Ameta mengernyit ketika cahaya matahari menyoroti wajahnya dari celah gorden yang terbuka dan memaksa dia untuk bangun dari tidur nyenyaknya.
Gadis itu menggeliat seperti ulat sebelum akhirnya bangkit—duduk di atas ranjangnya yang berantakan—dengan selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya. Dia mengerjapkan mata, menguap berkali-kali, berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih melayang-layang.
Dia menatap sekitar, melihat teman-temannya masih dikuasai alam bawah sadar. Lalu berpaling menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi.
Ameta mengernyit sebelum akhirnya terbelalak, nyawanya seolah diserap habis oleh raga ketika menyadari kalau mereka semua kesiangan. Gadis itu meringis, menggaruk rambutnya. “Aduh kenapa bisa kesiangan?!”
Dengan secepat kilat, dia menyingkap selimut yang masih membalut setengah tubuhnya. Kedua kakinya menyentuh lantai yang dingin, dia tergesa-gesa berteriak membangunkan teman-temannya.
“Alin ....”
“Fahira ....”
“Mika ....”
“Evelyn ... semua banguuun! Kita terlambat!”
Gadis itu berlari dari ranjang satu ke ranjang lainnya, menggoyangkan tubuh teman-temannya yang masih terlelap dalam mimpi.
Ameta panik setengah mati, terdiam memandangi teman-temannya yang enggan membuka mata, justru kembali menarik selimut dan menenggelamkan seluruh tubuhnya di bawah selimut sana. Ameta memejamkan mata dengan wajah berkerut, dia menjambak rambutnya frustrasi.
“SEMUA BANGUUUN!!! SUDAH JAM DELAPAN! KITA BISA DIHUKUM!!”
Ameta kembali menggoyangkan tubuh teman-temannya, merenggut paksa alam bawah sadar mereka. “Aku mohon bangun, teman-teman! Alin ... Eve ... Mika ... Fahira!” Ameta menepuk tangan, sembari melompat-lompat panik sendirian.
“Aaarrgghh!!” Evelyn mengerang, dia bangkit dengan mata masih tertutup rapat, menggaruk rambutnya yang berantakan hampir menutup sebagian wajahnya. “Kau ini kenapa berisik sekali, Meta? Aku tidak mendengar alarm, aku mau tidur lagi!” Gadis itu justru kembali membaringkan tubuhnya dan menarik selimut. Seolah teriakan Ameta hanya sebuah alarm nyaring yang tidak usah dihiraukan.
Alin menggeliat, mengucek kedua matanya dan menguap. Dia bangkit dan duduk di atas ranjang, menatap bingung Ameta. “Kenapa, Meta?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.
Ameta berpaling menatap Alin. “Lihat jam!”
Alin mengernyit heran, berpaling menatap jam dinding dan seketika dia terperanjat. Kedua kelopaknya yang semula setengah terbuka, refleks bulat sempurna. Gadis itu kembali menatap Ameta, panik. “Hei! Kenapa mereka tidak membangunkan kita?” Alin menyingkap selimutnya, kedua kakinya turun dan menggoyangkan tubuh Mikayla yang tidur tepat di sebelah ranjangnya. “Mika bangun!”
“Tidak mau!” Mikayla justru menutup kembali tubuhnya dengan selimut.
Alin berlari menghampiri Fahira, menarik selimut gadis itu tapi justru tidak terbuka, karena Fahira menahan selimutnya supaya tidak tersingkap. Mereka saling tarik-menarik. “Fahira, hei! Ih! Banguuunn! Waktunya kita olahraga!”
Tidak ada jawaban.
Alin berkacak pinggang, menatap Ameta yang juga sedang menatapnya dengan cemas. “Biarkan saja. Kalau begitu, kau mandi duluan. Biar aku yang membangunkan mereka.”
Ameta mengangguk, dia berpaling menatap teman-temannya yang kembali tertidur pulas. Sebelum akhirnya berlari menuju toilet untuk mandi.
***
Sinar mentari hangat terasa menyorot dari sela-sela dedaunan dan ranting pohon yang bergoyang tertiup angin. Ada samsak tinju berwarna hitam menggantung di batang pohon, dengan stand target panah tepat di sampingnya.
Vicky dan Yugo tengah berjongkok di bawah rimbun pohon angsana, tangan mereka memunguti daun kering dan ranting, untuk mendistraksi rasa kantuk yang menyerang.
Sudah lima belas menit mereka berdua berdiam di tengah-tengah pepohonan lebat saling berjarak, di halaman Home School. Menunggu teman-temannya tiba untuk olahraga. Namun, selama itu tidak ada tanda-tanda kemunculan mereka.
Yugo bangkit, berkacak pinggang, menendang daun-daun kering. “Ke mana sih mereka?!”
Vicky mendongak, menatap Yugo. “Mungkin masih tidur, seperti Doni dan Vicko.”
Yugo berpaling menatap Vicky. “Lagi pula, kenapa tidak ada—”
Perkataan Yugo terinterupsi ketika mendengar suara derap kaki berlari menginjak ranting-ranting dan daun kering. Refleks, pandangan keduanya terpusat ke sumber suara yang semakin mendekat dan menampakkan Ameta dan Alin lengkap dengan baju olahraga yang mereka kenakan dan rambut di kucir kuda, berlari tergesa-gesa.
Ameta dan Alin menghentikan langkahnya dan dibuat kebingungan ketika melihat hanya ada Vicky dan Yugo. “Hanya kalian yang ada di sini? Vicko dan Doni di mana?”
Vicky menghela napas, dia bangkit, menepuk-nepuk tangannya yang kotor. “Sudah kami bangunkan, tapi mereka tidak mau bangun.”
“Kalian sendiri ... ke mana yang lain?” tanya Yugo, tangannya dilipat di depan dada.
“Mereka juga tidak mau bangun, jadi kami tinggal.”
“Jadi hanya kita saja yang bangun?” Vicky menatap teman-temannya satu per satu, dia berdecak. “Kita bisa kena masalah.”
Alin berkacak pinggang, menatap dingin Vicky. “Jangan bilang begitu!”
Mereka menghela napas.
Terdengar langkah kaki mendekat, dilihatnya Mr. Tedi melangkah menghampiri mereka. Mengenakan pakaian serba hitam dengan jaket windbreaker yang membalut tubuhnya yang tegap.