanita itu menatap suaminya.”Pa urus izin Bhanu hari ini ya?”
Papanya mengangguk sebagai jawaban mengabaikan tatapan Bhanu yang juga menatapnya. Bhanu menghela napas, Mamanya menyuruhnya untuk kembali ke kamar dan beristirahat.
“Kamu istirahat dikamar aja sekarang.”
Bhanu akhirnya mengalah dan mengikuti perintah sang Mama. Selepas kepergian Bhanu Mamanya kembali duduk menemani Lukman yang belum menyelesaikan sarapannya.
“Mama nyusul Mas nanti siang aja boleh gak?”
Lukman berhenti menyuapkan dan menatap istrinya yang memasang wajah penuh harap.
“Sebelum makan siang aku nyusul deh, janji!”
“Hari ini kamu dirumah aja.”
Citra langsung memasang wajah berbinar. “Beneran? Gak apa-apa kamu di kantor sendirian?”
Lukman mengangguk sebagai jawaban, ia tersenyum kecil melihat senyum Citra yang melebar. Sudah lama rasanya istrinya itu tidak sebahagia ini. Dan Lukman kembali tercenung, sudah lama hubungannya dengan sang istri begitu kaku meskipun keduanya selalu menjalani aktivitas bersama.
“Lama gak lihat senyum kamu sebahagia ini.” kata Lukman.
Citra langsung salah tingkah dan menyampirkan anak rambutnya ke telinga. Ia mengganti senyumnya dengan raut tak nyaman.
“Maaf Mas, bukan maksud aku senang ninggalin kamu sendirian di kantor.”
Lukman menggeleng kecil.
“Aku paham. “ Ia mencoba berani menggenggam tangan sang istri yang biasanya hanya dilakukan ketika berada didepan kolega mereka saja.Citra menunduk menatap tangannya yang tertutupi tangan sang suami. Hangat. Ia kembali merasa dekat dengan suaminya. Namun genggaman itu tak bertahan lama karena Lukman segera melepasnya dan berdiri sembari memakai jasnya.
“Aku berangkat dulu.” pamit Lukman sebelum meninggalkan istrinya disana. Citra menatap kepergian Lukman begitu saja. Dalam benaknya ia bertanya-tanya, apakah ini adalah waktu yang selama ini diharapkannya? Waktu dimana semuanya akan membaik?
-o-o-o-o-o-o-o-
Setelah mengganti seragamnya dengan kaos Bhanu hanya duduk bersender dikasurnya dan membaca komiknya sampai ada yang mengetuk pintunya. Bhanu beranjak untuk membuka pintunya. Mungkin Bi Jina, pikirnya. Karena tidak mungkin Papa dan Mamanya yang pasti sudah berangkat ke kantor. Namun pemikiran Bhanu salah ketika yang ditemukannya adalah sang Mama.
“Mama?”
Mamanya tersenyum dan masuk ke kamar Bhanu dengan membawa ice bag.
“Mama kompres ya lebam diperut kamu.” Mamanya lebih dulu duduk di kasur Bhanu. Setelah menutup pintu Bhanu menyusul Mamanya.
“Gak ke kantor?” akhirnya Bhanu bertanya tentang sikap Mamanya itu. Masih sediit terasa asing dengan perhatian yang sebelumnya hanya ia dapatkan dari Bi Jina meskipun kedua orang tuanya sedang pulang ke rumah.
“Mama mau ngerawat kamu. Tiduran gih.”
Bhanu tidak bertanya lebih jauh dan menuruti perkataan Mamanya untuk tiduran dan membiarkan Mamanya mengompres lebam diperutnya. Suasana hening diantara keduanya, Bhanu memilih menghindari sorotan sang Mama yang mengamatinya sampai akhirnnya Mamanya bertanya membuat Bhanu menoleh pada wanita itu.
“Bhanu setelah lulus mau lanjut kemana, Nak?”
Bhanu menoleh, “Belum tahu.”