Goyangan dari bus membangunkan kesadaran Ameta dan yang dia rasakan untuk pertama kali adalah; pusing luar biasa. Perlahan, gadis itu membuka mata, samar-samar dia menjelajahi sekitar, di sinilah dia berada, di sebuah bus yang Ac-nya tidak terlalu dingin bersama dengan kesembilan teman-temannya yang terpilih untuk belajar di Home school.
Ameta memijat kepalanya. Berusaha mengingat apa yang sebelumnya terjadi dan bertanya-tanya, mengapa dia dan teman-temannya tiba-tiba berada di dalam bus?
Ingatan malam penyambutan terlintas di kepalanya. Refleks, kesadaran gadis itu sepenuhnya kembali. Dia menatap seorang gadis yang duduk di sebelahnya dan masih belum sadarkan diri. Dia Alin.
Ameta panik. Dia berdiri, memastikan bahwa semua hanyalah mimpi. Dia menjelajahi sekitar dan menemukan seluruh teman-temannya masih tak sadarkan diri. Dia menatap keluar jendela, hari sudah terang dan tidak ada pemandangan apa pun selain pohon-pohon besar yang saling berimpitan.
Dia masih bingung, apa yang sebenarnya terjadi?
Ameta yang kebetulan duduk di barisan depan—tepat di belakang sopir bus—dia berpaling menatap sopir yang ternyata sekaligus pelayan pemberi biskuit cokelat pada malam penyambutan kemarin.
“Kami mau di bawa ke mana?”
Sang sopir menatap Ameta lewat kaca spion tengah dengan sorot mata dingin. “Home school.”
Ameta kembali menatap teman-temannya dan kembali bertanya. “Lalu, kenapa kami dibius?”
Sopir bus itu hanya melirik Ameta sekilas lewat spion tengah dengan senyuman misterius dan kembali fokus menyetir.
Sementara Ameta kembali menatap Alin. Refleks kedua tangannya menggoyangkan tubuh Alin, membangunkan gadis itu. “Alin, bangun, Lin. Bangun, Alin!”
Perlahan, kedua kelopak mata Alin terbuka, gadis itu mengernyit memegang pelipisnya yang terasa pusing. “Aduuuhh.” Alin meringis, kembali memejamkan mata dan memijat kepalanya. Kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul.
Sedangkan Ameta bangkit dari duduknya, tergesa-gesa berjalan menelusuri bus hingga ujung badan bus sembari berteriak. “Teman-teman, bangun! Teman-teman!” Gadis itu memukul-mukul sandaran kursi teman-temannya.
Ameta berdecak. Dia geram juga pada teman-temannya yang enggan terbangun. Gadis itu menarik napas panjang, sebelum akhirnya berteriak. “TEMAN-TEMAN BANGUUUUNNN!”
***
Sementara di halaman sebuah rumah besar nan megah dengan dua lantai dominan bercat putih dan hitam, di dekat air mancur yang terlihat sangat indah, sudah ada dua orang berdiri di sana untuk menyambut kedatangan para siswa-siswi. Master Jason dan Ms. Naomi.
Mereka berdua tersenyum tipis ketika melihat seluruh siswa-siswi turun dari bus dan berjalan menghampiri Master Jason dan Ms. Naomi. Kesepuluh siswa-siswi masih memegang kepalanya, terasa amat pusing dan tidak mengerti, mengapa bisa jadi begini?
“Hei ... tempat ini di mana? Mengapa kami di bawa sampai sejauh ini?” Kalimat pertama yang lolos dari bibir Yugo penuh dengan emosi. Dia bergegas menghampiri Master Jason dan Ms. Naomi. Berdiri tepat di hadapannya, diikuti teman-temannya yang lain.
Mereka membutuhkan penjelasan. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Kalian berada di home school ....”
Seluruh siswa-siswi menghembuskan napas jengah ketika mendengar jawaban dari Master Jason.
“Mulai hari ini, tempat ini adalah rumah kalian,” ucap Master Jason lagi dan refleks seluruh siswa-siswi mengernyitkan dahi tidak mengerti.
“Hah? Apa yang Anda bicarakan?” tanya Evelyn penuh emosi, berkacak pinggang, berdiri angkuh menatap tajam Master Jason.
“Ini penculikan!” bentak Mikayla, mengentakkan kakinya.
“Benar. Ini ilegal!” timpal Vicko tak terima.
“Bawa kami kembali pulang sekarang!” timpal Doni dengan suara naik oktaf.
“Jaga perkataan kalian! Jangan meninggikan suara kalian pada Master Jason!” bentak Ms. Naomi dengan tatapan super tajam, menatap satu per satu siswa-siswi, terutama yang memberontak tak terima.
Mereka semua menggeleng, tidak habis pikir. Bahkan mereka sama sekali tidak mengerti, mengapa harus dibius untuk sampai di tempat ini? Dan mereka sama sekali tidak tahu kalau pembelajaran harus sepenuhnya tinggal di sebuah rumah terpencil di tengah-tengah hutan lebat dan jauh dari kehidupan.
“Tapi kalian mengapa membius kami?” tanya Ameta masih dengan pertanyaan yang sama.
“Semua yang sedang kalian hadapi sekarang, adalah bagian dari pembelajaran Home school. Semua orang tua kalian sudah mengetahuinya dan setuju dengan segala peraturan yang ada di Home school. Mereka mengizinkan Home school untuk mengurus kalian.”
“Pembelajaran apa?” sela Alin, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Memangnya sesi pembelajaran akademik sudah dimulai? Kami semua belum menyiapkan apa pun dan kami tidak membawa pakaian—”
“Jangan khawatir—” sela Master Jason memotong perkataan Alin. “Orang tua kalian sudah menyiapkan segalanya untuk kalian.”
“Tapi kami tidak setuju!” sela Vicko memotong. “Bukankah ini melenceng dari peraturan sekolah biasanya?”
“Jika Master Jason tidak bertanya, kalian tidak punya hak untuk bicara!” sela Ms. Naomi. “Sekarang kalian semua adalah siswa-siswi Home school—”
“Saya tidak mau!” sela Yugo membentak. Laki-laki itu melangkah mendekat pada Master Jason dan Ms. Naomi. “Saya tidak mau tinggal di sini!” Yugo berpaling menatap Doni dan Vicko, menganggukkan kepala, sebagai isyarat ajakan kabur bersama.
Tidak perlu penjelasan, Vicko dan Doni mengangguk setuju. Sementara Vicky berusaha menahan tangan Vicko supaya tidak pergi.
“Apa?!” bentak Vicko dan menghempaskan tangannya dari cengkeraman Vicky. “Kau mau tinggal di sini? Silakan! Aku mau pulang!”
“Tunggu dulu—” belum juga Vicky selesai bicara, Vicko sudah melangkah pergi bersama Doni dan Yugo.