HOME SCHOOL

Anonim people
Chapter #10

09. BENCANA BESAR

“Hei! Tempo lalu aku mengerjaimu terlalu keras. Maaf, ya, kawan!”

Sudah menjadi sebuah rutinitas, setiap kali waktu istirahat, Bayu selalu saja menjenguk ikan-ikan. Memastikan kondisi ikan sehat dan lincah berenang. Seperti sekarang, tiba-tiba Doni dan Evelyn menghampirinya, menarik bahu Bayu yang sempat menghindar.

“Hei! Apa kau tidak mau memaafkan kami?” Evelyn merayu—tersenyum genit dan mengelus punggung Bayu.

Sementara Bayu hendak melangkah, menghindar lagi dari gangguan Doni dan Evelyn yang tiba-tiba meminta maaf. Aneh. Bukan Bayu tidak mau memaafkan, tapi dia takut terjadi sesuatu seperti tempo lalu.

Dia trauma bukan main.

Dia tidak mau lagi berurusan dengan Doni dan Evelyn.

Doni menarik bahu Bayu, membuat laki-laki itu kembali melangkah mundur. Doni melingkarkan tangan kanannya di bahu Bayu, berlagak sok akrab. “Kau buru-buru mau ke mana?”

Bayu melepaskan tangan Doni. Refleks Doni melangkah mundur, mengangkat kedua tangannya. Dia mencibir. “Jangan pergi dulu, kami belum selesai.”

“Apa yang ingin kalian katakan pada Bayu?” Bayu menunduk, memainkan jari-jemarinya.

Evelyn tersenyum sinis, melirik Doni yang juga sedang menatapnya. Mereka saling melemparkan isyarat misterius dari sorot mata keduanya.

“Bisa kau pelihara ikan kami?” To the point. Tanpa basa-basi, tanpa rayuan, Evelyn langsung ke inti utama. Gadis itu mencolek genit dagu Bayu. Refleks laki-laki itu menghindar. Terkejut. “Bukankah kau suka memelihara ikan?”

“Bayu suka memelihara ikan, tapi itu ikan kalian. Kalian harus memeliharanya sendiri.”

“Tapi kami tidak tahu bagaimana caranya!” bentak Doni dengan intonasi suara naik seoktaf. Refleks Evelyn memberi isyarat dengan pelototan tajam. Laki-laki itu mengangguk. “Oke, sorry. Begini, Bayu, kalau kami yang pelihara mereka, pasti mereka akan mati.”

“Apa kau tidak kasihan pada mereka?” Evelyn mendekat—menyentuh dada Bayu dengan telunjuk kanannya, disertai senyuman genit penuh rayuan. Refleks Bayu melangkah mundur menjauh. “Ikan-ikan itu tidak bisa mencari makan sendiri, apalagi di dalam kotak seperti itu. Apa kau tega, Bayu?”

“Bagaimana, Bayu?” Doni menarik senyuman menyeringai. Mendekatkan wajahnya pada Bayu sampai laki-laki itu memundurkan wajahnya untuk menjauh.

Bayu terdiam. Menimbang-nimbang permintaan Doni dan Evelyn. Dia menatap keduanya, di kepalanya bergelut dua pilihan antara iya dan tidak.

Akhirnya dia mengambil napas panjang, menganggukkan kepala. Mungkin keputusannya adalah cara untuk bisa terlepas dari gangguan Doni dan Evelyn. “B—baiklah, Bayu akan mengurus ikan kalian, Bayu tidak mau mereka mati.”

Evelyn dan Doni menyunggingkan senyumnya menyeringai, saling bertatapan.

“Nah! Bagus, Bayu!” Doni memeluk Bayu tanpa aba-aba. Menepuk-nepuk punggung laki-laki itu. “Keren banget!”

***

Suara kilatan petir menggelegar berhasil membuat jantung seperti loncat ke perut. Semilir angin bertiup kencang menyelundup masuk lewat ventilasi jendela kamar, seolah menggerayangi tubuh membuat bulu kuduk meremang.

 Hujan deras mengguyur Home School malam ini.

Para siswa terbangun dari tidurnya ketika mendengar kilatan petir yang seolah tidak mengizinkan mereka untuk terlarut dalam mimpi.

“Sial! Seram banget!” Vicko duduk di atas tempat tidurnya yang berantakan, seluruh tubuhnya dibalut selimut—kecuali wajah.

“Hujan deras sekali. Apakah ini badai?” Doni melirik ke arah jendela yang ditutup gorden berwarna putih sedikit transparan dan bergoyang-goyang tertiup angin.

Perhatian mereka ikut menatap jendela.

“Yugo, apa kau melihat Bayu?” Yugo refleks menoleh ke tempat tidur Bayu ketika Vicky melempar pertanyaan itu, terlihat ranjang Bayu masih rapi.

“Loh, tidak. Dari tadi aku tidur. Aku baru terbangun karena mendengar suara petir.” Yugo menoleh menatap Vicky. “Di mana dia?”

“Aku tidak tahu,” Vicky mengangkat bahu. “Tadi aku tidur duluan.”

“Mungkin di toilet,” sahut Vicko.

Vicky yang penasaran, bangkit dari tempat tidur, kakinya menyentuh marmer yang sangat dingin. Dia berjalan ke ujung kamar—tepat ke toilet—mengetuk pintu itu. “Bayu, apa kau ada di dalam?”

Tidak ada jawaban. Vicky memberanikan diri membuka kenop dan pintu terbuka. Tidak ada Bayu di dalam sana. Vicky berbalik, menatap teman-temannya yang memusatkan pandangan penasaran padanya.

“Tidak ada.”

***

“Rumah ikan-ikan akan penuh dengan air. Ikan-ikan akan sakit. Ikan-ikan akan melompat. Ikan-ikan akan mati.”

Sementara itu, Bayu berlari dengan sangat hati-hati, menelusuri teras Home school yang mengantarnya langsung ke tempat para ikan-ikan disimpan. Dilihatnya beberapa kotak ikan terkena percikan air hujan. Tempat penyimpanan mereka di atas parapet teras ternyata tidak aman. Hujan deras malam ini berhasil memenuhi beberapa kotak ikan milik teman-teman.

Pandangan Bayu menjelajah sekitar, mencari tempat yang aman untuk para ikan-ikan, selain disimpan ke dalam ruangan. Dia melihat di sudut lorong teras—di tikungan yang menghadap langsung ke arahnya—ada sebuah meja panjang dan beberapa kursi.

Terbesit ide di benaknya untuk memanfaatkan meja dan kursi itu sebagai tempat baru kotak-kotak ikan, untuk menyimpannya lebih ke dalam teras—jauh dari parapet—sehingga air hujan tidak mungkin masuk ke sana dan ikan-ikan akan aman.

Minimal untuk malam ini saja sampai hujan reda di esok hari.

Dia berlari menuju meja itu, menarik meja hingga menimbulkan decitan nyaring yang ditimbulkan dari gesekkan granit dengan kaki meja. Namun, suara itu terdengar samar karena ditutup kilatan petir dan hujan deras.

Tiga kali bulak-balik untuk mengambil kursi dan meja. Sekarang benda itu sudah tersusun rapi tepat di belakang parapet tempat kotak-kotak ikan disimpan. Letaknya lumayan jauh dari tembok pembatas, sehingga tidak terkena air hujan dan aman untuk para ikan.

“Bo, apa kau baik-baik saja?” Bayu memutus semua aliran listrik. Dia memindahkan kotak ikan miliknya ke atas meja. Dan melakukan itu ke kotak ikan milik yang lainnya.

“Ini ikan milik Doni,” dia menyimpan kotak itu di sebelah miliknya. “Dan ini punya Evelyn.” Sementara milik Evelyn di sebelah Doni.

Begitu memindahkan kotak ikan milik Yugo yang sudah penuh dengan air di dalamnya, namun justru tidak ada ikan di dalam sana.

Bayu panik. Dia melihat kotak milik Vicko dan Ameta yang belum dia pindahkan, ternyata ikan mereka juga tidak ada. Bayu semakin panik nyaris histeris terserang paranoid. Dia yakin ikan-ikan itu sudah melompat keluar.

Laki-laki itu dengan hati-hati mencari, takutnya terinjak karena penerangan di teras sangat minim sehingga membuat Bayu kesulitan untuk menemukan ikan-ikan itu.

Dia mendekat ke parapet, menjulurkan kepalanya untuk melihat ke bawah—tepat di balik pembatas tembok—barangkali ikan-ikan itu jatuh ke sana. Bayu sampai tidak peduli kepalanya diguyur air hujan.

“Kalau tidak ada di dalam teras, berarti mereka lompat ke rumput itu.” Bayu berbalik, berlari ke arah kiri untuk keluar dari teras menuju halaman.

Kini air hujan lolos membasahi seluruh tubuh Bayu tanpa terkecuali. Kilatan petir itu terdengar sangat tajam dan menusuk telinga. Detak jantung seolah berhenti sepersekian detik dan kembali membawa degup yang tak terkendali.

Bayu terbelalak ketika melihat ikan-ikan itu melompat-lompat mencari oksigen untuk bernapas. Bayu berlari menghampiri ikan itu. Tubuh ikan yang licin dan juga air hujan yang turun, membuat Bayu sedikit kesusahan saat menyentuh tubuh ikan.

Bayu meneliti tubuh ikan itu, melihat beberapa tanda di sana. “Ini Pawpaw milik Meta.” Bayu menyimpan kembali di dalam kotak yang sudah dia kurangi airnya. “Ini Roxy milik Vicko.” Dimasukkan ikan itu ke dalam kotak milik Vicko.

Pandangan Bayu menelanjangi sekitar, mencari satu ikan lagi milik Yugo. Kilatan petir terang menderang berhasil menghentikan langkah Bayu. Laki-laki itu memekik dan menutup telinganya, kepalanya tertunduk dalam-dalam. Seolah kilatan itu nyaris menyambar Bayu yang tak bersalah.

Dia menggigit bibir. Bayu takut bukan main, berada di situasi mengancam seperti ini. Di bawah derasnya air hujan, tengah malam, gelap, sepi, sendirian, kilatan petir menggelegar, kombinasi yang sangat sempurna.

Lihat selengkapnya