Sunyi-senyap. Menegangkan.
Tiga kata yang menggambarkan suasana ruang pertemuan malam ini. Seperti sebuah ruangan sidang dengan beberapa Hakim dan Jaksa penuntut umum yang siap mengadili terdakwa. Beberapa lilin berpendar berjajar di atas meja panjang dengan siswa-siswi yang duduk di hadapan lilin itu.
Bukan tanpa alasan mereka berkumpul di ruang pertemuan, ketika seluruh anak-anak Home school yang kabur berhasil ditemukan. Master Jason memerintahkan semua berkumpul untuk siap mengadili para siswa.
Siswa-siswi yang terlibat; Yugo, Mikayla, Doni dan Evelyn menundukkan kepala.
Malu. Satu kata yang terbenam dalam benak mereka, tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan selain ... pasrah.
Sementara yang lainnya, saling menatap satu sama lain. Penasaran sekaligus bingung, apa yang akan dilakukan para petinggi Home school?
Master Jason menghela napas, menatap satu per satu murid dengan sorot mata teduh dan damai. Tidak ada amarah ataupun ancaman.
Ameta mengangkat tangan kanannya. “Master Jason.”
Master Jason memusatkan perhatiannya pada Ameta. “Iya, Ameta? Ada apa?”
Ameta berdiri, menghampiri Master Jason dan berdiri tepat di sebelahnya. Semua atensi tertuju pada Ameta.
“Saya ingin menanyakan sesuatu,” ucap Ameta, berpaling menatap teman-temannya sekejap dan kembali menatap Master Jason dan Ms. Naomi.
Master Jason mengangguk. “Silakan.”
“Semua yang terjadi hari ini, Master Jason yang merencanakannya, kan?”
Master Jason tersenyum samar. “Jawaban saya ya dan tidak.” Master Jason berbalik, menatap sepenuhnya Ameta, kedua tangannya di belakang punggung.
Ameta mengernyit heran. Begitu juga dengan anak-anak yang lain.
“Saya tidak membuat rencana agar kalian kabur dari Home school,” lanjut Master Jason. Berpaling menatap siswa-siswi satu per satu. Terutama pada empat anak yang terlibat. “Kalian sendiri yang memilihnya.”
Seluruh siswa-siswi terdiam. Yugo dan Doni saling melemparkan tatapan.
“Lalu ... bagaimana dengan ya?” tanya Ameta.
“Saya memang berniat membuat kalian pergi ke dalam hutan, untuk mencari teman-teman kalian sendiri. Dan saya mengawasi kalian.”
Alin tercengang dan akhirnya buka suara. “Jadi, artinya ... Master mengawasi kami sepanjang waktu? Untuk apa?”
“Untuk membuat kalian yang ada di sini mengingat, bahwa mulai sekarang, kalian adalah rumah untuk satu sama lain. Rumah bukanlah tempat, tapi rumah adalah persahabatan. Kalian harus saling mengandalkan dan tidak boleh saling meninggalkan.
“Dan ini adalah pelajaran pertama kalian di Home school.”
Seluruh siswa-siswi menghela napas dan menundukkan kepala. Merenungkan apa yang dikatakan Master Jason.
“Jika kalian sudah memahami ini dengan baik, silakan pergi dan beristirahatlah dengan cukup. Dan bersiaplah untuk hari pertama durasi sesi akademik kalian,” Master Jason menatap satu per satu siswa-siswi. “Selamat malam.”
Ameta mengangguk, membungkukkan setengah tubuhnya sebagai tanda penghormatan. Begitu juga dengan yang lain, berdiri dari tempat duduk masing-masing, melakukan hal yang sama dengan Ameta. Sebelum akhirnya, berangsur-angsur berlalu pergi.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Para siswa-siswi sudah berkumpul di tepi danau di bawah pohon beringin besar, lebat dengan akar gantung yang menjulur dari cabang-cabangnya nyaris menyentuh tanah.
Mereka sengaja dikumpulkan di sana untuk mengikuti olahraga pagi, lengkap dengan pakaian olahraga berwarna putih dengan celana berwarna hitam.
Sorot mata tajam seorang laki-laki berbadan tegap, dengan biseps-biseps otot tercetak di kedua lengannya yang dibalut dengan baju olahraga lengan panjang berwarna hitam, menyusuri setiap wajah siswa-siswi yang menampakkan raut dengan ekspresi yang sama...
Mengantuk. Menguap. Lemas.
Bahkan, Mikayla sempat-sempatnya tertidur sambil berdiri. Sementara Alin menenggelamkan seluruh wajahnya di kedua lutut kakinya. Tertidur.
Sedangkan yang lainnya, tidak berhenti menguap dan menahan kantuk yang masih menyerang sepasang bola mata mereka. Ada juga yang mendistraksi rasa kantuk yang melanda dengan memaksa kedua bola matanya memelotot. Ada yang memungut daun-daun kering untuk mengalihkan perhatian.
PRIIIIIITTT...
Suara peluit menggelegar berhasil mendistraksi seluruh siswa-siswi.
Mikayla detik itu juga membuka mata dan langsung melompat. Sementara Alin, mengangkat wajahnya dan terjengkang. Sedangkan yang lain langsung berdiri tegak. Rasanya raga dan nyawa mereka sempat terpisah beberapa detik, rasa kantuk yang melanda tiba-tiba hilang seketika dan digantikan dengan degupan jantung yang tak terkendali berdetak.
Hampir lepas.
“Selamat pagi anak-anak GEN7. Perkenalkan, saya Mr. Tedi,” sapa seorang laki-laki berbadan tegap itu. “Saya akan memberitahukan bahwa—di sini—pada jam ini, kalian akan bertemu dan berolahraga bersama saya. Dari hari Senin sampai Jumat.
“Karena ini adalah hari pertama semester, saya akan membiarkan kalian memulai dengan sesuatu yang mudah. Lari untuk mengumpulkan poin—akan ada sepuluh poin untuk dikumpulkan dan sepuluh putaran untuk diselesaikan.”
“HAH? Sepuluh putaran?” reaksi Vicko tercengang, tak percaya. Membuat Mr. Tedi refleks menatap Vicko.
“Bukankah ini terlalu banyak, Mr. Tedi?” protes Alin, tak setuju.
Mr. Tedi berpaling menatap Alin. “Saya perintahkan kalian melakukan hal yang paling mudah.”