Seminggu menuju hari H, aku kalang-kabut sendiri. Saking khawatirnya, aku jadi lebih ekstrem dalam belajar. Sepulang sekolah, bukannya makan siang dulu, aku langsung ambil posisi di meja belajar dan mulai membaca buku. Aku baru beranjak untuk makan siang jika perutku sudah melilit. Sembari makan, aku menghafalkan rumus dan tanggal-tanggal penting yang harus kuingat seperti, tanggal berapa Jepang masuk ke Indonesia, tahun berapa Budi Utomo berdiri, dan lainnya. Aku juga sudah menyiapkan berbagai alat tulis untuk ujian nanti. Tak tanggung-tanggung, aku membeli sekotak bolpoin dan pensil lengkap dengan tiga penghapus dan dua tip-ex.
Hari-hari terasa berlalu sedemikian cepat. Tak terasa hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu sekaligus hari yang paling kutakuti. Untunglah, pesan Bunda selalu sukses menghilangkan semua bebanku yang belum-belum sudah grogi menghadapi UKK. “Iris, kamu harus fokus pada soal-soalnya. Jangan pikirkan bagus dan jelek nilai yang akan kamu dapatkan nanti. Jangan pikirkan hadiah yang Ayah tawarkan. Pokoknya kamu harus fokus. Kunci mulut dan telinga. Biar otak dan hatimu saja yang bekerja. Selama kamu jujur dan berkonsentrasi, nilai yang kamu impikan bisa kamu dapatkan, mengerti?”
Aku mengikat tali sepatuku. Kugosok-gosokkan tanganku yang terasa membeku saking groginya. “Bunda, Iris berangkat sekolah dulu yaa! Doakan Iris bisa mengerjakan soal-soalnya dengan mudah ya!” Aku mencium tangan Bunda penuh hormat.
Bunda membelai kepalaku pelan, “Iris tidak perlu mengingatkan Bunda akan hal itu. Tanpa disuruh pun Bunda akan selalu mendoakan yang terbaik untuk Iris. Ingat ya, Iris, harus jujur dan konsentrasi!”
“Oke, Bunda, Iris berangkat dulu ya!” pamitku, sekali lagi.
“Hati-hati di jalan, Sayang.” Bunda melambaikan tangan.
***
Aku seperti orang yang menderita paranoid saat ini. Ketakutan luar biasa menjalar di sekujur tubuhku. Napasku seperti nyangkut di tenggorokan. Sebelumnya, aku tidak pernah setakut ini. Mungkin karena kali ini aku menjalani ujian dengan iming-iming dahsyat yang membuatku seketika ambisius dan takut gagal. Aku mencoba rileks. Yang kukejar di UKK bukan semata-mata tiket konser One Direction, tapi juga nilai dan peringkat bagus. Jangan sampai konsentrasimu hancur, Iris.
Ruangan tempatku ujian masih sepi. Aku melirik arloji. Masih pukul enam. Aku sengaja datang jauh lebih awal agar aku dapat belajar lagi di sekolah dengan tenang. Tak berselang lama, seorang cewek jangkung masuk dan duduk di belakangku. Dia Hana, temanku yang mencatat rekor selalu datang pagi. Namun, sepertinya kini rekornya berhasil kupecahkan.
Hana mendelik melihatku sudah nangkring di kursi dan sibuk membaca buku. “Iris?” Dia bertanya dengan nada penuh keheranan. “Ternyata kau bisa berangkat pagi juga, ya?”
Aku hanya mengangguk sekenanya karena sibuk mempelajari materi pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran inilah yang sering kusepelekan, tetapi begitu mengerjakan soal-soalnya, rasanya mau pingsan.
Dan, saat ujian pun tiba. Aku menangkupkan tangan, mengucapkan serangkaian doa agar aku diberi kemudahan mengerjakan soal-soal ujian Bahasa Indonesia. Lembar soal sudah dibagikan. Sekilas aku melihat soal-soal uraian, karena biasanya merupakan soal ujian yang paling sulit, walaupun hanya terdiri dari 5 pertanyaan. Benar saja. Ada satu soal yang membingungkan. Aku menyiapkan bolpoin dan tip-ex. Sekali lagi, aku berdoa membaca basmalah.
“Kerjakan soalnya secara teliti. Tidak ada kerja sama dalam ujian. Jangan berisik.” Kalimat yang selalu diucapkan oleh bapak-ibu pengawas ujian terdengar klasik di telingaku. Kalimat itu sudah kuhafal di luar kepala.
Waktu 90 menit kupergunakan sebaik-baiknya. Pada menit-menit pertama, soal-soal bisa kukerjakan dengan baik. Sampai akhirnya pada menit 30, mulai banyak soal yang menjebak yang membuatku harus berpikir lebih keras. Dan 30 menit sebelum ujian Bahasa Indonesia berakhir, mulai banyak lirikan-lirikan licik yang haus contekan. Saat sang pengawas pergi ke toilet untuk beberapa saat, hampir seisi ruangan beraksi. Suasana jadi berisik oleh kasak-kusuk mereka dan hal itu cukup mengganggu konsentrasiku. Dulu, aku juga bagian dari mereka—para penyontek. Namun kali ini, akan kuturuti semua nasihat Bunda. Ketika sang pengawas masuk, dalam sekejap ruangan kembali hening seolah tidak ada apa pun yang terjadi sebelumnya.