Aku mengerang. Entah sudah berapa jam aku terdiam di kamar dengan setumpuk buku tebal di hadapanku. Rasanya, buku-buku tebal itu sedang tertawa licik melihatku yang belum apa-apa saja sudah frustrasi seperti ini. Dan, jika aku sudi, aku ingin melahap bulat-bulat buku tersebut karena saat ini perutku sedang luar biasa lapar. Aku mulai membuka salah satu buku dan berusaha mencerna setiap kalimat yang tertera. Sekeras apa pun aku berusaha, hasilnya sama saja. Aku tetap tidak bisa memahaminya karena huruf-huruf di buku itu seolah bertebaran di mana-mana dan membuat kepalaku serasa mau pecah. Fixed, aku menyerah.
Terdorong rasa lapar, aku bergegas ke dapur. Aku berani taruhan, di meja makan sudah banyak sekali makanan terhidang. Lidahku sudah tergelitik ingin merasakan keju mozarella yang meleleh saat melahap ikan salmon saus keju yang menggugah selera. Dan dugaanku tepat. Mataku langsung berbinar-binar senang melihat ikan salmon kesukaanku terhidang manis di meja makan bersama menu makan siang yang lain. Dengan secepat kilat aku mengambil piring dan mulai mencecap saus mozarella yang menyelimuti tubuh salmon. Hmmm … lezat!
Tingkahku seperti orang yang tidak makan satu tahun. Namun, saat ini aku benar-benar lapar. Meski demikian, ucapan Ayah seminggu lalu tidak bisa kulupakan. Seakan terus berdengung di telingaku, terngiang di benakku, berputar-putar di otakku. Serasa lebih horor daripada film Annabelle yang sering kutonton.
“Kalau kamu bisa masuk tiga besar tahun ini, Ayah akan belikan tiket konser One Direction plus jalan-jalan ke London.” Begitu kata Ayah.
Ya ampun, siapa yang bisa menolak tawaran itu? Selama ini aku merengek mati-matian agar bisa mendapatkan tiket konser One Direction, tetapi Ayah selalu tak mau mengabulkan permintaanku. Sekarang, Ayah BERSEDIA menuruti kemauanku meskipun .… meskipun dengan satu syarat yang hampir mustahil dapat kupenuhi. Oh, ayolah! Kapan sih seorang Iris bisa menduduki peringkat tiga besar di kelas? Seumur-umur peringkat terbagus yang pernah kudapatkan cuma 15 besar. Dengan syarat macam itu, artinya sama saja Ayah tidak akan memberikan tiket konser itu padaku karena beliau tahu betul aku tak dapat memenuhi syarat yang diajukannya.
Awalnya aku sudah putus asa duluan. Namun, aku tidak bisa menolak begitu saja tawaran itu. Selama hampir seminggu aku mengalami insomnia karena memikirkannya. Akhirnya, aku putuskan untuk mencoba sekuat tenaga melakukannya. Ujian Kenaikan Kelas (UKK) masih satu setengah bulan lagi. Aku masih punya cukup waktu untuk belajar siang-malam. Keyakinanku agar bisa menduduki peringkat 3 besar mulai muncul. Namun, nyatanya tidak semudah yang kubayangkan.
Aku tersedak. Seharusnya aku tidak makan sambil melamun seperti ini. Apalagi melamunkan hal-hal yang bikin kepalaku pening. Aku buru-buru meraih segelas air dan meneguknya hingga habis. Setelah perut terisi, aku kembali ke kamar dan berkutat dengan buku-buku yang entah kapan bisa diajak kompromi. Sejak Ayah melayangkan tawaran (yang lebih pantas disebut kutukan) itu, hari Mingguku hanya diisi dengan belajar dan belajar.
Aku menghembuskan napas. Dengan perasaan berat, aku mulai membaca buku IPA. Seperti biasa, sekuat apa pun aku berusaha, tidak ada satu pun kata yang dapat kucerna maknanya. Kalau sudah melihat simbol-simbol asing di buku IPA, rasanya penglihatanku menjadi blur. Aku menyandarkan kepala di meja belajar. Sepertinya, kalau setiap hari begini, aku bisa mati karena belajar. Ternyata menjadi anak pintar memang tidak sesederhana seperti yang sering kulihat di televisi.
Mungkin saat ini, teman-temanku sedang asyik menikmati hari libur. Kecil kemungkinannya mereka mati kebosanan di rumah. Namun, kalaupun itu terjadi, masih jauh lebih baik daripada aku yang sekarang tengah tersiksa di antara buku-buku pengebom otak. Ujian Kenaikan Kelas tinggal sebulan lagi, aku tidak bisa seenaknya berleha.