Baru beberapa hari mereka menginjakkan kaki di Home school, berjuang beradaptasi dengan lingkungan di tempat baru bersama teman-teman baru dengan karakter yang sangat berbeda-beda, namun sudah disuguhkan serentetan kejadian yang tidak masuk akal logika.
Awal menginjakkan kaki, mereka sudah diperingati dengan berbagai aturan yang membuat mereka terasa dipenjara. Tidak ada komunikasi dengan keluarga. Tidak ada telepon. Tidak ada internet. Tidak ada ponsel. Di zaman sekarang—tanpa itu semua serasa dunia hampa tidak ada kehidupan. Belum lagi peraturan selanjutnya, yang menjadi kendala karena harus saling bertanggung jawab atas hidup satu sama lain.
Dan sekarang, mereka mendapat tugas dari Master Jason untuk menjaga seekor ... ikan.
Tugas aneh. Apa kalimatnya kurang jelas? Ya! Aneh! Mereka diberi kebebasan tidak ada kelas akademik selama satu Minggu, namun diberi tugas di luar logika bahkan sepertinya tidak ada di kurikulum sekolah mana pun itu.
Bertanggung jawab atas kehidupan teman-temannya juga sudah menjadi kendala besar, apalagi sekarang bertugas atas kehidupan ikan.
Terdengar konyol, memang.
“Why do I have to take care of these fish? Why?” tanya Alin pada teman-temannya sekaligus pada dirinya sendiri sebetulnya, ketika mereka berdiskusi di ruang pertemuan untuk bagaimana merawat ikan-ikan ini.
Ikan yang malang. Atau justru ... mereka yang malang?
Vicko menghela napas. “Kalau ikan-ikannya mati, kita akan dihukum.” Laki-laki itu berpaling menatap ikan-ikan yang asyik berenang di dalam kotak, seolah sedang bermain.
“Lagi pula, siapa yang tahu cara memelihara ikan yang baik?” tanya Vicky, menatap teman-temannya satu per satu. “Di sini ada yang tahu caranya? Hmm?”
Doni memutar bola matanya malas.
Alin mencibir.
Sementara yang lain, menggeleng. Tidak tahu.
“Pertama, menurutku ...,” Ameta berdiri dari duduknya, berjalan mendekat pada kotak ikan itu dan berdiri tepat di sebelah Bayu. “Kita harus menyiapkan tempat tinggal baru untuk mereka. Rasanya tidak mungkin kalau mereka di satukan dalam satu kotak seperti ini.”
“Bayu pikir, mereka akan mati kalau tinggal berdesak-desakan seperti ini,” timpal Bayu yang sedari tadi duduk tepat di depan kotak ikan-ikan itu dan menatapnya penuh kagum sambil senyum-senyum.
Semua menganggukkan kepala, setuju.
“Setelah punya tempat tinggal masing-masing, baru kita cari makan untuk ikan-ikan ini,” lanjut Bayu.
“Makanan dan rumah ...,” Ameta menganggukkan kepala. Dia berpaling menatap teman-temannya satu per satu. “Kalau begitu, kita bagi jadi beberapa kelompok. Kelompok satu mencari rumah, kelompok lain siapkan air bersih, dan kelompok selanjutnya mencari makanan. Bagaimana?”
Alin menghela napas, menyadarkan punggungnya di sandaran kursi dan kedua lengannya terlipat di depan dada. “Masalahnya ... memang di sini ada yang tahu cara merawat ikan? Makanan apa yang mereka makan? Kalau makanan khusus ikan, mustahil untuk kita mencarinya. Dan aku yakin para Mr. dan Ms. tidak akan menyediakan makanannya di sini.”
“Kalau begitu ...,” Vicko mengusap dagunya, kedua bola matanya menatap langit-langit—berpikir. “Kita harus cari makanan alami ... maksudku—” Vicko berpaling menatap teman-temannya. “—makanan yang bisa kita cari atau buat sendiri untuk para ikan ini.”
Alin tersenyum hambar. “Iya ... aku, kan, bertanya ... memangnya ada yang tahu?”
Semua terdiam. Beradu helaan napas dan bingung harus bagaimana.
“Di sekitar sini, bukannya ada sungai?” tanya Doni, menatap teman-temannya satu per satu. Semua mengangguk sebagai jawaban. “Nah ... kalau begitu lepaskan saja mereka ke sana. Simple and not a hassle. Right?”
“Heh bodoh!” Yugo menoyor kepala Doni dari belakang. Seketika itu juga Doni melemparkan tatapan sinis. “Bukannya hidup, yang ada ikan-ikan ini mati! Kau ini ... aduh!” Yugo menggeleng, tidak habis pikir.
“Do you have a brain?” Vicko menggelengkan kepala, telunjuk kirinya menyentuh pelipis Doni. “Stupid!”
Doni menghempas tangan Vicko, menatap tajam Vicko yang wajahnya seolah mengajak duel sangat menyebalkan.
“Sudah-sudah!” Ameta melerai. “Sekarang kita fokus cari tempat dulu untuk rumah baru ikan-ikan ini,” Ameta berpaling menatap teman-temannya. “Siapa yang akan mengurus rumahnya?”
Semua terdiam. Saling menatap satu sama lain ... lebih tepatnya saling mengandalkan. Bahkan tidak ada satu pun yang mengangkat telunjuknya dengan senang hati menyerahkan diri.
“Ada sukarelawan?” tanya Ameta, lagi. Menatap teman-temannya satu per satu.
Vicky menghela napas. “Aku bisa melakukannya—” dia melirik Vicko yang berdiri tepat di sampingnya. “—bersama Vicko.”
Refleks Vicko menoleh, mengernyitkan dahi. “What? Sejak kapan aku setuju?”
Vicky mengangkat bahu, tersenyum tengil dan bersiul.
“Oke, setuju, ya, Vicko?” tanya Ameta—tersenyum penuh harap.
Vicko akhirnya menghela napas—lebih tepatnya pasrah—mau tidak mau dia mengangguk setuju.
“Papa memelihara ikan di rumah—” sahut Bayu, pandangannya tidak lepas menatap ikan-ikan itu. “—yang aku tahu, bukan hanya tempat bersih dan besar saja untuk menjaga ikan tetap hidup, tapi juga butuh beberapa alat bantuan sebagai oksigennya.”
“Nah!” Vicko menjentikkan jari, menatap Bayu. “Mengapa kau tidak bilang kalau kau tahu cara memelihara ikan?”
“Iya, malah diam saja! Dasar bod—” belum juga Yugo selesai bicara, Vicko sudah menoyor kepalanya. Melemparkan tatapan super tajam yang menusuk langsung kedua bola mata Yugo, sebagai isyarat untuk jaga ucapan.