Suasana hutan semakin mencengkam, belum lagi suara burung hantu beradu dengan suara binatang malam. Semak-semak belukar mendadak bergoyang-goyang, seolah ada sosok di baliknya mengikuti langkah Mikayla dan Evelyn yang sedang berlari. Tanpa arah. Tanpa tujuan.
Mereka berpegang tangan erat, tidak terlepas. Ranting-ranting semakin kuat menggores kaki-kaki jenjang mereka berdua. Akar pohon semakin berkuasa untuk terus berusaha menjegal kaki mereka, hingga akhirnya keduanya tersandung salah satu akar pohon besar dan terjatuh terjerembap.
Daun dan ranting saling bergesekan tertiup angin, seakan menertawakan mereka di tengah hutan kesepian. Tanpa bala bantuan. Tanpa ditemukan.
Kedua perempuan itu semakin menangis histeris. Tidak sanggup lagi untuk berlari. Kakinya sudah terlalu sakit jika dipaksakan. Tubuhnya sudah kehilangan tenaga jika harus terus dikuras. Belum lagi haus yang melanda tenggorokan.
Mereka bisa mati sia-sia.
Pasrah.
“TOLOOONNGGG!!! TOLOOONNGGG KAMIIII!”
“SIAPA PUN TOLOOONNGGG. ASALKAN MANUSIA!!”
Mereka berteriak, sudah tidak peduli dengan Home school yang mungkin akan menghukumnya jika mereka berhasil ditemukan. Bahkan harapan mereka sekarang, lebih baik ditemukan oleh pihak Home school daripada ditemukan oleh pihak lain yang menyeramkan.
Keduanya saling menguatkan. Evelyn menarik tubuh Mikayla dalam dekapannya, hanya itu satu-satunya cara untuk mereka saling bertahan hingga bala bantuan tiba.
Mungkin. Itu pun jika ada.
“Aku tidak mau mati di sini ...,” lirih Mikayla, memeluk Evelyn semakin erat dengan isak tangis yang begitu memilukan.
“Aku ... lebih baik terpenjara di home school, daripada harus tersesat di hutan menyeramkan ini ...,” Evelyn menyesal. Tubuhnya semakin lemas dan napasnya terasa sesak.
“Eve ... bertahan!” Mikayla menguatkan, pelukan Evelyn melonggar. Kedua matanya mengerjap beberapa kali hingga membuat Mikayla semakin panik histeris.
Dia memeluk erat Evelyn yang mulai lemas. Dadanya naik turun tak beraturan. Napasnya terdengar berat dan tubuhnya sudah basah kuyup oleh keringat.
“Eve ....”
Samar-samar, terdengar suara langkah kaki menginjak ranting dan daun kering. Suara itu semakin mendekat. Sementara Mikayla panik. Bingung. Takut. Di satu sisi, dia berharap itu bala bantuan yang datang untuk menarik mereka ke situasi lebih aman dan di sisi lain, dia takut malah justru seseorang yang mengancam. Atau juga binatang buas yang siap untuk menerkam.
“Tuhan ... tolong lindungi kamiiii ...,” Mikayla tidak hentinya berdoa. Berharap ketakutannya hanya sebatas fana.
Hingga akhirnya langkah kaki itu semakin dekat di dengar, diiringi suara...
“MIKAYLA ....”
“EVELYN ....”
“YUGO ....”
“DONI ....”
Suara itu! Suara yang mereka kenali.
Ya, suara Vicko dan Ameta!
Lega rasanya mendengar suara mereka. Meski itu belum pasti benar adanya. Tapi Mikayla yakin, dia tidak salah dengar.
“AMETA ... VICKO. AKU DAN EVELYN DI SINI! TOLONG KAMI!” teriak Mikayla mencari sumber suara teman-temannya itu.
Hingga akhirnya, dia melihat, di tengah-tengah hutan yang mulai gelap dan pohon-pohon besar yang saling berimpitan seolah menyembunyikan keberadaan para bala bantuan, Ameta, Vicko dan Bayu berjalan sembari menjelajah sekitar.
Senyuman lebar dan haru tersungging di bibir Mikayla. Tangisnya semakin pecah. Mikayla kembali berteriak. “KAMI DI SINI!!” Tangannya melambai-lambai, berharap mereka melihat keberadaannya dan Evelyn yang sudah semakin melemah.
Bahkan Evelyn tidak ada tenaga untuk berteriak seperti Mikayla. Evelyn mempercayakan semuanya pada Mikayla ... dan juga teman-temannya.
“KAMI ... DI SINI!” Teriak Mikayla diiringi tangisan. Hingga sulit untuk didengar.
Sementara itu, Bayu menyadari suara Mikayla dari kejauhan. Dan benar, dalam jarak kurang lebih 500 meter di hadapannya, Bayu melihat Mikayla dan Evelyn. “ITU MEREKA!” Bayu mengarahkan telunjuknya, kontan Ameta dan Vicko mengikuti arah telunjuk Bayu.
“Benar!” Ameta tersenyum bahagia. Dia bergegas lari menghampiri Evelyn dan Mikayla, diikuti Vicko dan Bayu.
“Hati-hati, Meta,” ucap Vicko. “Aku takut itu hanya tipuan!”
Ameta mengernyitkan dahi. Dia tiba-tiba berhenti melangkah, membuat Vicko yang ada di belakangnya mendadak mengerem kakinya dan hampir saja menabrak punggung Ameta. Sementara Bayu, tidak sempat dan alhasil menabrak punggung tegap Vicko sampai jatuh terpental.
“Aw!” Bayu meringis. Vicko juga.
Vicko berbalik, menatap Bayu yang menahan sakit dan menutupi wajahnya yang menghantam punggung atasnya. Karena Vicko lebih tinggi dari Bayu.
“Kau kenapa, sih?” tanya Vicko sengit.
“K—kamu yang berhenti tiba-tiba, aku tidak melihat,” ucap Bayu. Dia masih meringis.
Vicko berdecak. Menjulurkan tangannya. “Maaf, tadi Meta tiba-tiba berhenti. Jadi aku mendadak berhenti.”
Bayu mengamit tangan Vicko dan berdiri.
“Apa yang sakit?” tanya Vicko, meneliti wajah dan tubuh Bayu.
Bayu menggeleng, menundukkan kepala. “T—tidak ada.”
“Baguslah.” Vicko berpaling menatap Ameta. “Kau lagi, kenapa berhenti?”
“Kau yang menakutiku,” ucap Ameta. Ameta perlahan berbalik, kembali menatap Evelyn dan Mikayla yang masih melambai. “Maksud kau hanya tipuan ... itu apa?”
“Barangkali itu setan yang menjelma?” dugaan Vicko menebak.
“S—sepertinya kamu terlalu sering menonton film horor,” sahut Bayu berhati-hati. Dia masih menunduk.
Vicko melirik Bayu sinis, dia berdecak. “Sudah, biar aku saja. Kau dan Bayu di belakangku.”
Vicko mengambil alih posisi Ameta. Mendadak menjelma menjadi pahlawan dan terlihat keren. Sementara Ameta dan Bayu sekarang berada tepat di belakang Vicko. Bagai tameng, Vicko melangkah perlahan dan hati-hati menghampiri Mikayla dan Evelyn. Tangan kanannya terlentang ke samping dan sedikit membungkuk, seakan memberi peringatan pada Bayu dan Ameta bahwa jangan gegabah dan ikuti pergerakan dirinya.
“Dasar bodoh! Mengapa kau mengendap-endap seperti maling?!” teriak Mikayla. “Cepat ke sini tolong Evelyn!”
Vicko kembali berdiri tegak, menghembuskan napas kasar. “Ah, itu betul Mika. Dari cara dia bicara. Sudah ayo, itu bukan tipuan.” Akhirnya Vicko berlari menghampiri Mikayla dan Evelyn.
Vicko bersimpuh di hadapan mereka berdua. Mengusap wajah Mikayla. “Menyusahkan! Suruh siapa kau kabur tidak mengajakku?”
“Percuma juga kabur, hutan ini seperti labirin. Aku pikir aku akan mati di sini—” Mikayla menghapus air mata di pipinya. “Cepat tolong Evelyn. Dia sudah lemas.”
Mikayla melepaskan pelukan Evelyn.
“Lalu?” tanya Vicko, menatap Mikayla bingung.