Ameta duduk di kursi perpustakaan ditemani buku-buku bertumpuk membentuk menara mungil di depannya. Salah satu hobi Ameta selain jalan-jalan di jam istirahat, dia juga sering kali menghabiskan waktu istirahatnya itu di perpustakaan untuk membaca beberapa buku. Entah buku biografi, sastra atau sejarah, sebelum ada instruksi baru dari Master Jason atau Ms. Naomi.
Alin menghampiri Ameta dan duduk di hadapannya, seraya memandang gadis itu yang memusatkan seluruh atensinya pada buku yang dia baca sekarang.
“Jangan lihat aku seperti itu!” Tiba-tiba Ameta melirik, karena risi diperhatikan Alin.
“Kamu masih sibuk?” tanya Alin, tangannya yang semula terlipat di depan dada, kini dia lipat di atas meja—refleks gadis itu memajukan tubuhnya—menatap intens Ameta.
“Mau apa?”
“Temani aku, yuk?”
“Ke mana?”
“Pokoknya ikut aku saja.”
Ameta menggeleng, lalu kembali tenggelam dalam bacaannya.
“Ih, ayolah, Meta!” bujuk Alin, meraih tangan kanan Ameta dan menarik-narik, seolah seperti anak kecil yang meminta jajan pada orang tuanya.
“Ke mana, Alin? Aku tidak mau macam-macam.”
Alin mengernyit, menarik kepalanya ke belakang. “Macam-macam bagaimana?”
Ameta melirik. “Kabur atau buat masalah. Aku ingin tenang tanpa hukuman.”
Alin mengesah. “Aku tidak akan ajak kamu sesat, Meta.” Gadis itu menarik buku Ameta, menutupnya paksa. Ameta tersentak. “Ini soal teman kita.”
Ameta mengernyit heran. Dia membuka mulut ingin bertanya pada Alin, tetapi justru Alin menarik tangannya tanpa aba-aba sampai Ameta terpaksa bangkit dan bergegas pergi dari perpustakaan. Meninggalkan buku yang bertumpuk di atas meja dengan pertanyaan membubung di udara.
***
“Tidak ada Ms atau Mr di sini.” Alin menghela napas, kedua bola matanya mengitari sekitar. Sementara Ameta hanya mengernyit heran. Dia tidak tahu apa rencana Alin yang mengajaknya menelusuri Home School hanya untuk mencari Mr atau Ms.
Tumben, biasanya Alin sangat malas kalau harus bertemu atau bertatap muka langsung dengan para petinggi Home School, kecuali di jam pelajaran.
Di lantai dua gedung Home School sudah mereka telusuri, tapi nihil. Tidak ada satu pun. Bahkan suasana lantai dua sangat hening, tidak ada aktivitas di sana selain suara derap kaki Ameta dan Alin.
“Memangnya kita mau apa sih, Lin?” tanya Ameta kebingungan. Pandangan dia terpusat pada Alin yang berjalan tergesa-gesa di sampingnya—seolah ada hal sangat penting yang harus dia bahas dengan para petinggi Home School.
Bahkan Ameta harus mempercepat langkahnya untuk setara mengimbangi pergerakan kaki Alin yang sangat cepat.
Alin terdiam, perkataan Ameta tidak dia pedulikan. Dia hanya fokus mengitari sekitar sampai akhirnya Ameta menahan tangan Alin untuk berhenti melangkah ketika mereka berada tepat di ujung tangga lantai dua menuju lantai satu. “Kau dengar, Alin?”
“Aku ingin tahu tentang—” Perkataan Alin terinterupsi ketika mendengar suara langkah kaki menaiki tangga. Refleks, pandangan mereka terpusat ke arah sumber suara dan mendapati Ms. Naomi berjalan menuju lantai dua. “Nah, itu ada Ms. Naomi.”
Alin justru tidak melanjutkan perkataannya dan menunggu Ms. Naomi sampai di ujung tangga. Ameta masih tidak mengerti, apa yang akan Alin rencanakan?
“Ms. Naomi, saya ingin bicara.” Alin melirik Ameta, ketika Ms. Naomi baru saja melangkahkan kakinya tepat di ujung tangga lantai dua.
Ms. Naomi menatap Alin dan Ameta bergantian dengan sorot mata dalam seolah mengintimidasi. Kedua tangannya di belakang punggung. “Ada apa?”
“Kami ingin menanyakan sesuatu,” Alin melirik Ameta yang juga sedang meliriknya dengan tatapan bingung. Yang bisa Ameta lakukan sekarang hanya diam dan mengikuti rencana Alin.
“Apa yang mau kalian tanyakan?” tanyanya dingin.
“Kami ingin tahu bagaimana keadaan ... Bayu.” Alin menipiskan bibirnya, kedua alisnya terangkat. Pertanyaan seputar keadaan Bayu selalu bercokol di kepalanya, dia betul-betul selalu ingin tahu kabar Bayu yang sedang menjalani hukuman.
Apa Bayu baik-baik saja, atau justru mendapat siksaan?
Tapi Alin canggung untuk mengajak temannya menjenguk atau sekadar bertanya kondisi Bayu pada petinggi Home School, sampai akhirnya Alin memberanikan diri mengajak Ameta untuk bertanya langsung pada Ms. Naomi. Meski malu, tapi Alin tak peduli.
Ameta menatap Alin, mengangguk-angguk. Setelah tahu rencana Alin, Ameta juga dibuat penasaran dengan kondisi Bayu sekarang.
“Bayu sedang menerima pengobatan sekarang.”
Ameta mengernyit heran. “Pengobatan? Pengobatan apa?”
Alin mendadak cemas. “Benar, apa yang terjadi pada Bayu, Ms. Naomi?”
Ms. Naomi menatap Alin dan Ameta bergantian. “Bayu sedang disembuhkan secara mental, akibat dikurung sendirian.” Alin dan Ameta dibuat kebingungan sekaligus cemas. “Tapi kalian tidak usah khawatir. Meskipun Bayu sedang dihukum, Home School tidak akan pernah meninggalkannya.”
“Apakah kami bisa mengunjungi Bayu?” tanya Alin, ragu.
Ms. Naomi mengangguk samar. “Bisa.” Ameta melirik Alin yang juga meliriknya, mereka menarik senyum samar. “Tapi kalian bisa mengunjunginya setelah kelas.”
Ameta mengernyit, tampak bingung. “Kelas? Sepertinya kami tidak sedang mempelajari apa pun. Mr dan Ms terus menghukum kami. Bagaimana bisa kami sebut ini belajar?”
Ms. Naomi menarik ujung bibirnya menyeringai, sorot matanya tajam terpusat pada Ameta dan berpaling menatap Alin. Tanpa menjawab, Ms. Naomi melangkahkan kakinya dengan elegan meninggalkan Alin dan Ameta yang memusatkan perhatiannya menatap punggung Ms. Naomi menjauh.
Mereka saling bertatapan bingung. Pelajaran apalagi yang akan mereka hadapi?
***
“Baiklah anak-anak ... hari ini adalah pelajaran pertama kalian dengan saya,” kata Ms. Popi seraya meletakkan buku dan jam pasir di atas meja ruang pertemuan, dengan senyuman semringah yang selalu terpancar di wajah cerianya. “Apakah sebaiknya kita mulai dengan menjawab pertanyaan yang mudah. Untuk melatih pikiran dan akal kalian?”
Siswa-siswi langsung menghela napas, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Ada yang memainkan penanya di sela-sela jari. Ada yang mendongak dan tak peduli. Ada yang terus menguap dan menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan di atas meja. Dan ada yang menatap Ms. Popi dengan malas.
“Ada lembaran soal di atas meja ini, kalian punya waktu lima menit untuk menjawabnya.” Ms. Popi berjalan membagikan lembar kertas ke hadapan masing-masing murid dan kembali ke posisinya semula. “Dimulai dari ... sekarang.”
Ms. Popi membalikkan jam pasir itu hingga pasir yang ada di dalamnya, perlahan mulai turun. Sementara para siswa-siswi mulai membuka lembaran soal dan mengernyit bingung. Ada yang terbelalak. Ada yang menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. Dan ada juga yang langsung mengerjakan.
“Soal sesulit ini siapa yang bisa menyelesaikannya, Ms. Popi?” cetus Mikayla.
“Tidak salah? Setiap soal sepanjang ini?” Vicko membolak-balikkan kertas soal dan berpaling menatap Ms. Popi. “Saya baru selesai membacanya, waktunya sudah habis.”
Ms. Popi tersenyum semringah. “Sekarang waktunya sedang berjalan.” Ms. Popi menunjuk jam pasir yang terus turun. “Jika tidak cepat-cepat mengerjakannya, kalian mungkin akan dihukum.”
Vicko tersenyum hambar, menggeleng tidak habis pikir dan mengusap wajahnya.
“Apakah ada hukuman lagi, Ms. Popi?” tanya Fahira—terkejut. “Hukumannya apa?”
“Mata pelajaran Ms. Popi tidak melibatkan kekerasan,” Ms. Popi tersenyum simpul, menatap satu per satu murid. “siapa pun yang salah menjawab, atau tidak bisa menjawab, hanya harus ...,” Ms. Popi menarik senyum lebar, namun para murid justru menatapnya penuh tanda tanya. “Harus terus mengerjakannya sampai jawabannya benar.”