“Ck! Kita tidak ada pilihan selain ini, memang? Aku tidak sanggup ...,” Vicko menutup hidungnya, bahkan beberapa kali laki-laki itu harus menahan mual. “Bau.”
Sekarang si Kembar berada di sebuah ruangan sempit dengan atapnya setengah bolong—tepat di samping Home school—seperti sebuah gudang atau penyimpanan barang yang sudah tidak digunakan karena terdapat banyak barang-barang yang tak terpakai di sana.
Seperti kursi, meja, ranjang tanpa kasur, dan beberapa perabotan dapur. Banyak debu tebal berserakan, belum lagi debu halus yang beterbangan. Dipadu dengan aroma pesing dan kotoran tikus bercampur dengan kecoak melebur semerbak di ruangan pengap, sumpek dan lembap.
Sangat sempurna mengocek indra penciuman.
Dan di situlah mereka berdua menemukan banyak wadah yang bisa digunakan sebagai rumah baru para ikan. Meski terlihat kotor, tapi masih bisa dibersihkan dan masih layak untuk dimanfaatkan.
“Tidak ada lagi selain ini ...,” Vicky mengipas-ngipasi hidungnya. Berusaha menahan aroma tak sedap sangat tajam yang menusuk indra penciuman. “Sudah kita bawa saja, nanti kita bersihkan.”
“Kau saja yang bersihkan! Aku tidak mau!” Vicko menutup mulutnya—berusaha menahan mualnya supaya tidak menyembur keluar.
“Kau rewel! Tunggu saja di depan halaman Home school. Jangan lupa bawa ikan-ikan itu. Biar aku saja yang mengumpulkan ini semua.”
Tanpa pikir panjang, Vicko keluar, membawa ikan-ikan itu dan meninggalkan Vicky sendirian di sana yang mau tidak mau, dia harus berjuang antara hidup dan mati.
Dia memungut satu per satu wadah itu. Sebuah kotak persegi panjang berukuran lumayan besar berwarna bening berbahan akrilik, berserakan di mana-mana, kotor dan juga lengket. Tapi tempat itu cocok untuk para ikan, mereka bisa berenang bebas tanpa berdesak-desakan.
Sudah terkumpul sepuluh kotak.
Vicky mengedarkan tatapannya, mencari sarana yang bisa dia gunakan seperti gerobak atau kardus besar, supaya dia bisa membawa langsung sepuluh wadah itu tanpa bolak-balik ke gudang. Karena kedua tangannya tidak sanggup untuk langsung membawa kotak-kotak itu sekaligus sendirian.
Di sudut ruangan dekat pintu masuk, Vicky melihat sebuah gerobak sorong yang biasa dipakai untuk membawa pasir tergeletak di sana, terlihat sangat kotor dengan tanah kering. Besinya pun sudah berkarat sehingga menyamarkan warna aslinya. Tanpa pikir panjang, Vicky tidak peduli.
Dia bergegas mengambil gerobak itu. Mencoba memaju-mundurkan rodanya yang terasa berat dan sulit berputar. Vicky berdecak, dia berjongkok, mengecek kendala dari roda itu.
Setelah diteliti, ternyata ada gulungan tali rafia yang menumpuk di sela-sela ban. Vicky mendengus jengkel, dia membalikkan gerobak itu dan memereteli rafia yang menjadi kendala. Sampai semua terlepas, Vicky kembali mengecek kondisi bannya dan sekarang terasa ringan dan mudah diputar. Tanpa membuang banyak waktu, dia memasukkan semua kotak-kotak ke dalam gerobak itu sampai semua terkumpul.
Dirasa sudah cukup. Dia hendak pergi, namun sebelum itu pandangannya kembali mengitari ruangan, barangkali ada barang lain yang bisa dimanfaatkan. Hingga akhirnya macam pepatah mengatakan ‘Pucuk di cinta ulam pun tiba’ Vicky melihat di sudut ruangan—di bawah kursi-kursi bekas yang sudah reyot—ada filter air akuarium kecil.
Vicky menyunggingkan senyumnya lebar, seperti menemukan harta karun, dia bergegas mendekat—mengambil filter air itu dan berharap ada lebih dari satu—dia kembali menjelajah sekitar, berharap semua yang dia cari ada di tempat itu tanpa harus meminta pada Mr. Lucky. Di sebelah kiri, tepat di mana Vicky menemukan filter air, terdapat kardus besar yang tertutup rapat.
Dengan rasa penasaran dan pengharapan, Vicky membuka kardus itu dan betapa beruntungnya dia, di dalamnya terdapat banyak filter air dan juga aerator.
“AKHIRNYAAAAAA!!! Aku tidak perlu pusing mencari ini semua. Terima kasih, Tuhan.” Laki-laki itu tertawa—memeriahkan kemenangannya sendiri—tanpa berpikir, dia mengangkut semua beserta kardusnya ke atas gerobak, untuk dia bawa ke hadapan teman-temannya.
***
Vicko menatap ikan-ikan yang asyik berenang berdesak-desakan di dalam kotak yang sedari tadi menemaninya di halaman Home School selagi menunggu teman-temannya kembali berkumpul.
Vicko duduk di sebuah kursi kayu panjang tepat di bawah rimbun pohon rindang dan di depan air mancur beberapa meter. Terasa asri dan sejuk.
“Yang lain belum kembali?”
Vicko mengangkat wajahnya ketika mendengar suara Vicky mendekat. Laki-laki itu menyunggingkan senyumnya. “Wah! kau berhasil juga bertahan di ruangan itu sampai bawa kotak sebanyak ini?”
Vicky menurunkan kardus yang isinya filter air dan aerator. “Asal kau tahu, aku tidak hanya menemukan kotak-kotak itu ...,” Vicko membuka kardus, mengeluarkan satu filter air dan aerator, dia tunjukkan pada Vicko dengan bangga. “Aku menemukan ini juga.”
“Wah! Bagus!” Vicko menyunggingkan senyumnya. “Sekarang kau cuci.”
Vicky memutar bola matanya malas. “Kau yang cuci. Aku yang temukan—”
“Tadi perjanjiannya apa?” sela Vicko. “Aku sudah menjaga ikan ini di sini.”
“Hanya jaga ikan? Anak kecil juga bisa!” Vicky menendang kaki Vicko. “Jangan banyak alasan! Masa aku yang kerja sendirian?”
“Kau ini bisa mati, ya, kalau tidak membuatku kesal satu jam saja?” Vicko melayangkan kakinya—hendak menendang Vicky. Namun, terdengar suara perempuan yang berhasil mengurungkan niatnya.
“Kenapa lagi ribut-ribut?”
Ameta, Alin dan Fahira tiba. Mereka membawa wadah plastik yang berisi sayur kangkung dan udang yang sudah dicincang.
“Wah! Kalian sudah menemukannya? Hebat!” Ameta menyunggingkan senyumnya lebar ketika melihat tugas yang diberikan pada si kembar sudah ditemukan.
“Aku yang menemukan ...,” sahut Vicky. Dia berpaling menatap Vicko. “Dia hanya diam.”
“Aku menjaga ikan,” sangkal Vicko. “Daripada nanti dimakan kucing?”
“Tidak ada kucing di sini!” timpal Vicky.
“Tidak mungkin tidak ada,” timpal Vicko.
“Stop!” bentak Alin, menatap tajam Vicko dan Vicky. “Aku tidak mau dengar kalian ribut terus!”
“Kami tidak ribut, hanya berdebat,” sahut Vicko. Dia berdiri, melangkah mendekat pada Ameta dan Fahira yang memilah-milah kotak-kotak, filter air dan aerator itu. “Ada banyak?” tanya Vicko, berdiri tepat di samping Ameta.
“Banyak,” Ameta mengangguk dan tersenyum. Berpaling menatap Vicko. “Tapi kotaknya bau dan kotor. Nanti kita cuci dulu.”
“Siap!” sahut Vicko.
“Cih!” Vicky mendelik. “Bagian aku yang suruh saja, kau marah-marah.”
Vicko memutar bola matanya malas, berbalik menatap Vicky. “Aku tidak marah. Aku hanya tidak kuat dengan baunya.”
“STOOPPP!! Sudah berapa kali aku bilang?” tanya Alin, kesal. Menatap si kembar satu per satu. “Lebih baik sekarang susun dulu semua kotak dan yang lainnya.”
Vicko menatap tajam Vicky, mereka saling melempar tatapan tajam, hingga akhirnya menuruti perintah Alin.
Sementara Bayu, dia melambaikan tangan di teras Home School, di tangannya membawa kabel roll. Ameta tersenyum dan berteriak...