Sepertinya Tuhan masih ingin menguji kesabaran siswa-siswi yang berhasil terkungkung di perangkap Home School. Mereka berpikir bahwa setelah insiden menelusuri hutan terdalam dengan segala lika-liku kejadian, semua akan selesai. Rupanya tidak semua berjalan begitu, manusia memang bisa berencana, tetapi tetap Tuhan yang menentukan.
Siapa sangka, ternyata mendapat tugas untuk merawat ikan tidak semudah yang dibayangkan. Baru saja memulai sudah ada kejadian di luar dugaan. Pertengkaran sengit yang terjadi hanya karena dua orang pembuat onar yang mengutamakan ego daripada tanggung jawab. Merugikan semua orang sekaligus pemicu kerusuhan.
Tapi paling tidak, setelah selesai makan siang, mereka sudah mulai tenang. Meski demikian ada lagi yang membuat mereka jengkel soal makanan. Namun itu bisa diatasi dengan mendistraksi pikiran mereka, membayangkan makanan itu terasa biasa saja.
Kini semua siswa-siswi, kecuali Doni dan Evelyn, kembali mengecek ikan-ikan mereka, yang sekarang sudah berjajar kotak-kotak akrilik itu di atas parapet teras Home school—pembatas antara halaman dan teras.
Mereka menatap bingung kotak-kotak itu dan saling melirik satu sama lain.
“Sekarang bagaimana?” tanya Vicky.
“Kita bagi tugas lagi, bagaimana?” tanya Ameta.
“Apa?” Alin menatap Ameta.
Semua pasang mata terpusat pada Ameta.
Ameta berpaling menatap Yugo dan Mika. “Tadi air yang kalian bawa banyak, kan?”
“Tuh ...,” Yugo menunjuk ember plastik besar ukuran kurang lebih 200 liter air, berwarna biru yang berdiri tegak di bawah pohon rindang dekat kursi kayu. “Cukup atau tidak airnya, nanti gampang aku ambilkan lagi.”
“Sebesar itu kau angkut sendiri?” Vicko berdecak kagum, geleng-geleng kepala, tak percaya.
Yugo tersenyum bangga, mengusap lubang hidungnya dengan jempol, mendengar pujian dari Vicko.
“Ya sudah kalau begitu, sebagian mencuci semua kotaknya. Sehabis itu susun kembali di tempat semula ...,” instruksi Ameta, dia seperti ketua geng yang memandu teman-temannya untuk menyusun rencana. “Dan yang lain, siapkan filter air dan aeratornya. Dan untuk Bayu, apakah kabel roll yang kamu bawa tadi sudah tersambung listrik?”
Bayu mengangguk dengan kepala menunduk.
“Baik kalau begitu ... ayo kita mulai. Bagaimana?”
Semua mengangguk, setuju. Menuruti instruksi dari Ameta dan mulai membagi tugas.
Tanpa bantahan. Tanpa menimpal. Tanpa protes.
Sementara Ameta, Alin, Vicky membawa kotak-kotak itu dan mulai mencucinya menggunakan air yang Yugo dan Mikayla bawa.
Sedangkan Vicko dan Yugo menyiapkan filter air dan aeratornya. Memilah-milah mana yang masih layak digunakan dan tidak.
Bayu mengecek kembali kabel roll dan memosisikan di tempat yang aman. Sembari menghitung ikan—barangkali berkurang atau hilang.
Mikayla dan Fahira menyiapkan makanan para ikan.
Mereka sibuk dengan tugas masing-masing. “Wah sudah dimulai ternyata.” Terdengar suara seorang laki-laki mendekat. Hingga menyita semua atensi mereka terpusat ke sumber suara, lalu dilihatnya kedua perusuh datang.
Mereka mendengus. Padahal baru saja mereka meratapi ketenangan tanpa adanya perusuh. Kali ini mereka melihat keduanya datang dan hanya duduk-duduk saja enggan menawarkan diri atau berinisiatif membantu.
“Kalian bisa memberi fasilitas dan makan ikan kami juga, kan?” tanya Doni—tersenyum menyeringai sangat menyebalkan. Bukannya membantu malah menyuruh.
Ya! Perusuh dan penyuruh.
Mereka menahan diri untuk tidak menguras energi dengan sia-sia hanya untuk berdebat dan meladeni orang macam Doni dan Evelyn. Dua orang yang menyebabkan peperangan di Home School dan seharusnya mereka ditendang ke neraka.
Alin justru berpaling menatap Doni, tersenyum sarkas dan menganggukkan kepala. “Bisa.”
Doni tersenyum menyeringai, mencibir menatap Evelyn dan mereka tos.
Bayu menghampiri Ameta, Alin dan Vicky yang sedang mengisi kotak dengan air.
“Bayu, apakah airnya cukup?” Alin memegang kotak yang sudah berisi air.
Kedua tangan Bayu bergerak cepat. “Jangan dulu dimasukkan air. Pasang dulu aerator dan filter airnya. Baru nanti masukkan air ke dalam kotak itu. Jangan terlalu banyak juga airnya, nanti ikan bisa melompat,” Bayu menunduk dan memainkan jari-jemarinya.
“Oh ... oke,” Alin mengangguk. Kembali menuangkan air ke dalam ember. Begitu juga dengan Ameta dan Vicky.
“Ya sudah kalau begitu, kalian bawa kotak-kotak ini ke sana ...,” instruksi Vicky pada Alin dan Ameta. “Aku dan Bayu membawa ember airnya ...,” Vicky berpaling menatap Bayu dengan sebaris kernyitan di dahi. “Tapi, Bayu ... apa kau tahu cara memasang aerator dan filter airnya?”
Bayu mengangguk. “Aku tahu.”
“Ya sudah kalau begitu, bagus!” Vicky tersenyum, menepuk bahu kiri Bayu.
“Oke, kami susun ini dulu, ya?” Alin dan Ameta berlalu pergi, membawa kotak-kotak akrilik itu.
Sementara Vicky menjelajah sekitar, mencari sarana untuk mengangkut ember yang berisi air itu. Berat juga kalau harus diangkut berdua dengan Bayu. Sebelumnya Vicky melihat, Yugo membawa ember itu menggunakan troli, namun benda itu tidak terlihat di sekitar sana.
“Ke mana, ya?” Vicky berpaling menatap Yugo dari kejauhan yang sedang membelakanginya. “Yugo!!” teriaknya—refleks Yugo berbalik—menggerakkan dagunya sebagai jawaban. “Troli yang kau bawa tadi untuk membawa ember ini, kau simpan di mana?”
Yugo mengernyit, dia berbalik sepenuhnya menatap Vicky. “Aku simpan di situ—dekat ember!” teriaknya.
Vicky dan Bayu bingung, nyatanya troli itu tidak ada di sana.
“Kalian cari ini?” teriak Doni—menyeringai—yang tanpa mereka sadari, troli itu ada di tangan Doni. Entah kapan laki-laki itu mengambil troli, dilihatnya Doni sedang bersandar di batang pohon besar dengan kaki tersilang bersama Evelyn.
Vicky mendengus. “Sini, kembalikan.”
“Ambillah.” Doni menyodorkan troli itu.
Vicky malas berdebat. Dia malas meladeni Doni yang kalau dilawan semakin melunjak dan tidak mau kalah. Vicky melirik Bayu. “Bayu, aku minta tolong ambilkan troli itu. Nanti air ini aku yang bawa.”
Bayu mengangguk. Dengan menunduk, dia bergegas menghampiri Doni untuk mengambil troli itu.
Evelyn melipatkan kedua tangannya di depan dada, menyikut Doni yang tepat berdiri di sampingnya dan berbisik. “Lihat si Bayu itu, berlagak paling pintar. Sangat menyebalkan!”
“Justru yang aku lihat dia hanya laki-laki bodoh dan cupu.”
“Kalau begitu, kau sapa dia sana.”
Doni menyeringai, Evelyn juga.
Doni menarik punggungnya yang bersandar di batang pohon, menatap Bayu yang berjalan mendekat.
Bayu tetap menunduk meski sudah berdiri tepat di depan Doni sembari memainkan jari-jemarinya. “M—maaf, boleh aku pinjam ini?”
Alis Doni terangkat—menatap Bayu—laki-laki itu menyodorkan troli. Dengan ragu, Bayu mengambil troli itu dan tersenyum tipis. “Terima kasih.” Bayu berbalik, melangkah pergi, namun tanpa diduga, begitu tiba-tiba kakinya dijegal Doni hingga Bayu terjatuh dengan posisi tengkurap dan dadanya menghantam pegangan troli.
Semua pasang mata tertuju pada Bayu yang sedang mengerang kesakitan, memegang dadanya dan menggeliat seperti cacing kepanasan.
Vicky bergegas lari menghampiri Bayu. Sementara yang lain—jaraknya lumayan jauh dari posisi Bayu terjatuh—hanya kebingungan. Tidak begitu panik seperti Vicky yang jelas-jelas melihat di depan matanya langsung kalau Doni dengan sengaja menjegal kaki Bayu.
“Astaga! Bayu! Kau tidak apa-apa?” Vicky bersimpuh di samping Bayu, membantu laki-laki itu untuk bangkit.
Tiba-tiba wajah Bayu memerah, dadanya naik-turun tidak beraturan. Napasnya tersengal-sengal dan bibirnya bergetar. Tatapan penuh amarah terpusat ke arah Doni yang justru tertawa terpingkal-pingkal yang berdiri tidak jauh dari posisi Bayu terjatuh.