Hollowpox: Nevermoor #3

Noura Publishing
Chapter #3

Bab 1: Unit 919 - Musim Dingin Tahun Dua

PADA DAUN PINTU HITAM mengilap di dalam lemari terang ben­derang, lingkaran mungil bercahaya emas berdenyut-denyut, sedang­kan di pusatnya berpendarlah W kecil.

Masuklah, lambang itu seolah berkata seiring tiap degup lembut. Cepat!

Morrigan Crow selesai mengancingkan kemeja putih yang dikanji sampai kaku, lalu mengenakan mantel hitam dan dengan hati-hati memasang pin W emas di kerah mantel. Akhirnya, dia menempelkan ujung jari ke lingkaran berdenyar dan, seakan dia baru saja memutar kunci, terbukalah pintu hingga menampakkan sebuah stasiun kereta api lengang.

Saat-saat hening nan tenteram seperti ini merupakan momen fa­vorit Morrigan tiap hari. Hampir tiap pagi dia datang paling awal di Stasiun 919. Dia gemar memejamkan mata barang beberapa detik, memasang telinga untuk menangkap gemuruh kereta dari terowongan Wunderground di kejauhan. Seperti naga mekanis yang bangun dari tidur. Siap membawa jutaan orang ke sepenjuru Kota Nevermoor melalui jejaring rel kompleks.

Morrigan tersenyum dan menarik napas dalam-dalam.

Hari terakhir semester musim gugur.

Dia berhasil.

Rekan seunitnya mulai berdatangan, membuyarkan kedamaian dan keheningan saat kedelapan pintu tersisa di peron dibanting hingga terbuka—mulai dari pintu merah elok Mahir Ibrahim di ujung hingga pintu kecil berpelengkung dari kayu tak bevernis milik Anah Kahlo di ujung satunya lagi—dan celoteh lantas memenuhi stasiun.

Hawthorne Swift, sahabat Morrigan, tiba dalam penampilannya yang biasa di pagi hari—sempoyongan karena keberatan perlengkapan menunggang naga, kemeja abu-abu tidak terkancing rapi, rambut co­kelat ikal yang belum disisir mencuat ke sana kemari, mata biru ber­binar-binar entah karena baru memimpikan atau melakukan aksi jail (Morrigan tidak ingin tahu yang mana). Archan Tate—yang selalu bertindak-tanduk dan berbusana tak bercela—tanpa sepatah kata pun mengambil setengah perlengkapan Hawthorne untuk dia bawakan dan mengedikkan kepala sekilas saja ke baju Hawthorne yang terkan­cing asal.

Cadence Blackburn datang terakhir pagi ini. Dia berlari ke peron saat waktu tersisa tinggal beberapa detik—kepang rambut hitam te­balnya melecut-lecut ke belakang, tungkai cokelatnya yang semampai mengayunkan langkah panjang-panjang—dan sampai tepat saat ger­bong tunggal yang agak penyok muncul dalam pandangan, menge­pul­kan uap putih. Simbol W yang familier dan angka 919 menghiasi sisi gerbong, sedangkan tubuh kondektur mereka, Miss Cheery, meng­ge­la­yut sebagian dari pintu.

Ini adalah Hometrain, moda transportasi dan “rumah di luar ru­mah” khusus untuk mereka, unit ke-919 Wundrous Society. Di dalam gerbong, tersedia jok-jok empuk, sofa lama berbonggol-bonggol, tum­puk­an bantal duduk, tungku kayu bakar yang selalu menyala pada mu­sim dingin, dan stoples biskuit keramik berbentuk beruang kutub yang jarang kosong. Hometrain merupakan salah satu tempat favorit Morri­gan dan tempat ternyaman di dunia.

“Pagiii!” teriak sang kondektur sambil menyeringai lebar dan me­lam­bai-lambaikan kertas kepada mereka. “Selamat menjalani hari ter­akhir di semester ini, wahai Cendekiawan!”

Miss Cheery mengemban peran yang menarik sebagai “kondektur” resmi Unit 919—operator transportasi merangkap guru bimbingan dan konseling. Dia hadir untuk memuluskan langkah mereka sepanjang lima tahun pertama perjalanan mereka sebagai anggota organisasi Nevermoor yang paling elite dan menantang. Wundrous Society ber­anggotakan orang-orang luar biasa yang berbakat luar biasa, tetapi sebagian besar dari mereka terlalu sibuk mengerjakan misi luar biasa masing-masing sehingga tidak sempat memperhatikan para rekrut ter­muda. Tanpa kondektur mereka, Unit 919 niscaya kelimpungan.

Miss Cheery merupakan satu-satunya kenalan Morrigan yang nama dan sifatnya sejalan: dia cerah ceria. Dia memancarkan aura bak linen harum yang baru dicuci, kicau burung saat senja, roti yang dipanggang sempurna. Bajunya warna-warni seperti pelangi dan pos­tur­nya tegak, kulitnya cokelat tua dan senyumnya lebar, dan ketika cahaya memancar laksana halo ke seputar rambut hitam keritingnya, Morrigan merasa dia bagaikan malaikat..., tetapi tentu saja Morrigan tidak akan pernah mengucapkan pemikiran gombal semacam itu keras-keras.

Sebagai orang dewasa yang ditunjuk sebagai penanggung jawab mereka, mungkin Miss Cheery seharusnya lebih menjaga wibawa. Na­mun, anak-anak 919 menyukai Miss Cheery apa adanya.

“Hari terakhir! Hari terakhi! Hari terakhir!” Miss Cheery berse­nandung, menendangkan kaki ke luar pintu bahkan sebelum kereta berhenti.

Anah berteriak dengan suara waswas, “Miss Cheery, BAHAYA!”

Miss Cheery malah menanggapi dengan ekspresi ngeri kocak yang dibuat-buat dan mengayun-ayunkan lengan seperti hendak jatuh—kemudian jatuh betulan ke peron ketika kereta mendadak berhenti.

“Aku tidak apa-apa!” kata Miss Cheery, melompat berdiri untuk membungkuk kepada hadirin.

Yang lain tertawa dan bertepuk tangan, tetapi Anah memelototi mereka satu-satu, mukanya merah padam, rambut pirangnya yang keriwil berayun-ayun dramatis. “Oh, betul, lucu sekali. Tapi, siapa yang harus menghentikan perdarahan kalau Miss Cheery jatuh ke rel dan tibianya patah dua? Taruhan, pasti tak seorang pun di antara kalian tahu caranya membidai kaki.”

“Karena itulah kami membutuhkanmu, Anah.” Archan tersenyum kepada gadis itu, lesung muncul di pipinya yang pucat, dan dia mem­bungkuk untuk membantu mengumpulkan kertas-kertas Miss Cheery yang terserak dengan tangannya yang bebas.

“Iya, Dr. Kahlo,” imbuh Thaddea Macleod yang berotot sambil menyikut Anah dan nyaris menggulingkannya. (Thaddea melakukannya dengan lembut, tetapi dia terkadang lupa bahwa dia jauh lebih kuat daripada orang kebanyakan.)

Anah menegakkan diri sambil merengut, tetapi hati gadis itu sepertinya melunak karena Thaddea menggunakan kata “dokter”.

“Miss, apa—” Archan memandangi salah satu lembar kertas de­ngan dahi mengernyit karena bingung. “Apa ini jadwal baru?”

“Makasih, Arch. Tolong dioperkan, ya?” timpal sang kondektur sembari melambai supaya Unit 919 segera masuk kereta. “Ayo naik, Anak-Anak, atau bisa-bisa kita terlambat. Francis, tolong didihkan air di poci. Lam, operkan stoples biskuit.”

Hawthorne melirik Miss Cheery kebingungan saat wanita itu menyerahkan jadwalnya. Ini hari terakhir semester dan mereka biasanya hanya mendapat jadwal baru sekali seminggu. “Anda sudah memberi kami jadwal Senin lalu, Miss. Ingat?”

Hawthorne menjatuhkan diri ke jok sementara Morrigan duduk di sofa, di antara Cadence dan Lambeth, untuk menelaah jadwalnya sendiri. Berdasarkan pengamatannya, jadwal itu identik dengan yang dia terima di awal pekan: ada lokakarya Dialek Tak Mati pada hari Selasa dan pelajaran Mengobservasi Gerakan Planet dari pakarnya pada hari Rabu, yang dilanjutkan dengan pelajaran Memupuk dan Menangani Informan di sayap spionase di lantai Bawah Tanah Lima (ini adalah pelajaran favorit Morrigan dalam seminggu itu—dia ter­nyata lumayan piawai perihal tetek bengek mata-mata).

“Iya, aku ingat,” kata Miss Cheery. “Sekalipun pada umurku yang 21 tahun ini aku dianggap sudah berusia lanjut, Hawthorne, otakku yang uzur masih bisa merambah gudang memorinya yang seabrek un­tuk mengingat kejadian silam empat hari lalu.” Dia tersenyum sambil mengangkat alis. “Ini jadwal baru. Tolong perhatikan pembaruan pada jadwal hari ini.”

Morrigan langsung menengok ke kolom Jumat dan, begitu me­lihat perbedaannya, bertanya, “P&P itu apa?”

“Aku juga dapat itu,” kata Hawthorne. “P&P, Lantai Bawah Ta­nah Dua. Pelajaran terakhir hari ini.”

Mahir angkat tangan. “Aku juga!”

Terdengar kasak-kusuk sementara para cendekiawan memban­dingkan jadwal dan ternyata mereka semua mendapat pelajaran yang satu itu. Jadwal mereka sebagian besar berbeda—disusun oleh Miss Cheery untuk mengembangkan bakat unik dan mengatasi kelemahan mereka masing-masing—dan sudah beberapa bulan Unit 919 tidak mengikuti pelajaran bersama-sama sebagai satu kelompok.

“Miss, P&P ini singkatan apa?” tanya Francis Fitzwilliam, kede­ngarannya agak khawatir. Mata cokelatnya membelalak. “Apa Bibi Hester tahu? Katanya, perubahan apa pun di jadwalku harus beliau setujui terlebih dahulu.”

Morrigan mengangkat alis sambil melirik Hawthorne, yang balas menatapnya sambil merengut. Keluarga Francis sudah bergenerasi-generasi menjadi anggota Wundrous Society, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu—keluarga Fitzwilliam yang tenar dan keluarga Akinfenwa yang terpandang. Pengayomnya—anggota Society yang menominasikannya menjadi anggota dan alhasil berkepentingan untuk memastikan agar dia dididik dengan baik—adalah bibi dari keluarga ayahnya, Hester Fitzwilliam. Wanita itu sangat tegas dan, menurut Morrigan, agak resek.

“Katanya, aku tidak boleh melakukan apa pun yang memba­hayakan indra olfaktoriku,” lanjut Francis.

“Indah apa tari?” tanya Thaddea.

Lihat selengkapnya