Februari 2017
Hidup adalah roda. Itu sejenis ungkapan penyemangat yang dituju pada mereka yang tak mau berusaha. Mereka pikir, roda akan berputar dengan sendirinya? Tidak, di mana-mana, sebuah benda akan bergerak atau berpindah tempat setelah diberikan gaya atau usaha.
Benda yang semula diam akan tetap diam. Tidak mengubah apa-apa walaupun dalam benaknya angin akan membawa daun terbang ke tempat yang berbeda. Itu, kata-kata yang sulit dipercaya ataupun di cerna oleh seorang Zeuyeinda.
Jarum jam terus berputar, bahkan dengan benda sederhana ini kita dapat mengambil hikmah. Jika tak ada baterai, maka jarum akan terdiam tanpa pergerakan. Jika kita meletakkan baterai dengan kondisi yang baik, dan tentu belum habis masanya, maka jarum itu akan berputar dengan tenang. Itu cukup menunjukkan bahwa segala sesuatu, akan berubah jika manusia mau berusaha.
Gadis itu turun dari ojek online, kemudian membuka pagar tinggi pembatas halaman rumahnya dan jalan komplek perumahan. Ada mobil CR-V putih yang terparkir rapi di belakang garasi yang tampak tertutup rapat.
Gadis itu melangkah sembari mengangkat bahu tak peduli. Ada yang meletup pelan-pelan dalam dadanya, namun gadis itu memilih untuk mengenyahkan segala angan-angan yang ada.
Pintu terbuka, ada dua orang perempuan dan dua orang laki-laki duduk di ruang tamu. Tampak berbincang ringan sembari tertawa-tawa, sedang Zeuyein masuk dengan garis wajah tanpa ekspresi.
"Kenapa pulang terlambat, Yin?"
Suara itu menginterupsi langkah kaki yang semula hendak pergi. Gadis itu membalikkan badan sembari tersenyum tipis. "Ada kegiatan tambahan." ujarnya kalem.
Mauryn-Ibunya memicingkan mata, sembari menelisik Zeuyein dari atas hingga bawah. Zeuyein berdecak, jengah dengan tindakan seperti ini.
"Ibu bisa tanya pihak sekolah."
Kaki itu berderap cepat, meninggalkan mereka yang menatap dalam diam. Aruna Raksha Dera atau kerap disapa Una, yang bernotaben Kakak perempuan gadis itu jadi berdeham kecil.
"Ibu jangan terlalu menekan Zeuyein. Dia bukan Una atau Dhiky yang kalau dibilangin ada bantahannya." kata gadis itu sembari menyandarkan punggung.
Dhiky yang disebut juga menganggukkan kepala setuju. Sebagai anak ke-dua di keluarga mereka, dan satu-satunya laki-laki dalam lingkar persaudaraan mereka, sudah jadi tanggung jawab Dhiky untuk menjaga dengan baik saudarinya. Bukan hanya kesejahteraan atau keamanannya saja, tetapi ketenangan hati dan ketentraman jiwa mereka, Dhiky merasa itu ikut dalam tanggung jawab hidupnya.
Ibu melirik, jadi menghembuskan nafas pelan, "karena mereka bukan kalian, jadi harus lebih ditekan. Atau dia berani membantah apa yang Ibu katakan."
•••