Aimi menatap kamar yang sudah lebih dari dua minggu ini ditinggalkannya. Semua tampak sama. Meja belajar masih di tempatnya, buku-bukunya tetap tertata rapi. Hanya perasaannya yang berubah. Dulu, terakhir kali Aimi meninggalkan kamarnya, hatinya amat gembira. Kini, dia sangat sedih.
“Aimi,” sapa Mama sambil berjalan mendekat. “Mama sangat bahagia sekali karena kamu sudah boleh keluar dari rumah sakit. Kamu juga senang, kan bisa berada di rumah lagi?”
Aimi hanya melengos. Dia memang senang bisa kembali ke rumah, tetapi dia juga sedih. Harusnya Mama tahu, dia sedang bersedih. Namun, sepertinya Mama sama sekali tidak peduli. Karena bukan Mama yang terluka, melainkan dirinya.
Sya ... la ... la ... sya ... la ... la ....
Mendadak hapenya berbunyi. Buru-buru Aimi meraihnya. Saat dia menatap layarnya, tampak tertulis nama Erica, sahabatnya. Sudah lumayan lama juga mereka tidak bertemu. Sejak Aimi masuk rumah sakit dua minggu yang lalu.
“Hai, Erica! Apa kabar?” sapa Aimi senang.
“Aimi! Kamu di mana?” seru Erica tak kalah riang.
“Aku udah di rumah. Aku baru aja pulang dari rumah sakit.”
“Syukurlah kalau kamu udah pulang. Maaf, ya, selama kamu sakit aku enggak bisa nengokin kamu. Aku juga enggak bisa jemput kamu.”
“Enggak apa-apa, kok. Aku tahu kamu pasti sibuk. Banyak PR sama tugas sekolah, ya?” tanya Aimi ingin tahu. Dia sudah ketinggalan banyak pelajaran sekolahnya.
“Ya, kalau PR sama tugas, sih udah biasa. Aku sibuknya bukan karena itu.”
“Jadi?”
“Aku sibuk latihan. Aku, kan ikut audisi penyanyi idola yang tadinya kamu mau ikut itu.”
“Apa?” teriak Aimi terdengar kaget. “Kamu ikut audisi?”
“Iya. Dan, coba tebak gimana hasilnya?” ujar Erica berteka-teki.
“Memang gimana hasilnya?” tanya Aimi tak sabar.
“Aku terpilih, Aimi! Aku terpilih!”
Tangan Aimi yang tengah memegang hape langsung gemetar. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Erica juga ikut audisi yang seharusnya dia ikuti. Aimi tidak bisa berkata apa-apa.
“Aimi! Kamu masih di situ, kan?” tanya Erica saat tidak mendengar suara sahabatnya.
“I ... iya, masih,” balas Aimi dengan suara parau. “Maaf, ya, Erica. Kepalaku tiba-tiba sakit. Aku mau tidur dulu.”
“Oke, deh. Enggak apa-apa, kok. Lain kali aja kita cerita-cerita. Lagian, sebentar lagi aku harus pergi latihan. Soalnya, bulan depan aku akan mengeluarkan album.”
Tanpa menjawab, Aimi langsung mematikan hapenya. Mendadak tangisnya pecah.
“Aimi,” kata Mama yang sejak tadi ikut mendengarkan. “Ada apa?”
Aimi mendongak. “Aku benci Mama! Aku benciii ...!” teriaknya marah.
“Kenapa, Sayang?” tanya Mama tak mengerti.
“Kalau saja aku enggak kecelakaan, pasti aku yang terpilih jadi penyanyi idola. Gara-gara aku terluka, Erica yang akhirnya terpilih. Dan, semua ini gara-gara Mama! Aku benci Mama! Aku benciii!”
Mama hanya bisa berdiri sambil menatap Aimi dengan pandangan bersalah.
***
Malam semakin larut, tetapi sejak siang Aimi belum beranjak dari kamarnya. Kabar dari Erica membuatnya begitu sedih.
“Aimi, sejak pulang dari rumah sakit kamu belum makan. Kita makan dulu ya, Sayang.” Suara Mama tiba-tiba mengejutkannya.