HOME SCHOOL

Anonim people
Chapter #4

03. TANGGUNG JAWAB

Apa yang terlintas dalam benakmu ketika kamu mendengar kata Larangan?

Bukankah definisi Larangan adalah bagian dari kaidah aturan yang mengharamkan individu melakukan tindakan-tindakan tertentu? Atau justru bagi kamu, Larangan adalah Perintah?

Namun, sepertinya opsi kedua cocok disematkan untuk empat anak yang memilih kabur dari Home school; Yugo, Doni, Evelyn dan Mikayla. Mereka menganggap perkataan Master Jason tidak penting untuk dihiraukan, justru mereka mengambil kesempatan untuk melarikan diri ketika waktu istirahat.

“Bajingan tua itu dia pikir dia siapa?” cecar Yugo saat langkah kakinya berhenti tepat di depan gerbang.

“Sampai kapan pun, aku tidak mau tinggal di sini!” sahut Doni, berkacak pinggang dan menatap temannya satu per satu.

“Iya, aku tidak tahan dikurung di sini,” ucap Evelyn, melipatkan kedua tangannya di depan dada dan celingak-celinguk menatap sekitar. Memastikan situasi aman tanpa ada penjaga atau guru mereka yang melihat.

“Lalu kita harus apa?” tanya Mikayla.

“Kaburlah!” jawab Doni. “Kau tidak pernah bolos kelas, ya?”

Mikayla mencibir.

“Lagi pula, di luar pagar hanya ada hutan, kan? Tidak jadi masalah,” ucap Evelyn. “Jangan mengulur banyak waktu! Cepat! Sebelum ada yang melihat kita!”

Yugo yang berdiri paling depan dekat gerbang, bergegas membuka rantai yang membelit kedua gerbang tanpa kunci atau gembok. Sampai akhirnya tidak butuh waktu lama, gerbang terbuka dan mereka berhasil keluar dari kawasan Home school dan memasuki hutan ... terlarang.

Namun, tanpa mereka sadari, sensor kamera pengintai berkedip-kedip mengikuti pergerakan mereka.

***

Suara cicit burung bersenandung indah, diiringi dengan suara aliran sungai yang menyejukkan. Karbon dioksida seolah diserap habis oleh pohon-pohon lebat yang berdiri kokoh saling berimpitan di area hutan dan tidak mengizinkan polusi merusaknya. Oksigen terasa sangat segar hingga memanjakan paru-paru untuk terus bernapas.

“Kita cukup beruntung, ya? Punya udara segar dan terbuka seperti ini untuk bernapas,” ucap Ameta.

Berbeda dengan keempat temannya yang memilih kabur, Ameta, Vicko dan Bayu memilih untuk mengitari halaman Home school yang begitu sangat luas. Di sana, ada aliran sungai dan batu-batu besar. Di seberang Sungai, terlihat pagar kayu menjulang tinggi lengkap dengan kawat berduri sebagai pembatas antara hutan dan Home school.

“Siapa namamu?” tanya Vicko.

“Namaku Ameta, kalian bisa panggil aku Meta.” Gadis itu tersenyum sumir, menatap Vicko dan Bayu bergantian yang berdiri tepat di sebelah kiri dan kanannya.

Vicko mengangguk-angguk. “Kalau aku—”

“Vicko ...,” sela Ameta. “Ya, aku sudah tahu.”

Vicko menarik ujung bibirnya. “Kalau kamu siapa?” tanyanya pada Bayu.

Bayu yang sedari tadi menunduk, refleks mengangkat wajahnya. Menatap Vicko dan Ameta. Dengan grogi, dia menjawab. “N—namaku Bayu.” Laki-laki itu kembali menundukkan kepala, jari-jemarinya meremas sapu tangan.

Ameta menyunggingkan senyum. “Senang berkenalan denganmu.”

Bayu mengangguk samar, tertarik senyuman simpul di bibirnya.

Vicko menghela napas, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. “Aku sebenarnya jalan-jalan sekarang, bukan ingin menikmati udara segar. Tapi ingin mencari jalan keluar,” Vicko berpaling menatap Ameta dan Bayu. “Apa kalian tidak ingin pulang?”

“A—aku ingin pulang. Aku rindu Mama,” sahut Bayu yang masih tetap menunduk.

“Vicko, maaf jika lancang aku bertanya soal ini, tapi bukankah Vicky saudara kembarmu?” tanya Ameta berhati-hati.

Vicko menghela napas, berpaling ke arah lain dan mengangguk. “Iya. Kami saudara kembar. Tapi kami tidak akur.”

“Lalu, kenapa kamu dan Vicky ingin belajar di sini?”

“Awalnya yang dikirim untuk belajar di Home school itu hanya aku, Vicky tidak. Karena dia cukup pintar dalam akademik, berbanding terbalik denganku. Tapi, entah kenapa dia ingin ikut aku untuk belajar ke sini.” Vicko mencibir, mengangkat kedua bahu.

“Mungkin ... Vicky tidak mau jauh darimu,” sahut Bayu.

Vicko tertawa sarkas dan berpaling menatap Bayu. “Kalian sendiri, kenapa ingin belajar di sini?”

“K—kalau aku dikirim Papa untuk belajar di sini,” jawab Bayu. “Aku dan Mama tidak bisa membantah.”

“Aku pun begitu, dikirim Papa.” Ameta menghela napas dan menunduk, kedua tangannya di belakang punggung, dan kedua kakinya bergantian menendang kecil beberapa batu kerikil.

Vicko mengangguk-angguk. “Kita sama-sama dikirim ke sini tanpa alasan yang jelas. Tempat aneh. Peraturan-peraturan yang tidak masuk akal. Tidak ada pembelajaran sekolah di luar sana yang melibatkan siswa-siswinya dibius.”

“Tapi ... menurutku yang aneh itu keluarga kita,” sahut Ameta, menatap Bayu dan Vicko bergantian. “Mereka tahu apa yang akan kita hadapi di sini, tapi mereka berusaha untuk bisa lulus ujian agar kita bisa belajar di sini.”

Perkataan Ameta berhasil membuat Vicko dan Bayu terdiam, mereka saling menatap satu sama lain. Apa yang dikatakan Ameta memang benar. Tanpa alasan yang jelas, mereka dipaksa masuk ke dalam jebakan penjara. Apa yang sebenarnya terjadi, dan apa tujuannya?

Tiba-tiba terdengar suara lonceng menggema, membuat mereka bertiga berhenti berjalan dan mengedarkan tatapannya untuk mencari sumber suara. Bertepatan dengan itu, terdengar suara perempuan menggema di balik mikrofon, tiada lain suara milik Ms. Naomi.

SEMUA SISWA-SISWI HOME SCHOOL GEN7, HARAP BERKUMPUL DI RUANG PERTEMUAN SEKARANG.

***

Sementara di ruang pertemuan, sudah ada Fahira, Alin dan Vicky duduk di sana menunggu teman-temannya yang lain tiba.

“Ada apa, ya?” tanya Fahira penasaran.

Vicky mengangkat bahu, tidak tahu. Laki-laki itu menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan di atas meja.

“Mungkin ada pengumuman soal peraturan aneh lagi,” sahut Alin menebak-nebak, kedua tangannya dilipat di depan dada, mulutnya mengunyah permen karet.

Terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan. Refleks perhatian mereka bertiga terpusat ke arah sumber suara dan menampakkan Ameta, Vicko dan Bayu yang terheran-heran dengan tatapan kebingungan.

“Ada apa?” tanya Ameta.

Gadis itu menarik kursi dan duduk di sebelah Alin. Menatap Alin, Vicky dan Fahira bergantian, menunggu jawaban.

“Tidak tahu, sepertinya ada peraturan baru. Peraturan aneh,” jawab Alin, mengangkat bahu.

Lihat selengkapnya