Rumah Nenek adalah sebuah rumah tradisional Jepang yang sangat indah. Untuk masuk ke dalam rumah, mereka harus melewati sebuah pintu pagar yang terbuat dari kayu. Aimi sudah agak lupa rumah nenek dan kakeknya. Dia meninggalkan Jepang bersama mamanya yang asli Jepang, dan papanya yang berasal dari Indonesia, saat masih berusia lima tahun. Sejak itu, dia belum pernah mengunjungi kakek dan neneknya karena kesibukan kedua orangtuanya. Namun, tiap setahun sekali Kakek dan Nenek datang untuk menengoknya.
Halaman rumah nenek dan kakeknya penuh dengan pepohonan hijau. Di bagian samping, terdapat sebuah taman dengan kolam ikan yang tidak terlalu lebar. Seperti kebiasaan di rumah-rumah Jepang lainnya, Aimi harus melepas alas kakinya sebelum masuk rumah. Hampir seluruh rumah dialasi dengan tatami atau tikar khas Jepang. Bagian dalam ruangannya, tak berperabot. Barang-barang yang ada disimpan dalam oshiree saat tidak digunakan. Oshiree adalah lemari yang menempel di dinding.
“Irasshaimase!” sambut Nenek dan Kakek sambil membukakan pintu depan rumah mereka.
Aimi mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. “Waaah ... aku udah lupa rumah Kakek dan Nenek.”
“Tentu saja. Kamu, kan masih kecil waktu pindah ke Indonesia.” Nenek tampak maklum. “Oh, ya, habis ini Nenek mau ke restoran sebentar.”
“Sekarang?” seru Aimi kaget. “Kita, kan baru sampai. Memangnya Nenek enggak capek?”
Nenek tersenyum, lalu menggeleng. “Nenek sudah terlalu lama meninggalkan restoran. Nenek ingin menengoknya sebentar.”
Nenek dan kakek Aimi memiliki sebuah restoran di pusat kota yang menjual makanan khas Jepang bernama gyudon.
“Aku boleh ikut enggak, Nek?”
“Kamu, kan baru datang. Kamu juga baru sembuh dari sakit. Sebaiknya kamu istirahat saja di rumah bersama Kakek,” usul Nenek.
“Tapi, aku ingin lihat restoran Nenek. Boleh, ya, aku ikut?” bujuk Aimi.
“Baiklah. Nah, sebaiknya sekarang kamu mandi dulu. Setelah itu, baru kita bersama-sama ke restoran.”
Restoran milik Kakek dan Nenek terletak di tengah kota. Untuk ke sana, mereka harus naik kereta. Kereta di Jepang sangat berbeda dengan kereta di Indonesia. Aimi tidak perlu berdesak-desakan dan berebut saat naik. Aimi bisa duduk nyaman di samping neneknya.
Setelah berjalan kaki 10 menit, keduanya sampai di depan sebuah restoran yang seluruh bagian depannya terbuat dari kaca. Jadi, siapa pun yang lewat bisa langsung menatap bagian dalamnya. Aimi melihat pengunjung restoran tampak asyik menikmati seporsi gyudon, yaitu hidangan dari daging sapi yang disajikan bersama nasi. Saat memasak gyudon ini, beberapa bumbu sebagai pelezat, seperti jahe, shoyu, mirin, ikut ditambahkan. Dan, rasanya tentu saja sangat lezat. Itu sebabnya, restoran Nenek tidak pernah sepi. Terutama saat jam makan tiba.
Begitu juga siang itu. Dari kejauhan, Aimi sudah melihat banyak orang tampak keluar-masuk melalui pintu kaca.
“Nek, aku ingin di sini dulu, boleh?” tanya Aimi saat Nenek mengajaknya masuk melalui pintu belakang restoran.
Dulu, saat Aimi masih kecil dia belajar Matematika dengan menghitung orang-orang yang keluar masuk restoran neneknya. Setiap kali hitungannya benar, Kakek akan memberinya hadiah seporsi gyudon. Aimi sangat menyukainya. Gyudon buatan Kakek sudah terkenal kelezatannya.
“Kamu mau menghitung pengunjung restoran Nenek, ya?” rupanya Nenek juga masih ingat dengan kebiasaan lama Aimi tersebut.
Aimi tertawa. “Waaah ... Nenek masih ingat, ya.”
“Tentu saja ingat. Siapa yang bisa lupa.” Nenek ikut tertawa. “Ya, udah. Kalau gitu nenek tinggal, ya.”
Sepeninggal neneknya, Aimi menatap ke arah restoran. Dari tempat dia berdiri, Aimi melihat ada beberapa pelayan yang berjalan mondar-mandir. Mereka tampak sibuk. Mendadak Aimi melihat ada seorang anak di antara pelayan dewasa. Anak itu tengah membersihkan meja dan mengangkat bekas makan para pelanggan. Aimi memandangnya tanpa berkedip. Rupanya, Nenek punya pelayan yang masih anak-anak.
Tiba-tiba, anak tersebut menoleh. Seketika itu, wajah Aimi langsung memerah. Mungkin anak itu merasa kalau sedang diperhatikan. Kemudian, tahu-tahu anak itu berjalan keluar dan menghampiri Aimi.
“Apa yang kamu lakukan di sini!” hardik anak tersebut dengan ketus. “Kenapa kamu ngeliatin aku terus!”
“Eh, itu ... aku ... aku ....”