Ini hari ketiga sejak kegagalan itu dan aku tetap ngambek. Aku sudah keluar dari kamar karena tidak mungkin aku mengurung diri terlalu lama di kamar atau aku akan mati kelaparan. Meskipun begitu, aku tidak mau berbicara dengan siapa pun. Kupikir liburanku kali ini akan sangat membosankan. Fyuuuh!
Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu yang cukup keras membuatku terperanjat kaget. Aku melepas earphone yang sejak tadi menyenandungkan lagu-lagu One Direction. Aku beranjak membuka pintu dan segera kulihat Ayah berdiri di depanku. Aku memandang Ayah dengan tatapan-ada-apa-Ayah-Iris-sedang-tidak-mau-diganggu.
“Sangat tidak baik kamu ngambek seperti itu, Iris.” Belum apa-apa, Ayah langsung to the point menasihatiku. “Seharusnya kamu bisa bersikap lebih dewasa. Kamu sudah berulang kali gagal dan tidak pernah semarah ini. Kamu hanya menginginkan tiket konsernya saja, kan?”
“Maafkan aku, Ayah. Tapi, aku benar-benar kecewa tidak bisa menonton konser One Direction tahun ini,” ucapku jujur. Entah kenapa, setelah berkata seperti itu perasaanku jadi sedikit lega.
“Ayah tahu, Iris. Tapi, ya sudahlah. Bulan kemarin Ayah kan sudah membelikanmu album terbaru One Direction.” Ayah melayangkan senyum yang membuat hatiku hangat. “Setelah Ayah pikir-pikir, sepertinya Ayah bisa mengajakmu liburan.”
“Ke London?” Aku sudah keburu senang duluan.
“Tidak, tidak ke London. Kita akan ke Belanda. Hitung-hitung, sekalian kamu bisa mencatat serba-serbi tentang Belanda untuk makalah Geografimu. Pasti akan lebih bagus daripada hanya mencari bahan melalui internet karena kamu bisa berada di sana secara langsung,” ujar Ayah.
Seperti biasa, aku langsung hilang semangat kalau sudah membahas tugas pelajaran Geografi. “Kenapa harus ke Belanda? Kenapa tidak ke Inggris saja? Kan sama-sama di Benua Eropa, Yah,” protesku.
Ayah menggoyang-goyangkan jari telunjuknya, “No, no, no! Gagal tetaplah gagal. Kita ke Eropa bukan untuk nonton konser! Tapi, untuk belajar tentang seluk-beluk negaranya biar liburanmu kali ini bisa lebih bermanfaat sedikit, Iris. Lagi pula, mumpung Ayah punya tiket gratis ke Belanda bareng keluarga dan punya uang lebih karena menjual tiket ke Inggris dan tiket konser!”
Aku seperti tersedak sebongkah es batu. “Uuuh, Ayah! Kenapa mesti dijual sih tiketnya!” sungutku. “Eh, tapi Ayah dapat dari mana tiket gratisnya? Beruntung sekali!”
“Bos Ayah yang sangat kaya itu memberikan hadiah untuk setiap bawahannya dalam rangka ulang tahun perusahaan. Hebatnya, hadiahnya itu luar biasa. Nah, sekarang lebih baik kamu menyiapkan barang-barangmu karena kita akan berangkat beberapa hari lagi,” suruh Ayah, sambil berlalu untuk makan siang.
Aku melongo. Mendadak betul, ya. Wuah, kalau begitu aku harus segera menyiapkan segalanya.